Suluk.ID
Tuesday, July 1, 2025
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
Suluk.ID
Home Ngilmu

Menumbuhkan Manusia Merdeka: Menyatukan Gagasan Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire untuk Pendidikan Indonesia

by suluk
May 4, 2025
in Ngilmu
Menumbuhkan Manusia Merdeka: Menyatukan Gagasan Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire untuk Pendidikan Indonesia
Share on Facebook

Pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu atau mengisi kepala anak dengan pengetahuan. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Dalam tulisan ini, penulis ingin mencoba menjelaskan dari sedikit pemahaman penulis, mengenai konsep pendidikan menurut dua tokoh besar, Ki Hajar Dewantara dari Indonesia dan Paulo Freire dari Brasil. Keduanya hidup dalam latar belakang yang jauh berbeda, namun memiliki kesamaan pandangan dalam pendidikan, bahwa pendidikan seharusnya membebaskan dan membentuk manusia seutuhnya, yang merdeka lahir dan batin.

Ki Hajar Dewantara: Pendidikan sebagai Tuntunan Kodrat Anak

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan dalam proses tumbuh dan berkembangnya anak-anak. Pendidikan, dalam pandangan beliau, bertugas membimbing segala potensi kodrati yang ada pada diri anak agar mereka dapat tumbuh menjadi manusia seutuhnya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Pendidikan bukanlah alat untuk mengubah kodrat anak. Pendidik hanya bisa mengarahkan dan mengembangkan kekuatan-kekuatan yang sudah ada dalam dirinya si anak, sebagaimana petani tidak bisa mengubah padi menjadi jagung, yang bisa dilakukan adalah merawat padi agar tumbuh subur, dengan memperbaiki tanahnya, memelihara tanamannya, memberi pupuk dan mengairinya. Petani tidak dapat mengubah kodrat tanaman. Maka, seorang pendidik seharusnya menghargai kodrat dan keunikan setiap anak, serta menciptakan lingkungan yang subur untuk menumbuh kembangkan potensi mereka.
Lebih lanjut, Ki Hajar mengembangkan metode pendidikan yang dikenal sebagai “among”, yang berakar dari budaya Jawa. Metode ini mencakup tiga prinsip utama yaitu, momong, among, dan ngemong. Momong berarti merawat dengan tulus dan penuh kasih sayang, among berarti memberi contoh dengan mendampingi dan memberi ruang kebebasan batin, dan ngemong berarti menjaga serta mengarahkan agar anak tumbuh bertanggung jawab dan disiplin berdasar nilai-nilai sesuai kodratnya.
Tujuan dari metode among adalah membentuk generasi yang merdeka baik secara lahir dan batin, beriman dan bertakwa, cerdas, terampil, sehat jasmani dan rohani, serta berakhlak mulia. Dalam metode ini, segala bentuk paksaan dan hukuman fisik (kekerasan) tidak diperbolehkan, karena dapat mematikan kemerdekaan batin anak. Pendidik harus mendampingi anak melalui filosofi sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara sendiri yaitu, ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat), dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).

Paulo Freire: Pendidikan sebagai Proses Pembebasan

Sementara itu, Paulo Freire memandang pendidikan sebagai proses kesadaran kritis. Pendidikan, dalam pandangan Freire, harus membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuan dan penindasan. Ia mengkritik keras model pendidikan gaya “bank” (banking education) yang menjadikan peserta didik sebagai objek pasif, penerima tindakan guru tanpa memiliki kuasa atas dirinya sendiri, atau dalam bahasa Freire, tempat guru “menabung” pengetahuan. Model pendidikan gaya bank menggambarkan hubungan yang timpang antara guru dan murid. Dalam praktiknya secara keseluruhan, guru mengajar dan murid diajar. Guru diposisikan sebagai pusat pengetahuan yang serba tahu, sedangkan murid tidak tahu apa-apa. Guru berpikir dan murid hanya mengikuti alur pikiran sang guru. Guru berbicara dan murid patuh mendengarkan. Guru disiplin dan murid didisiplinkan. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, dan murid menerima. Guru berbuat dan murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya. Guru memilih isi pelajaran dan murid tanpa pendapatnya menerima pelajaran itu. Guru bertindak sebagai subjek dan murid tidak lebih dari objek pasif yang pasrah untuk dibentuk. Dalam model ini, murid tidak diberi ruang untuk berpikir, bertanya, apalagi menggugat realitas hidupnya. Akibatnya murid akan kehilangan kekuatan kreativitasnya dan minim dalam mengembangkan kesadaran kritis mereka sebagai pengubah dunia.
Sebaliknya, Freire menawarkan pendidikan yang dialogis dan problematis. Melalui metode hadap-masalah (problem-posing education), peserta didik diajak untuk menghadapi realitas konkret mereka, lalu bersama-sama secara partisipatif merefleksikan dan mengkritisinya. Dalam pendekatan ini, guru tidak sekadar “memahami” lalu “menceritakan” kepada murid. Sebaliknya, guru terus terlibat dalam proses memahami, baik saat menyiapkan proyek pembelajaran maupun saat berdialog dengan murid di kelas. Guru tidak menganggap pengetahuan sebagai miliknya sendiri, namun sebagai bahan refleksi bersama, antara dirinya dan murid.
Dengan demikian, guru akan selalu memperbarui cara pandangnya seiring berkembangnya refleksi dari para murid dan mengevaluasinya. Murid pun tidak lagi hanya menjadi pendengar pasif. Mereka tumbuh menjadi pencari jawaban yang kritis melalui dialog aktif dengan guru. Materi pembelajaran diberikan bukan sebagai sesuatu yang harus diterima mentah-mentah, melainkan sebagai bahan pemikiran bersama. Bahkan, guru pun terbuka untuk meninjau ulang pandangannya saat mendengar pemikiran dari murid.
Peran pendidik dalam metode hadap-masalah adalah menciptakan ruang belajar yang hidup dan dinamis, dimana pengetahuan yang sebelumnya hanya dipercaya begitu saja, secara bertahap digantikan oleh pemahaman yang lebih mendalam. Guru bukanlah satu-satunya sumber kebenaran, ia adalah fasilitator yang tumbuh bersama siswa dalam semangat kemanusiaan. Proses belajar menjadi ajang membangun kesadaran kritis dan memberdayakan siswa agar mampu mengubah nasibnya dan nasib bangsanya.
Pendidikan sejati, menurut Freire, harus membebaskan manusia dari cara berpikir yang pasif dan membuatnya menjadi subjek aktif bagi perubahan sosial. Hal ini dapat saya katakan adalah proses transformasi yang berakar pada kesadaran, refleksi, dan aksi.

Menjembatani Dua Gagasan antara Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire

Meski hidup di belahan dunia yang berbeda, pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire menurut saya ibarat dua sungai besar yang bermuara pada satu samudra. Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire memiliki titik temu yang sangat kuat. Keduanya sama-sama menolak pendidikan yang memaksa, menyeragamkan, dan mengabaikan keunikan serta potensi anak yang beragam. Mereka menekankan pentingnya proses pendidikan yang membimbing, membebaskan, dan menghidupkan daya pikir serta nilai-nilai kemanusiaan peserta didik.
Ki Hajar menekankan pendidikan sebagai tuntunan kodrat dan pembentukan karakter, sedangkan Freire menekankan kesadaran kritis sebagai landasan transformasi sosial. Titik temu antara keduanya yaitu sama-sama berangkat dari penghormatan terhadap kemanusiaan sebagai pusat dari proses pendidikan.
Gagasan among dari Ki Hajar, yang mengedepankan kebebasan batin, menurut saya sangat kompatibel dengan pendidikan dialogis Freire. Keduanya memiliki relevansi yang kuat dalam mencapai tujuan untuk membebaskan peserta didik dari belenggu ketertindasan. Ngemong berarti membimbing tanpa menekan, selaras dengan pendekatan dialogis yang memungkinkan murid tumbuh sebagai individu yang mandiri dalam berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Dalam model pembelajaran kekinian, metode among dapat dihidupkan dengan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) atau pendekatan kontekstual yang memberi ruang anak untuk merasakan dan memahami persoalan nyata di sekitarnya.
Sementara itu, konsep tut wuri handayani selaras dengan metode hadap-masalah, guru bertindak sebagai pendorong dan memfasilitasi dari belakang, bukan menguasai, mengatur dan mengendalikan dari depan. Guru bukan sumber tunggal kebenaran, tetapi penumbuh semangat, fasilitator, dan partner dalam belajar anak.
Keduanya juga sama-sama menolak hukuman fisik dan kekuasaan absolut guru atas murid. Gagasan mereka sama-sama bermuara dalam mengedepankan pendidikan yang manusiawi dan dialogis, serta menempatkan murid sebagai subjek aktif dan merdeka.

Integrasi Filosofi Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire dalam Konteks Pendidikan Indonesia

Pendidikan sejatinya adalah proses membangun manusia merdeka. Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan adalah tuntunan kodrat menuju keselamatan dan kebahagiaan tertinggi, sedangkan Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan adalah jalan pembebasan menuju kemanusiaan yang seutuhnya. Keduanya menawarkan gagasan yang saling menguatkan, bahwa pendidikan harus membimbing sekaligus membebaskan.
Dalam praktiknya, dunia pendidikan Indonesia sangat mungkin untuk mengintegrasikan filosofi luhur Ki Hajar Dewantara dengan pendekatan pembebasan ala Paulo Freire. Pengintegrasian tersebut dapat diwujudkan melalui model pembelajaran yang menghargai kodrat anak sebagai individu yang unik, sekaligus menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitas sosialnya. Dengan begitu, kita dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang tidak hanya menumbuhkan potensi anak secara personal, tetapi juga membentuk generasi yang kritis dan merdeka yang siap untuk menghadapi menghadapi tantangan zaman.

Referensi :
Suparto Rahardjo. (2010) Ki Hajar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Paulo Freire. (2024) Pendidikan Kaum Tertindas (Yuhda Wahyu Pradana, Trans.). Yogyakarta: NARASI.

Penulis : Dian Efendi, Guru MI NU Hidayatun Najah.

suluk
suluk

Merawat Islam yang Ramah

Tags: HardiknasHardiknas2025Ki Hajar Dewantara
Previous Post

Lailatul Ijtima’ Ranting NU Desa Kayangan Perekat Silaturahim

Next Post

Teruskan Tradisi, Warga Desa Jintel Gelar Ambengan dan Pengajian Saat Nyadran

Related Posts

1 Muharram dan 1 Suro:  Harmoni Budaya Jawa dan Islam dalam Refleksi Zaman

1 Muharram dan 1 Suro: Harmoni Budaya Jawa dan Islam dalam Refleksi Zaman

by Redaksi
June 25, 2025
0

Dua warisan besar yang saling merangkul, bukan bertentangan. Setiap datangnya 1 Muharram atau 1 Suro dalam penanggalan Jawa-Islam, masyarakat di...

Tradisi 1 Muharram: Simbol Spiritualitas Islam Dan Budaya Jawa

Tradisi 1 Muharram: Simbol Spiritualitas Islam Dan Budaya Jawa

by Jumari
June 20, 2025
0

1 Muharram diperingati sebagai tahun baru Islam. Tahun baru yang memiliki ragam versi dalam memeringati dan memeriahkannya. Pada kalangan masyarakat...

Urgensi Pesantren Bagi Generasi Milenial

Urgensi Pesantren Bagi Generasi Milenial

by Mukani
June 12, 2025
0

Sejarah pendidikan Islam berkembang seiring perkembangan peradaban Islam itu sendiri. Lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan hasil pemikiran setempat yang dicetuskan oleh...

Dibalik Lensa Bias : Apakah Orientalis Selalu Berdampak Negatif ?

Dibalik Lensa Bias : Apakah Orientalis Selalu Berdampak Negatif ?

by elhimmah
June 8, 2025
0

Al- Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang berhasil menarik perhatian umat manusia di planet ini. Tidak hanya dunia Timur yang menjadikan...

Next Post
Teruskan Tradisi, Warga Desa Jintel Gelar Ambengan dan Pengajian Saat Nyadran

Teruskan Tradisi, Warga Desa Jintel Gelar Ambengan dan Pengajian Saat Nyadran

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sosial Media

Terkait

Keteladanan Etika Dakwah KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy Dalam Perspektif Qaulan dalam Al-Qur’an

Keteladanan Etika Dakwah KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy Dalam Perspektif Qaulan dalam Al-Qur’an

July 1, 2025
Bijak Bermedia, Sehat Bermental: Mahasiswa UIN SATU Didorong Jaga Kesehatan Mental Melalui Seminar Nasional

Bijak Bermedia, Sehat Bermental: Mahasiswa UIN SATU Didorong Jaga Kesehatan Mental Melalui Seminar Nasional

July 1, 2025
Biografi R.KH. Muhammad Saiful Anam

Biografi R.KH. Muhammad Saiful Anam

June 29, 2025
Suluk.id - Merawat Islam yang Ramah

Suluk.id termasuk media alternatif untuk kepentingan dakwah. Dengan slogan Merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan.

Suluk.ID © 2025

  • Redaksi
  • Tentang
  • Disclaimer
  • Kerjasama
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan

Suluk.ID © 2025