Ahad siang, di antara perjalanan dari Kecamatan Jatirogo ke Kecamatan Bojonegoro, kendaraan butut yang saya bawa dihadang beberapa remaja tanggung. Ada tiga anak. Usianya mungkin belum sampai 15 tahun. Dua di antara tiga anak itu memanggul tas punggung. Satu anak yang paling semangat melambai, langsung berlari mendekat begitu saya berhenti.
“Pak bade nunut,” kata mereka berbahasa jawa. Mereka bertiga ternyata ingin menumpang.
“Kemana?” tanyaku sambil memandang mereka. “Soko Pak,” jawab mereka sambil menyebutkan nama salah satu kecamatan di Tuban.
Kepada mereka saya katakan tidak lewat Soko. Karena jarak dari tujuan awal lebih jauh. “Parengan [nama kecamatan lain] mboten nopo-nopo Pak, nanti ke timurnya numpang lagi,” kata mereka menawar.
Saya persilakan mereka naik. Satu di depan dan dua duduk di kursi belakang. Sekilas, saya pandangi mereka satu persatu. Semuanya bersarung dengan kaos oblong yang ketiga-tiganya sedikit basah.
“Dari mana?” tanyaku lagi.
“Renang Pak, dari Jatirogo,” jawab salah seorang dari belakang. Mungkin seorang anak yang tidak membawa tas punggung.
“Kalian santri?” tanyaku. Setelah memastikan mereka semua bersarung dan berpeci. Mereka tidak menjawab
Mereka adalah para santri yang sedang kabur dari pondok pesantrennya. Pagi hari itu mereka menempuh perjalanan sekitar 40 kilometer dengan menumpang kendaraan untuk sekedar berenang, begitu pula sebaliknya saat bertemu saya kali ini.
Saya hanya tersenyum. Karena sebenarnya hal seperti itu sudah sering dijumpai. Beberapa kawan yang pernah nyantri, pernah bercerita melakukan kenakalan yang lebih parah. Santri-santri yang menjadi langganan hukuman keamanan pondok.
Ini cerita yang lain. Seorang kawan bekerja di perusahaan telekomunikasi menjumpaiku di Surabaya sekitar tahun 2017 lalu. Kami berteman sejak kecil karena tetangga desa. Usia teman ini satu tahun di atas saya. Sejak dulu dia jago matematika, bahasa inggris, dan cukup pintar untuk beberapa pelajaran-pelajaran lain di sekolah.
Nilainya selalu memuaskan tidak hanya bagi dirinya, tapi juga orang tua dan guru-gurunya. Sejak itulah dia bercerita keluarganya bertekad dia bisa belajar di sekolah-sekolah top di Tuban dan melanjutkan ke kampus favorit.
“Orang tua ingin saya bisa lulus SD dan mendaftar ke SMP favorit,” katanya.
Benar. Dia mendapat nilai ujian yang memuaskan sebagai tiket masuk sekolah favorit. Perjuangan keras dia berlanjut dengan mengikuti beragam les yang diikutkan orang tuanya. Tiga tahun di SMP, teman ini juga bisa lulus dengan nilai ujian akhir yang cukup memuaskan.
“Saya mendaftar di SMA favorit dan diterima. Semua siswa yang lolos adalah anak-anak pandai dari berbagai SMP,” cerita dia.
Sekolah tempat belajar teman kecil ini adalah lembaga-lembaga top. Iklim belajarnya kuat. Nyaris tidak ada siswa-siswi “nakal”. Kalaupun ada hanyalah kenakalan-kenakalan biasa.
“Begitu juga untuk masuk di jurusan universitas yang saya inginkan. Masih harus bersaing dengan siswa-siswa yang berasal dari seluruh Indonesia,” terangnya.
Dua kisah di atas seperti sebuah paradoks. Sama-sama lembaga belajar, juga sama-sama mempunyai misi mencerdaskan anak didik mereka.
Lalu, kenapa santri terkadang terlihat lebih nakal? Stigma ini juga pernah melekat bagi anak-anak STM (baca: SMK) di era sebelum tahun 2007: nakal, ahli strategi bolos, dan tentu saja tawuran.
Saya pernah membandingkan dua kisah ini kepada seorang teman pengajar di pondok pesantren. Setidaknya beberapa hal ini bisa jadi jawaban:
Pertama, pernah dengar orang tua yang mengancam anaknya begini? “Kalau kamu nakal dan tidak pintar sekolah, tak masukan pondok lho,”.
Itu benar-benar terjadi Sodara. Anak-anak yang menurut mereka badung itu benar-benar dimasukan ke pondok ketika para orang tua menilai tingkat kebengalam mereka di ambang batas kemampuan orang tua untuk menangani. Biar kiai saja yang menangani.
Kedua, kebanyakan pondok tidak pernah memilih dan memilah ketika menerima santri. Siapapun kamu, dari manapun kamu, seberapa pintar atau nakalnya kamu, kalau mau masuk dan belajar di pondok ya silakan. Mereka tidak akan menolak siapapun yang mau belajar. Pondok tidak hanya menerima santri pintar.
Ketiga, para remaja badung ini akan saling mengenal dan ketemu. Sehingga wajar mereka akan saling berbagi pengalaman dan merencanakan ide besar secara bersama-sama. Mbolos bareng, ngakalin keamanan pondok bareng, ngusilin teman bareng, dan kucing-kucingan untuk tidak masuk kelas.
Tiga hal itu bisa jadi alasan kenapa banyak kita temui santri bengal sampai sekarang. Tapi jangan takut, pondok pesantren akan menangani kebengalan mereka saat yang lain angkat tangan.
Itulah kenapa sering ditemui seorang yang sangat nakal saat masih belajar di pondok, tapi jadi orang hebat dan berguna di tengah masyarakat ketika sudah lulus. Pondok adalah kawah candradimuka bagi semua jenis santri. (*)
Tinggal di Tuban, menulis di Suluk.id