Tumenggung Sri Moyo Kusumo adalah salah satu pejabat di Kerajaan Mataram Islam. Tugas utamanya adalah menikahkan masyarakat. Dia diperkirakan lahir periode akhir 1700-an. Aslinya memang dari Jawa Tengah.
Saat Perang Jawa meletus tahun 1825, dia bergabung dengan laskar Pangeran Diponegoro. Meninggalkan kedudukan dan jabatan yang diemban. Demi memenuhi panggilan “perang sabil” yang saat itu dikobarkan.
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Sulawesi tahun 1830, Tumenggung Sri Moyo Kusumo bersama teman-temannya hijrah ke Jawa Timur. Saat sampai di Nganjuk kota, keberadaan mereka diketahui pihak Belanda.
Operasi penangkapan pun dilancarkan. Meskipun mereka ini masih bisa melarikan diri, kesemuanya akhirnya berpencar. Tumenggung Sri Moyo Kusumo sendiri melarikan diri ke arah utara. Kondisinya saat itu sudah terkena peluru senapan tentara Belanda.
Setelah kondisinya membaik, akhirnya dia menyamarkan diri dari kejaran pasukan Belanda. Dia mengganti namanya dengan Mbah Canthing. Kemudian menikah dengan Mbah Sawi dari Bojonegoro. Mereka kemudian babat alas dan tinggal di pojok’an Desa Mlorah.
Mbah Canthing punya empat anak, yaitu Ngalinem, Marijan, Madinem dan Simah. Keturunannya sampai sekarang mayoritas masih tinggal di Desa Mlorah. Meski tidak berdomisili di kawasan tersendiri. Jenasah Mbah Canthing akhirnya dimakamkan di sebelah rumahnya di pojok’an Desa Mlorah.
Tugas Bersama
Keberadaan Mbah Canthing sebagai sosok sisa laskar Pangeran Diponegoro yang kemudian menetap di Desa Mlorah patut diapresiasi. Ini karena Perang Diponegoro adalah perlawanan terbesar masyarakat Pulau Jawa terhadap kolonial Belanda. Mantan tentara Belanda, De Stuers, mencatat setidaknya 15.000 serdadu Belanda tewas dan menghilang selama peperangan berkobar.
Dampak perang ini dirasakan dua juta penduduk, yaitu sepertiga dari total penduduk Pulau Jawa saat itu. Perang ini juga merusak sekitar seperempat dari seluruh areal pertanian yang ada. Belanda setidaknya mengerahkan 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 prajurit pribumi. Termasuk dua pertiga dari 3.145 tentara bantuan yang didatangkan langsung dari Belanda.
Dana Belanda sebesar 25 juta gulden terkuras untuk membiayai perang. Tidak mengherankan jika setelah Perang Diponegoro padam, gubernur jenderal Hindia Belanda Van de Bosh melancarkan kebijakan tanam paksa antara tahun 1831-1877. Kebijakan tanam paksa ini ternyata mampu mendatangkan 832 juta gulden. Uang sebesar itu terbukti bisa memulihkan anggaran APBN di Belanda sana.
Perang Diponegoro juga melahirkan strategi baru dalam kontak senjata melawan musuh. Menurut Mohammad Jakfar Shodiq (2016), berbagai ketimpangan sosial-ekonomi yang semakin merajalela, pajak semakin besar yang tidak diimbangi dengan fasilitas memadai dari kerajaan, intervensi Belanda yang semakin mendalam dan gaya hidup penguasa lokal yang semakin tidak menghiraukan nasib rakyat, disinyalir merupakan kegetiran yang tinggal menunggu momentum pecahnya sebuah peperangan besar.
Dengan segala keterbatasan dan menggunakan seni baru, laskar Pangeran Diponegoro berhasil menyulitkan musuh-musuhnya selama peperangan. Strategi gerilya, dengan pusat kekuatan yang selalu berpindah-pindah dan tidak konsisten, serta penyusunan link-up yang berfungsi menguatkan pasukan perang di tempat-tempat yang berbeda, merupakan strategi jitu dari taktik perang yang diciptakan Pangeran Diponegoro.
Perang Diponegoro termasuk unik. Perang ini, menurut Ajat Sudrajat (1998: 149), berbeda dengan perang-perang yang telah terjadi di Pulau Jawa pada masa-masa sebelumnya. Sebagai pemimpin tarekat Satariyah, Pangeran Diponegoro diliputi dengan kehidupan kesalehan dan kezuhudan. Saat Pangeran Diponegoro memimpin pemberontakan kepada Belanda, banyak harapan dan penafsiran yang dikaitkan dengan gerakan tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian Pangeran Diponegoro memperoleh dukungan dari banyak pihak.
Banyaknya sisa laskar Pangeran Diponegoro yang hijrah ke Jawa Timur, termasuk Nganjuk, menunjukkan adanya semangat perlawanan kepada Belanda yang tidak bisa padam. Jiwa nasionalisme ini yang selalu membuncah dalam benak para laskar itu. Meskipun kemudian mereka menggunakan perlawanan secara non-militer.
Perjuangan Mbah Canthing yang bergabung ke laskar Pangeran Diponegoro adalah pilihan hidup untuk membebaskan diri dan bangsanya dari kekejaman bangsa penjajah Belanda. Semangat nasionalisme dalam dirinya tidak bisa tergadaikan oleh apapun. Sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya meneladani semangat ini dalam membangun bangsa Indonesia.
Penulis : Mukani – Dosen STAI Darussalam Krempyang Nganjuk
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan