Menyebut keberadaan virus sebagai tentara Tuhan tentu bukanlah tafsir yang tepat di tengah bagaimana dunia membutuhkan perhatian akan ilmu pengetahuan seperti diantaranya riset maupun penelitian untuk menemukan vaksin.
Suluk.id – Pada peradaban yang sedang berjalan hingga abad ke-21, sains adalah satu bagian terpenting yang tak dapat terelakkan dalam membangun kehidupan dengan konsep dan aplikasinya untuk meningkatkan martabat manusia. Tatanan kehidupan seakan kemudian berubah secara mendasar, lahir sebuah transformasi kehidupan yang semakin kompleks dan rumit. Kejayaan sains dengan berbagai hasil temuan berupa produk teknologi maupun inovasi alat-alat canggih menjadikan pertanda bahwa sains merupakan alat ampuh dalam memecahkan masalah demi masalah yang dihadapi oleh umat manusia.
Namun, di satu sisi, tak bisa dipungkiri bahwasannya ia juga meninggalkan sengkarut permasalahan-permasalahan baru dalam peradaban kehidupan manusia. Seperti diantaranya adalah keterasingan diri (teralienasinya) masyarakat dan meningkatnya budaya konsumtif. Tidak lain hal tersebut disebabkan oleh pemahaman kliru akan sains, yang mana sains dianggap sebagai panacea (obat pelipur lara). Hal tersebut juga pernah disampaikan oleh guru besar Ilmu Geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB) pada masanya, M. T. Zen dalam tulisan yang berjudul Keterasingan dan Gerakan Anti-Sains (Sains, Teknologi dan Masa Depan Manusia, 1981).
Persoalan mendasar adalah masyarakat terjerembab akan pendakuan pada hakikat sains sebagai tujuan akhir (telos) bukan pemahaman sebagai alat (tool). Sebab itu, kemudian bias yang hadir dalam struktur kehidupan, sains dengan inovasi dan terobosannya dimaknai bak surga, kemudian dieluh-eluhkan ibarat berhala suci dalam peradaban. Agaknya persoalan mendasar ini perlu dibahas oleh para ahli dan pakar di setiap keilmuan yang ada sebelum menyeka bagaimana berbicara konteks dunia keilmuan dalam menghadapi tantanngan-tantangan di kehidupan abad ke-21.
Pertama, yang menjadi perhatian khusus dalam negara Indonesia adalah aspek hubungan kepakaran dengan warga negara. Tinjauan tersebut berkaca pada ruang-ruang pengetahuan baik di dunia nyata maupun dunia maya akan konsekuensi zaman berupa pasca kebenaran (post truth). Kita banyak dihadapkan pada situasi perdebatan tak bertuan akan segala hal yang berujung pada mencari akan siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang mengkhawatirkan, setiap orang kemudian bebas berbicara melalui teknologi bersama “sentuh layar” tanpa memperhatikan otoritas keilmuan.
Tak mengherankan kenyataan seperti itu juga dituliskan oleh cendekiawan Amerika Serikat, Tom Nichols dalam bukunya berjudulkan The Death of Expertise (2017). Tom banyak menyoroti perilaku warga negara dalam hubungan dengan kepakaran di sistem demokrasi. Kebanalan intelektualitas semakin menjadi, apalagi ditambah dengan situasi mesin pencari (search engine) yang menandai orang tak perlu pergi ke pakar, karena tinggal memasukkan kata kunci jawaban telah tersedia. Apakah dibenarkan? Tentu tidak.
Tom kemudian memiliki tesis bahwa dalam demokrasi, pelayanan pakar kepada publik adalah kontrak sosial. Yang mana, modal utama yang membangun relasi antara pakar dan warga negara adalah kepercayaan. Artinya, dalam membangun sebuah peradaban keilmuan secara kolektif, kepercayaan adalah hal yang tak dapat dihindarkan. Ia berbicara bagaimana peran dan tugas setiap warga negara, pakar dan wakil rakyat dalam sebuah parlemen punya posisi yang antara satu dengan lainnya saling bersambung dan menguatkan dalam membangun perjalanan peradaban.
Kedua, aspek heterogenitas yang menyusun keutuhan bangsa Indonesia. Itu tak sekadar berbicara akan banyaknya latar belakang yang ada di masyarakat Indonesia, baik suku, agama, ras, bahasa maupun budaya. Namun, melainkan dari itu memikirkan dan mencari jalan atas kuldesak yang ada akan sederet masalah yang terjadi. Seperti diantaranya adalah pemerataan pendidikan, anggaran riset dalam pengembangan sains dan teknologi hingga pada hal terkait mengenai akses untuk masyarakat dalam menerima informasi akan hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.
Sains dan Agama
Ruang pengetahuan kita seakan kemudian dikejutkan dengan berjubelnya buku-buku sains populer terjemahan yang membahas banyak bidang dalam algoritma peradaban yang telah maupun sedang berjalan. Satu diantaranya adalah profesor Sejarah dari Universitas Ibrani, Yuval Noah Harari dengan tiga bukunya yang masing-masing adalah Sapiens, Homo Deus dan 21 Adab untuk Abad ke-21. Nyata terjadi di banyak tulisan-tulisan Yuval pada akhir-akhir ini. Seperti kita tarik pada keberadaan pandemik yang telah mengacaukan banyak negara di dunia termasuk Indonesia.
Yang menarik adalah akan bagaimana beragam tafsir yang muncul dari situasi tersebut. Katakanlah tatkala menyoroti Indonesia yang dapat dikatakan mayarakatnya yang agamis. Pada zaman tafsir (age of interpretation) ini, kita kerap dihantui akan perdebatan antar tafsir yang berkembang. Sayangnya, malah luput akan bagaimana sikap tegas dalam menyikapi keberadaan wabah yang mengancam jutaan manusia tersebut. Menyebut keberadaan virus sebagai tentara Tuhan tentu bukanlah tafsir yang tepat di tengah bagaimana dunia membutuhkan perhatian akan ilmu pengetahuan seperti diantaranya riset maupun penelitian untuk menemukan vaksin.
Tentu yang menjadi menarik akan bagaimana hubungan sains dan agama sesungguhnya? Menilik pernyataan Yuval agaknya membutuhkan penalaran yang mendalam. Di salah satu bukunya, Homo Deus, ia mengatakan bahwa sains dan agama itu seperti suami dan istri yang setelah lima ratus tahun penyuluhan pernikahan masih belum saling mengenal. Analogi tersebut nampaknya menjadikan tugas bersama bagi pemangku otoritas, hematnya agamawan dan ilmuwan untuk saling menahu akan bagaimana mempersiapkan kehidupan yang lenih baik dalam kehidupan yang semakin kompleks.
Dengan arti lain, tanpa mengesampikan bahwa agama sejatinya bagian dari ruang privat, dalam situasi seperti wabah yang sedang terjadi harus mendorong kepada setiap pemeluk untuk berpikir yang jernih, rasional dan membebaskan. Menyeka bersama atas situasi yang sedang berhembus. Bukan malah mengedepankan sikap yang penuh sinis, pesimis dan serba takut seakan menyiratkan peran agama begitu lemah. Perlu lahirnya dialog antara keduanya, agama dan sains.
Persis sebagaimana pernah dinyatakan oleh Louis Leahy dalam bukunya berjudul Jika Sains Mencari Makna (Kanisius, 2006). Bahwa yang diharapkan atas dialog sains-filsafat-teologi adalah lahirnya pembaharuan tanpa menimbulkan kerancuan dalam jenis metodologis masing-masing. Butuh kesadaran dari banyak pihak di sebuah negara—saintis, masyarakat awam, kalangan parlemen hingga agamawan untuk berbagi peran akan bagaimana berbicara kultur sains dalam sebuah peradaban masyarakat. Jalan panjang berkelok masih harus kita tempuh bersama yang memerlukan keberanian, kebijaksanaan dan ketekunan dari dalam diri. Begitu.[]
Penulis Lepas. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta (LDE). Buku yang telah diterbitkan antara lain: Manifesto Cinta (2017), Bola Fisika (2018) dan Surat dari Ibu (2019).