Ketika saya berziarah ke tempat pasujudan Sunan Bonang yang ada di Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah, saya merasakan kehadiran sosok beliau. Saya mengagumi Raden Makhdum Ibrahim putra Sunan Ampel itu.
Banyak hal yang dapat dipetik dan diambil hikmah dari riwayat perjalanan Sang Wali Wakhdat tersebut. Sunan Bonang memang seorang wali yang sangat luar biasa. Selain ahli dalam ilmu agama juga seorang yang arif dan bijaksana. Sunan Bonang sangat menghormati kultur budaya masyarakat. Hal ini terbukti dengan warna dan corak dakwah yang mengikuti arus tapi tidak terbawa arus masyarakat.
Sunan Bonang walau dari golongan priyayi namun mampu menerapkan falsafah “Manjing ajur ajer”. Sunan Bonang menjadi seorang tokoh yang mampu berbaur dengan masyarakat luas, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini menjadikan dirinya dicintai dan dihormati oleh masyarakat di manapun dia tinggal.
Pasujudan Sunan Bonang menyimpan daya tarik yang luar biasa bagi para wisatawan rohani maupun bagi masyarakat yang ingin menikmati keindahan panorama senja di atas bukit.
Di Bonang ini terdapat wisata pantai Watu layar yang cukup indah. Lanskap pantai yang membentang di utara bukit Bonang tampak mempesona dengan jajaran perahu-perahu milik nelayan setempat.
Selain tempatnya yang indah dan enak dikunjungi pasujudan Sunan Bonang juga menyimpan energi barakahnya para wali, khususnya Sunan Bonang tentunya. Para peziarah yang datang ke tempat itu tentu punya niat yang bermacam-macam, mereka berdoa, bertabarrukan dan bertawasul dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an di lokasi Pasujudan.
Ketika saya akan masuk ke pasujudan juru kunci mengingatkan bahwa tujuan ke pasujudan adalah untuk berdo’a kepada Allah semata.
Menurut saya, Pasujudan Sunan Bonang selain berfungsi sebagai tempat ziarah juga memiliki makna filosofis yang tinggi. Saya menyebutnya batu itu sebagai tangga-tangga menuju langit. Saya ingat apa yang dikatakan oleh budayawan kondang Sujiwo Tejo.
“Tangga menuju langit adalah kepalamu, maka letakkan kakimu diatas kepalamu. Untuk mencapai Tuhan injak-injaklah pikiran dan kesombongan rasionalmu.”
Saya memaknai apa yang dikatakan oleh Sujiwo Tejo ini bahwa, ketika kita sujud posisi kepala sama rendahnya dengan kaki, dan inilah posisi di mana secara psikologis seorang hamba sangat dekat berintim dengan Tuhannya.
Sunan Bonang meninggalkan pasujudan dalam rangka untuk memberikan pesan kepada kita agar kita tidak lupa untuk bersujud. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
عن أبى هريرة أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :
أقرب ما يكون العبد من ربّه وهو ساجد فأكثروا الدّعاء
Dari Abu Hurairoh, Rosulullah SAW bersabda : “Keadaan paling dekat seorang hamba dari Rabbnya adalah ketika dia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah do’a (di dalamnya). (HR. Muslim).
Dengan sujud seorang hamba akan dekat dengan Rabbnya, begitu dawuhnya Nabi. Dari teks hadits di atas mengajarkan kepada kita bahwa hanya dengan sujudlah langit kemuliaan itu dapat kita dapatkan. Bukan lantas dengan kita dongakkan leher kita hingga menjangkau langit.
Bukan dengan kita tinggikan hati kita hingga menjangkau cakrawala. Bukan, justru dimensi langit dapat kita raih ketika kita meletakkan kepala serendah-rendahnya di bumi. Dan esensi ke-Tuhanan dapat kita rasakan ketika kita dalam posisi merendah, bersimpuh dan bersujud dengan khusu’, ndepe-ndepe di keharibaan Tuhan Jalla Jalaaluh. Tuhan hadir dalam sujud-sujud kita, mengabulkan segala do’a-do’a kita, dan mengampuni segala dosa-dosa kita.
Inilah menurut saya yang diwariskan dan diajarkan Sunan Bonang kepada kita tentang batu petilasan beliau yang berada di Bonang Lasem.
Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia.