Sudah sejak lama saya tahu rekam jejak gerakan ini. Secara tradisi ritual ibadah mungkin tidak jauh berbeda dengan waga NU, sebagaimana saya termasuk di dalamnya. Mereka mengaku berpegang pada madzhab Imam Syafi’i dalam fikih. Mengikuti Imam Asy’ari dalam konstruksi aqidah dan berhujjah dalam tasawuf mengikuti Imam Ghazali. Tapi apa lacur tindakan dan perilaku mereka tidak sedikit yang secara langsung maupun tidak mencemari keluhuran nilai Islam itu sendiri.
Dalam jejak digital banyak ditemui bagaimana sepak terjang ormas ini. Semangat ingin menegakkan perkara haq tapi secara naif, justru melakukan hal-hal batil. Mengusung penegakan syariah, tetapi justru merusak tatanan yang sudah disepakati secara bersama, bahkan oleh sejumlah ‘ulama lampau. Sebagaimana kesepakatan bahwa Indonesia adalah negara dengan ideologi Pancasila yang sejak mula berdirinya disepakati.
Sebagaimana yang diterangkan dalam AD/ART FPI, didirikan dengan mengusung semangat dalam visi dan misinya berupa penerapan syariat Islam secara kafah di bawah naungan Khilafah Islamiyah menurut manhaj Nubuwwah melalui pelaksanaan dakwah, penegakkan hisbah dan pengamalan jihad.
Belakangan dipersoalkan dengan adanya keinginan menciptakan sistem khilafah. Konsep yang dibangun oleh HTI mungkin tak seratus persen sama dengan keinginan ormas ini, tapi motivasi dan semangatnya dalam mendirikan khilafah bisa dikatakan persis.
Saya tidak mengatakan apa yang tampak dari ormas ini semuanya buruk atau brutal. Saya mengapresiasi semangatnya dalam menjalankan ibadah dan menumpahkan cintanya pada Nabi dalam momen-momen peringatan hari bersejarah Nabi, seperti peringatan maulid Nabi.
Kepedulian mereka untuk berbagi dan membantu saudara-saudara korban bencana adalah tindakan yang sangat mulia dan patut diapresiasi. Tetapi pada sisi lain, keangkuhan mengaku mewakili umat Islam dengan “Imam Besar”nya dalam misi menegakkan syariah Islam adalah sebuah kenaifan dan patut disayangkan.
Saya merasa resah mendengar pernyataan-pernyataan “Imam Besar”nya yang diputar dalam acara mata najwa semalam. Ada sepuluh langkah FPI dalam rangka menegakkan khilafah. 1. Peningkatan fungsi dan peran OKI, 2. Pembentukan parlemen bersama dunia Islam, 3. Pembentukan pasar bersama dunia Islam, 4. Pembentukan pakta pertahanan bersama dunia Islam, 5. Penyatuan mata uang dunia Islam, 6. Penghapusan paspor dan visa antardunia Islam, 7. Kemudahan asimilasi perkawinan antardunia Islam, 8. Penyeragaman kurikulum pendidikan agama dana umum dunia Islam, 9. Pembuatan satelit komunikasi bersama dunia Islam, 10. Pendirian mahkamah Islam internasional. Anda bisa check di sini http://bit.ly/2YgHoD5.
Tidak Rela Diwakili FPI
Saya seorang muslim tapi tak rela diwakili oleh FPI dalam mengatasnamakan umat Islam. Bagi saya FPI tak lebih dari sebuah komunitas yang mempunyai visi misi sebagaimana mereka rumuskan. Tetapi sekali lagi saya katakan mereka tak bisa mengklaim mewakili umat Islam Indonesia, apalagi dunia dengan “Imam Besar”nya itu.
Saya juga tak setuju dengan pernyataan salah satu tokoh pimpinannya yang mengatakan bahwa orang yang tidak suka pada FPI adalah memang orang yang doyan maksiat. Klaim seperti ini justru menampakkan keangkuhannya. Apakah mereka semua orang-orang suci? Siapakah yang berhak menyatakan kesucian dirinya?
Saya melihat wajah Islam yang murung dan “menakutkan” (bisa jadi dibantah sebagai representasi “tegas” oleh kelompoknya dan dianggap menerapkan perintah amar ma’ruf nahi munkar) dalam sepak terjang ormas ini. Merasa selalu terancam karena penindasan-penindasan yang dibilang tak kasat mata.
Narasi asing dan aseng menguasai Indonesia, selalu dimunculkan dalam argumentasinya untuk membenarkan semangatnya dalam berjihad menegakkan syariat Islam sebagai perlawanan pada penindasan itu.
Padahal, konsep negara bangsa tidak bisa dipisahkan dari lobi-lobi tingkat tinggi dalam menjalin kerjasama internasional. Sebuah negara tak bisa lepas dari hubugan internasional. Dari sini perlu dibangun taktik dan strategi tingkat tinggi pula.
Sedangkan konsep yang ditawarkan mereka justru rentan mengoyak hubungan-hubungan baik yang selama ini terjalin. Bahwa ada sedikit ketimpangan atau terkadang mungkin merugikan, memang tak bisa dipungkiri. Tapi semua itu tentu bisa diperbaiki tanpa harus merusak hubungan yang selama ini telah dibangun.
Sejak dulu Indonesia telah bersepakat tentang kebebasan beragama. Diperjuangkan dan dibangun oleh berbagai latar belakang tokoh. Semua orang berhak menentukan keyakinannya. Tak ada yang boleh mengusik. Bukankah konsep ini yang ditanamkan kanjeng Nabi saat membangun peradaban madani di kota Yatsirb yang belakangan kemudian diganti dengan nama Madinah.
Madinah adalah representasi dari konsep kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat adil dan makmur. Masyarakat dibangun dengan menjaga kepercayaan kolektif dalam menjalankan kehidupan sosial. Tak ada yang dipandang sebelah mata. Bahkan pada orang yang mencaci maki kanjeng Nabi sekalipun.
Kembali pada soal FPI atau Front Pembela Islam. Ormas ini bagi sebagian orang sangat diapresiasi dan dianggap sebagai ormas yang sangat tegas menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka mendukung sepak terjangnya yang tegas kepada kemaksiatan, meski terkadang terlampau brutal. Saya tak bisa menerima kalau mereka mengklaim mengatasnamakan perwakilan umat Islam di Indonesia.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang memiliki warga terbesar saja tak pernah mengklaim mewakili umat Islam Indonesia. Kedua ormas ini secara alami menampakkan keberagamaan yang khas dengan citra yang sangat damai dan santun.
Bukan berarti tidak tegas pada ketimpangan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap ranah agama. Kedua ormas ini secara elegan melebur dalam konsep bernegara sambil membenahi dan merancang serta melaksanakan perbaikan-perbaikan demi kemaslahat secara umum.
Begitulah pandangan saya yang sedikit resah usai menyaksikan mata najwa semalam. Argumentasi-argumentasi yang dibangun oleh FPI banyak berupa alibi belaka. Mencerminkan sikap yang menggelikan sekaligus naif. Karena itu saya tak rela mereka merasa mewakili keberIslaman umat Islam dengan berdalih demi kejayaan Islam. Semua itu hanyalah utopia semu belaka.
Mungkin jumlahnya tak seberapa, tapi menjadi persoalan serius negara ini saat berisik dan mengusik wajah damai bangsa ini.
Kalau boleh saya ingin tegaskan (bukan lantas berarti benci) SAYA MUSLIM TAPI TAK RELA DIWAKILI OLEH FPI.
Tema Mata Najwa kemarin malam; FPI: Simalakama Ormas, benar-benar sangat menggelitik. Dan pada akhirnya kebijakan pemerintah membubarkan FPI atau tidak itu tentu yang terbaik. Kita lihat saja! (AHA)
Editor Al-Fikrah, Alumni Ponpes Mambaus Sholihin