Gerakan Pemuda Ansor berdiri dengan bertumpu pada dua organisasi kepemudaan. Yakni, Syubbanul Wathan dan Da’watus Syubban. Keduanya diprakarsai oleh KH. A. Wahab Chasbullah. Organ pertama menempa kader calon penggerak dalam dimensi kebangsaan. Sedangkan organ kedua menjadi kawah candradimuka calon da’i. Keduanya dilebur, lantas menjadi Ansoru Nahdlatoel Oelama (ANO).
Dua elemen ini menyatu. Menandakan keseimbangan yang harus dimiliki oleh GP Ansor: keislaman dan keindonesiaan. Di tanah air, ada organisasi keislaman yang tidak memiliki spirit kebangsaan. Pokoknya Islam, nggak peduli Indonesia ada atau tidak, Indonesia ambruk atau tidak, yang penting bela Islam. Di sisi lainnya, ada yang fokus pada keIndonesiaan. Nggak ada sentuhan Islamnya, juga nggak peduli sama nilai-nilai Islam. Nasionalistik-Patriotik tulen, lah.
Nah, GP Ansor punya dua karakter ini. Jadi jangan heran kalau setiap acara Ansor, dan NU, tentu saja, selain ada pembacaan ayat suci Al-Quran, dilanjut shalawat Nabi, lantas menyanyikan Indonesia Raya disambung Mars Syubbanul Wathan yang patriotik itu.
Ini mars klasik ciptaan Kiai Wahab Chasbullah. Di tahun 1930-an, mars ini diajarkan di Madrasah Nahdlatul Wathan yang beliau dirikan dan di berbagai cabangnya: Far’ul Wathan, Hidayatul Wathan dan Misbahul Wathan. Keren ya, Kiai Wahab ini. Nasionalis banget. Setiap madrasah dan organisasi yang beliau dirikan, pasti ada diksi “Wathan”, alias tanah air. Ini ciri khas ulama Nasionalistik. Selain Kiai Wahab, ada juga seniornya KH. Ahmad Dahlan yang mendirikan Pandu Muhammadiyah dengan nama Hizbul Wathan, dan ulama besar lain, Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid yang juga mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan yang berbasis di NTB. Kloooop! Benar-benar ulama cinta tanah air!
Dalam menyeimbangkan ke-Islaman dan Keindonesiaan, GP Ansor seringkali disalahpahami. Misalnya, dalam upaya mempertahankan NKRI, GP Ansor gigih, kukuh, dan bersemangat. Sebab NKRI dipandang sebagai sebuah rumah bersama semua elemen bangsa. Kalau rumah ini roboh, maka kocar-kacir lah penghuninya. Dalam hal ini, ada kaidah yang berbunyi “Hifdzul Maujud Aula min Tahshilil Mafqud”. Artinya, menjaga yang sudah ada, lebih utama dibandingkan dengan berupaya mewujudkan yang tidak ada.
NKRI ini nyata. Ada. Mewujud sebagai sebuah negara, memiliki sejarah panjang, dan dilindungi konstitusi berdasarkan “kontrak politik” para founding fathers. Pemerintahan boleh berganti, tapi NKRI harus tetap dipertahankan. Ini lebih baik daripada mewujudkan sebuah konsep negara baru yang belum jelas manfaatnya. Dalam istilah lain, lebih baik menjaga sebuah rumah sederhana bernama Indonesia, daripada harus meruntuhkannya lalu menggantinya dengan rumah lain yang belum jelas bentuknya.
Ya nggak, gaes?
Ketika Ansor diresmikan menjadi bagian dari NU dalam Muktamar di Banyuwangi, 1934, sebagian ulama NU masih belum sreg. Mengingat karakteristik kaum muda yang sat-set, gerak taktis, dan revolusioner berlawanan dengan kaum sepuh yang lebih berhati-hati dan evolutif. Kiai Wahab Chasbullah lah yang menjadi penyambung dua kutub ini. Beliau menjadi jembatan pemikiran yang menyebabkan kaum muda NU ini diberi tempat.
Beberapa ulama NU masih belum sreg dengan kaum muda ini. Apalagi mereka aktif dalam kepanduan dan membentuk Barisan Nahdlatoel Oelama (BANU), yang lincah, suka parade menggunakan mars dan drum band, hingga menggunakan jas dan dasi. Khusus yang terakhir, para ulama tetap keberatan. Alasannya, itu baju “kaum kafir”. Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum tersebut.
Menyikapi hal ini, beberapa eksponen ANO, seperti KH. Abdullah Ubaid, KH. Tohir Bakri, dan beberapa aktivis lain menjelaskan. Kurang lebih, jas dan dasi kami pakai sebagai strategi perlawanan, karena dengan menggunakan baju ini kami sebagai pribumi merasa setara dengan mereka. Para kiai manggut-manggut. Sebagian menerima. Apalagi, kaum muda ini melengkapi jas-dasi ini dengan kopiah hitam. Lengkap sudah.
Tahun 1937, Muktamar NU digelar di Malang. ANO tampil elegan dengan mendelegasikan drumb band yang dipandegani oleh BANOE (Barisan Ansor NO). Seorang pemuda cakap, Hamid Rusydi, tampil jadi mayoret. Dia memang punya bakat jadi pemimpin. Cerdas pula. Klop. Di era Jepang, dia ditempa menjadi bagian dari pasukan PETA. Setelah kemerdekaan, dia menjadi perwira TNI. Lalu berjuang di kawasan Malang Selatan. Dia tak hanya menghadapi Belanda dalam Agresi Militer I, Juli 1947, melainkan pula berhadapan dengan gerakan PKI yang terafiliasi dengan pemberontakan Madiun, September 1948. Beliau gugur di tahun 1949.
Nama Mayor Hamid Rusydi diabadikan menjadi nama jalan dan terminal di Malang. Patungnya juga gagah. Dicat warna kuning keemasan dan berseragam TNI dengan bertelekan pedang samurai di tangan kiri. Patung pahlawan asli Malang ini berada di Taman Simpang Balapan di kawasan Jalan Besar Idjen, Malang.
Mayor Hamid Rusydi ini juga dikenal sebagai bapak “boso walikan” ala Malang. Arek menjadi Kera, Polisi dilafalkan Isilup, Malang menjadi Ngalam, dan seterusnya. Konon, penggunaan bahasa Walikan seperti ini merupakan bagian dari kode komunikasi jaringan telik sandi di bawah komando dirinya saat rea revolusi fisik. Jadi, bisa dibilang Hamid Rusydi ini adalah tipikal Banser idaman. Sebab, di era 1930-an, dia adalah anggota aktif Pandu Ansor atau yang sering disebut dengan BANOE alias Barisan Ansor NO, yang merupakan cikal bakal Barisan Ansor Serbaguna alias Banser. Kerennya lagi, Hamid Rusydi ini mengislamkan cewek Belanda, lantas menikahinya.
Keren, mbloooooo…..
—–
Beberapa poin yang saya sampaikan dalam acara Pelantikan PAC GP Ansor Sarirejo, Lamongan. Ahad, 26 Syawal 1440 H/30 Juni 2019.
Wallahu A’lam Bisshawab
Dosen