Sebelumnya, cerita ini sudah pernah saya tulis. Dengan alasan uniknya cerita, dan hikmah yang bisa kita teladani bersama. Maka ijinkanlah saya menulis ulang dengan sedikit perubahan.
Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2006. Seorang santri di salah satu pondok pesantren di Tuban, merasa perlu buat ijin keluar beli bolpoin khusus ma’nani (memberi makna/arti) kitab dengan huruf arab pegon.
“Kalau tidak jalan ke kota, mboten enten (tidak ada) Kang,” kata santri itu beralasan kepada pengurus pondok.
Kebetulan saat itu merupakan hari libur mengaji di pondok pesantren tersebut. Biasanya diisi dengan kegiatan kerja bakti. “Daripada ikut kerja bakti, mending dia pergi ke kota sekaligus bisa jalan-jalan,” pikirnya.
Setelah menyusun alasan jitu untuk mendapat ijin keluar pondok. Berangkatlah Kang santri ini bersama dengan satu temannya yang mendapat iming-iming jalan ke swalayan dan traktiran makan.
“Pokoknya enak, saya baru dapat kiriman dari orang tua,” katanya.
Singkat kata, perjalanan beberapa kilometer ditempuh dengan mengendarai angkutan umum. Setelah menyambung dengan berjalan kaki, sampailah dua santri ini di salah satu pusat perbelanjaan.
Kang Santri langsung menuju rak alat tulis. Bolpoin dengan ujung lancip yang dia inginkan akhirnya ketemu. Dia menyimpan sementara bolpoin ini di saku dan berkeliling ke beberapa stand lain untuk sekedar melihat atau jalan-jalan mengitari swalayan. Sepasang sandal jepit dan beberapa alat mandi juga dibeli oleh dua santri ini.
Persoalan datang ketika dua santri ini berniat keluar swalayan untuk jajan. Alarm dari petugas keamanan swalayan berbunyi. Mereka tidak sadar sebelum seorang Satpam menghardik dengan suara keras.
“Hay Dik, berhenti dulu,” teriak satpam.
Dua santri yang masih belum menyadari apa yang terjadi menuruti perintah satpam. Mereka mendadak pucat begitu mengetahui ada bolpoin di saku Amin yang ternyata belum terbayar.
“Mau ambil barang ya? Sudah ikut kami ke belakang,” kata Satpam itu garang. Tidak menghiraukan alasan yang diberikan dua santri yang ketakutan itu.
Mereka harus membayar harga bolpoin itu berlipat-lipat. Aturannya: manajemen menambahkan satu angka nol dibelakang harga asli. Harga bolpoin yang dibawa Amin saat itu adalah Rp15.000. Karena harus menambah satu nol dibelakangnya, maka jumlah yang harus dibayar adalah Rp150.000. Jumlah yang cukup besar bagi mereka.
“Aduh…bagaimana ini?” keluh mereka.
Yang ditanya tidak menjawab. Mungkin merasa berat karena memikirkan uang kiriman dari orang tuanya habis buat membayar denda.
“Kamu itu nyantri di mana? Santri kok main ambil barang yang bukan haknya. Kan ndak baik,” tanya manajer itu sambil membetulkan kaca mata.
Ditanya begitu, dua santri itu lebih takut lagi. Terbayang kemarahan Abah Kyai mereka jika mendengar mereka tersandung masalah. Apalagi mengetahui mereka tidak sekedar membeli perlengkapan tulis, tapi juga jalan-jalan di swalayan tanpa ijin.
Sedikit berbisik, mereka kompak tidak menyebutkan nama dan alamat pondoknya. Untuk mengelabuhi manajer dan dua satpam itu, mereka menyebut nama pondok lain sebagai tempat belajar. Mereka berharap bisa aman karena petugas itu tidak akan mendatangi pondok pesantren mereka.
Setelah membayarkan uang denda dengan menghabiskan seluruh uang kiriman orang tua. Dua santri ini langsung pulang ke pondok dengan kecewa.
Keesokan harinya, usai mengaji pagi mereka mendapat panggilan dari kyai. Mendapat panggilan Kyai, bagi seorang santri adalah hal yang luar biasa. Biasanya ada sesuatu yang penting ingin disampaikan.
“Ada apa ya Abah mendadak memanggil kita? Jangan-jangan tahu kita terlibat masalah,” ucap salah satu mereka dengan cemas.
Pergilah mereka saat itu juga ke ndalem, sebutan rumah utama di lingkungan pondok yang ditempati kyai.
“Ayo le, melu aku,” Kyai mereka mengajak naik ke mobil yang disopiri salah seorang pengurus pondok.
Ternyata mereka diajak berkunjung ke pondok pesantren lain. Pondok pesantren yang namanya disebut oleh dua santri ini sebagai tempat mereka belajar di hadapan manajer swalayan. Dada mereka terasa ingin pecah saking takutnya.
“Kyai, maafkan kelancangan dan kesalahan dua santri saya nggih? Saya yang bersalah tidak bisa mendidik mereka.” Kata Kyai mereka dihadapan seorang kyai lain yang secara usia tampak lebih muda.
“Ada apa Mas Kyai?” tanya kyai itu karena belum mengetahui duduk persoalannya.
Kyai mereka bercerita dengan jelas. Ternyata manajer swalayan itu juga pernah nyantri ditempatnya. Menceritakan kepada seorang pengurus pondok mengenai kejadian kesalahpahaman di swalayan yang menimpa para juniornya.
“Aduh Kyai, kenapa mesti repot-repot ke sini buat meminta maaf. Adikmu inilah yang semestinya ke ndalem buat silaturahmi,” jawab kyai muda itu tersenyum begitu mendengar duduk persolannya.
“Lagian biarkanlah Kyai, namanya juga mereka masih muda-muda. Masih sangat wajar berbuat khilaf,” lanjut kyai muda itu sambil tersenyum kepada dua santri ini. Yang dipandang hanya bisa menunduk malu dan salah tingkah.
Begitulah dua kyai itu menyelesaikan persoalan. Keduanya justru saling meminta maaf dan berebut salah.
Usai berbincang cukup lama. Kyai beserta dua santrinya itu kembali ke pondok pesantren. Tidak ada kemarahan seperti yang mereka bayangkan.
“Ini titipan dari Kang Mas mu,” kata Kyai sambil mengulurkan uang Rp150 ribu yang dibayarkan Amin di swalayan dan satu bolpoin yang semestinya mereka beli. Kang Mas yang dimaksud adalah manajer swalayan yang pernah nyantri di pondok yang sama.
“Kepada saudara harus bisa menutup aib. Jangan malah aib kita dikasihkan saudara yang tidak tahu apa-apa.” Kata kyai itu sambil masuk ke dalam rumah.
*Ditulis ulang dengan perubahan seperlunya dari tulisan berjudul Jangan Lemparkan Aib ke Saudaramu, blokTuban.com.
Tinggal di Tuban, menulis di Suluk.id