Warung kopi di tengah kebun jagung itu sepi sekali. Sepertinya, warung baru. Jadi masih belum seramai warung-warung kopi pada umumnya. Di warung yang nyaris tidak ada pembeli itu kami berembuk. Mempersiapkan peluncuran website suluk.id.
Sesekali kami saling ledek. Kuat berapa tahun mengelola website semacam Suluk ini. Pertanyaan yang sering keluar itu tak pernah kami respon dengan serius. Selalu kami jawab. Sak mlaku-mlakune.
Namun, setelah gemuruh peluncuran website itu selesai kami tak lagi memiliki rasa pesimis keberlangsungan website ini. Semua tim yang ketemu pun jarang memiliki komitmen masing-masing. Semua bersepakat akan terus memproduksi konten untuk suluk.
Walhasil, setahun sudah suluk berdampingan dengan kita semua. Naskah dari para penulis terus saja datang. Meski tidak sederas media-media senior yang telah lahir dan komplit lebih dulu.
Suluk memang dikelola oleh para santri yang tinggal di Tuban. Namun kami tidak pernah menjadikan media ini lokal dan terbatas. Kami tetap membuka siapapun yang ingin berkontribusi. Prinsipnya sama-sama memiliki semangat mengabarkan Islam ramah dan menggembirakan. Itu saja.
Mengelola website berasis keislaman tidak mudah. Tidak sembarang konten bisa kita terima dan tayangkan. Kurasi tetap kita lakukan. Agar tidak membuat kegaduhan yang justru menjauhkan dari rasa damai dan gembira.
Ada satu naskah yang sering menjadi jujukan para pembaca. Yakni artikel tentang Gus Baha. Apapun artikel jika menyangkut Gus Baha pasti banyak yang membaca dan membagikannya.
Semua tahu, Gus Baha memang sedang digemari banyak orang. Meski begitu Gus Baha tetap biasa saja. Gus Baha secara tidak langsung telah memberikan suntikan semangat untuk kami yang mengelola situsweb ini. Sebab, kata Gus Baha, ngaji itu memang harus menggembirakan. Sesederhana itu laku Gus Baha saat menebar ilmu pengetahuan.
Suluk pun demikian, kami berharap bisa terus menebarkan Islam yang Menggembirakan. Bukan Islam yang menyeramkan hingga Islam yang justru dianggap orang bebal.
Cita-Cita Dakwah Digital
Sejujurnya berat sekali jika kami dikategorikan sebagai media dakwah. Sebab, bagi kami dakwah itu bukan hanya menyiarkan melainkan juga menjalankan. Kami memilih diksi berbagi saja. Berbagu tentang pengetahuan. Tentang cerita hikmah dan hal-hal unik lainnya. Yang kadang kita tidak menyadari itu memiliki nilai lebih.
Digitalisasi dakwah telah menggema. Mau tidak mau ruang dakwah bukan lagi masjid dan surau. Namun, jagad internet juga telah menjadi medium untuk berdakwah.
Memang, kalangan NU dianggap terlambat memasuki ruang maya dalam menebar dakwahnya. Tapi, sekarang semua telah bergerak. Para santri telah berlomba-lomba memproduksi konten. Di berbagai platfom. Mulai media sosial sudah mulai dipenuhi kajian ala santri. Bahkan, ada orang yang niat sekali mengais dollar dengan menguggah ngajinya Gus Baha. Kondisi ini menunjukkan geliat dakwah digital kader NU mulai nampak.
Berkembangkan dakwah digital ala santri ini perlu terus dikuatkan. Jika perlu saling menguatkan. Situsweb sejenis suluk.id sudah banyak bertebaran. Mulai yang senior maupun para pemain baru. Saya yakin para pengelola punya target yang sama. Yakni menyiarkan tentang Islam yang Rahmatallillalamin.
Ada satu hal dalam dakwah digital yang perlu dicermati. Yakni cermat dalam memframing setiap perkataan para kiai NU. Jika, terpeleset sedikit saja. Maka orang-orang yang tidak ingin melihat kedamaian akan menyulut keriuhan. Kondisi ini pernah dialami Gus Muawafiq. Meski semua orang yakin jika seorang Gus Muawafiq tidak mungkin merendahkan Rosulullah Muhammad SAW.
Maka, setiap orang yang punya kebebasan merekam dan mengunggah video di akun media sosialnya perlu berpikir berhati-hati. Kita harus mengedukasi diri kita sendiri. Memilah mana pernyataan yang rawan ribut dan pernyataan yang mendamaikan.
Termasuk mereka-mereka yang gemar memotong cermah dan ngajinya para kiai kemudian diunggah di instagram. Perlu dicermati lagi. Kira-kira, memotong cemarah kiai itu sudah pas atau belum. Jangan-jangan niat kita baik namun akan berbuntut panjang di belakang.
Saya kira semua harus saling mengingatkan. Sesama pengelola situswebsite dan akun medsos bernaga dakwa ala santri perlu berjejaring untuk meneguskan cita-cita dakwah digital. Dengan begitu, di masa depan jika sudah tak ada lagi kertas generasi penerus masih bisa menikmati konten khas pesantren. (*)

Redaktur suluk.id