Beberapa hari terakhir gawai penulis dipenuhi status Whatsapp kawan –kawan alumni pesantren yang berisi dua hal. Pertama pernyataan tentang belajar menangani corona dari Aceh, pada intinya pesan pernyataan tersebut adalah untuk tetap memakmurkan Masjid dengan cara tetap berjamaah karena asumsinya virus Covid-19 tidak akan betah disuatu daerah yang rakyatnya memakmurkan Masjid. “Penyakit akan dijauhkan dari orang-orang yang memakmurkan masjid”.
Kedua tanpa mengurangi hormat penulis terhadap yang bersangkutan sebuah potongan video tentang seorang pemimpin majlis salawat dengan jamaah ribuan yang menyerukan agar tetap salat idul fitri berjamaah di masjid sambil secara tendensius mengeyampingkan orang-orang yang berjamaah dirumah dengan tujuan mengurangi potensi terpapar virus, baginya lebih baik makan opor daripada jamaah idul fitri di rumah.
Poin selanjutnya dari pernyataannya adalah mewajarkan perkumpulan Ijtima Ulama di Gowa Sulawesi Selatan beberapa waktu silam. Ia bercerita sambil mengimajinasikan percakapan dengan virus covid-19 bahwa mereka yang telak terkonfirmasi positif sebenarnya hanya mengidap flu biasa akibat kecapekan mengikuti padatnya acara.
Bagi saya kedua hal diatas mengandaikan cara berfikir yang sama yakni beragama tanpa akal,danial terhadap riset –riset medis dan fakta-fakta lapangan, pendeknya bisa dikatakan anti sains. Melanggengkan cara beragama demikian menurut pandangan penulis amat berbahaya.
Pertama karena agama sendiri kerap kali menyerukan umat muslim untuk senantiasa berfikir. Al-quran sendiri tidak kurang-kurangnya menggunakan berbagai derivasi kata ‘akal’ secara berulang –ulang. Demikan juga hadis dengan tegas mengatakan “Tak ada agama bagi orang yang tak punya (menggunakan) akal.”
Akal sendiri memang mengandung banyak konsep. Diantaranya ra’yu (penalaran indenpenden), nalar (rasio), akal budi (intuisi). Ketiga konsep tersebut berlaku silang-bidang meliputi fiqh,teologi-filsafat dan teosofi. Di masing-masing bidang setiap madzab ulama’ mempunyai porsi bergagam dalam menenempatkan akal itu sendiri.
Kedua ditengah situasi pandemi seperti ini mepertentangkan temuan sains dengan agama selain kurang bijak juga membahayakan umat muslim. Apalagi hal tersebut dilakukan oleh tokoh yang mempunyai ribuan umat. Tidak ada yang salah dengan jamaah salat ied di rumah, selain fiqh mengakomodir, toh tujuannya hifdzu an-nas (menjaga diri dari potensi kontak fisik dengan banyak orang). Bukannya orientasi fiqh terletak pada maqasid as-syariah?
Kasus Ijtima Ulama di Gowa Sulawesi Selatan yang menciptakan kluster besar harusnya menjadi bahan intropeksi (muhasabah) kita sebagai umat muslim untuk menahan diri dari ritual ibadah yang sifatnya menimbulkan konsentrasi massa.
Ini semata – mata sebagai bentuk ikhiar serta mengamalkan prinsip lil ikhtiyat (prinsip kehati-hatian) agar kita selamat dari virus yang belum ada vaksinnya ini bukan malah menyangkalnya dengan argumen-argumen yang tidak masuk akal dan anti sains.
Dalam kaidah fiqh dijelaskan tentang larangan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
لا ضرر و لا ضرار
Salat berjamaah di masjid berpotensi membahayakan orang lain apalagi jika penyakit itu adalah covid-19. Kalian boleh menyangkal selagi tidak terkonfirmasi positif covid-19 masih aman salat di masjid. Masalahnya presentasi rapid test dan swab di negara kita jauh dari kata masif sehingga kita sebenarnya tidak benar tahu –tahu apakah kita bebas dari virus ini, belum lagi jamaah akan berbaur dengan orang-orang yang rentan jika terkena virus ini seperti usia di atas 60 tahun. Pun dalam kaidah fiqh juga terkenal dalil;
درء المفاسد أولى من جلب المصالح
“Menolak potensi bahaya (mudharat) itu lebih didahulukan daripada meraih manfaat.”
Ikut salat berjamaah seperti salat ied memang mendapatkan pahala namun juga berpotensi menimbulkan madharat berupa munculnya kluster baru covid-19 dan membahayakan jiwa manusia. Maka menolak madharat lebih didahulukan daripada ikut salat berjamaah.
Di tengah pandemi ini selain tetap menggunakan akal kritis kita, seyogyanya kita tidak perlu memperumit laku beragama karena agama Islam sendiri menghendaki kemudahan bagi pemeluknya.
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah tidaklah menjadikan kesempitan (kesulitan) atas kalian di dalam urusan agama” (QS. Al-Haj: 78)
Semoga kita semua dapat belajar dari pengalaman pengalaman di atas. Wallahu a’lam.
______________________________________
Artikel ini ditulis oleh Fathan Zainur Rosyid.
Personil Grup Hadrah Al-Muawanah Polorejo-Ponorogo.
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan