Di masjid kampung saya, kalau waktu salat Jum’at, jamaahnya sangat banyak, bisa mencapai ribuan orang. Karena masjid kampung saya adalah Masjid Besar yang dianggap paling besar se-Kecamatan, walaupun barangkali ada masjid yang lebih besar lagi di kampung lain. Jadi tidak mengherankan juga kalau jemaahnya membludak, apalagi banyak musafir yang juga ikut salat di sana, karena lokasinya yang strategis tepat di sisi utara jalan raya Daendles atau jalur pantura Tuban.
Karena jemaahnya sangat banyak, maka seperti kebanyakan di masjid lainnya, orang yang hendak salat jum’at dalam mencari tempat salat juga bervariasi, ada yang duduk di pinggir dekat tembok, ada yang di pojok, ada yang di dekat tiang, dan ada yang di tengah-tengah. Alhasil, banyak tempat yang masih kosong yang ada di tengah-tengah dan sela-sela para jemaah. Padahal masih ada banyak jemaah yang baru datang dan ia juga mencari tempat kosong untuk ditempatinya.
Dalam keadaan demikian, tidak menutup kemungkinan, ketika seorang jemaah mau menuju tempat yang kosong itu, ia akan melewati banyak jemaah yang lain. Dan di antara mereka yang dilewati juga ada yang masih melaksanakan salat sunah Tahiyatul Masjid. Jemaah yang baru datang dan menuju tempat yang kosong itu -entah tahu atau tidak- terkadang lewat di depan orang yang sedang lewat.
Terkadang, kelihatannya mereka tidak menyangka kalau orang yang dilewati itu sedang salat, karena pas duduk tasyahud akhir. Tapi terkadang juga mereka tahu kalau yang dilewati itu sedang salat, karena jelas masih berdiri. Barangkali yang terakhir ini tidak tahu resiko daripada orang yang lewat atau menerjang orang yang sedang salat. Gawat kalau begitu. Kita perlu waspada, jangan sampai kita melewati atau menerjang orang sedang salat. Kalau kita tahu, kita juga harus memberitahu atau menyarankan orang lain agar jangan menerjang orang yang sedang salat tersebut. Saya teringat sabda Rasulillah:
لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ : لاَ أَدْرِي ، أَقَالَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ، أَوْ شَهْرًا ، أَوْ سَنَةً
“Jika orang yang lewat di depan orang yang salat itu tahu resiko/dosa yang menimpanya, maka berhentinya selama 40 (hari/bulan/tahun) lebih baik daripada lewat di depan orang yang salat”. Abu Nadlr berkata: “aku tidak tahu apakah Nabi berkata 40 hari / bulan / tahun”.(HR. Bukhari).
Maka alangkah baiknya ketika kita sedang salat memberi “pagar” dengan sajadah atau lainnya. Untuk meyakinkan kalau kita dalam kondisi salat dan membatasi “wilayah” kita. Sabda Nabi:
ليستتر أحدكم في صلاته ولو بسهم
“Sebaiknya salah satu kalian menjadikan satir/penghalang dalam salatnya walaupun dengan busur panah”. (HR. Hakim).
Sebenarnya hampir semua masjid-masjid sudah ada garis pembatas depan yang membatasi wilayah orang yang salat, akan tetapi sepertinya masih banyak yang tidak mengindahkan ketika ada orang sedang salat. Maka, sajadah berguna sebagai taukid, penekanan wilayah. Nanti kalau sudah selesai salat, kita bisa melipat sajadah, agar di depan kita bisa dilewati orang yang hendak keluar-masuk barisan salat.
Intinya, kita mau menggelar sajadah sebagai pembatas atau akan diterjang oleh orang yang lewat karena kita tidak memberi batas. Yang terpenting yaitu mengusahakan jangan sampai kita yang mendapat resiko dosa. Allahu a’lam.
Penulis: Terompah Kiai, Pendidik dan Anggota LTN PC. NU Kab. Tuban