Hampir 50 tahun beragama Islam dengan rekam jejak 19 tahunan bergerak di isu lintas iman, baru kali ini aku terlibat dalam urusan administrasi perkawinan Kristen, Rabu (28/8).
Aku dijadikan salah satu saksi perkawinan Lia dan Erwin. Saksi lainnya adalah Susi Indraswari, penggerak GUSDURian Jombang. Keterlibatanku sebagai saksi di sana bukanlah sekedar sebagai saksi sebagaimana orang yang menyaksikan karnaval atau perpindahan ibukota.
Kesaksiaanku formal. Nama dicatat. KTP diverifikasi. Orangnya juga harus hadir. Kesaksiaanku adalah by law. Tertera jelas nama dan agamaku; Moh. Anshori, S.H. – Islam (notok). Dibacakan di hadapan forum sembari diakhiri, “Benar demikian?” kata petugas.
Lia adalah dosen UC, Tionghoa, pernah Perkantas, jemaat GKI Jombang dan alumni Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) pertama di kota Santri. Sedang Erwin; Batak dan bergereja di HKBP. Marganya Bagariang yang konon terlarang kawin dengan Situmeang, Marbun, Simanungkalit, Hutahuruk, dan Sitohang. Untuk kepentingan perkawinan, Lia mendapat marga Manalu.
Pemberkatan keduanya dilakukan di HKBP ressort Pasar Minggu oleh Pdt. Ruth Betty Agustina br Pandjaitan, setahun lalu kira-kira. Aku tahu karena pegang dokumennya.
Aku masih ingat mengajak banyak teman-teman GUSDURian Jombang datang ke perayaan perkawinan mereka, bersamaan dengan halal bi halal tahun lalu. Perayaan semakin meriah karena teman-teman waria Jombang juga datang. Aku ajak mereka.
Tiba di Dispendukcapil Jombang, kami langsung antri. Dapat urutan ketiga dari total empat pasangan yang akan dilayani pagi ini. Setelah dipanggil, kami semua masuk ke dalam ruangan mirip persidangan. Tiga orang petugas duduk di depan, bangkunya lebih tinggi.
“Saya baru pertama kali mengalami hal seperti ini, sebagai muslim berusia hampir 50 tahun. Saya kira perjumpaan seperti ini penting untuk mengajarkan toleransi. Terima kasih,” tiba-tiba saya nyerocos menerobos keheningan saat tanda tangan kehadiran diedarkan.
Dalam hukum Islam (fikih) klasik, keterlibatanku di perkawinan ini pasti agak bermasalah. Aku akan dianggap mempercayai sekaligus meneguhkan perkawinan dalan agama yang dianggap musyrik — menyembah selain Allah yang Esa. Aku akan dilabeli sebagai pendosa.
Akan tetapi sebagai orang yang tidak hanya berkecimpung dalam hukum Islam namun juga bergaul dan sedang mempelajari kekristenan, juga agama lain, aku merasa Kristen jauh dari status musyrik, apalagi kafir. Mereka adalah orang beriman.
Perkawinan Rasulullah Muhammad dan Khadijah tidak diselenggarakan dalam instrumen keislaman ketat seperti sekarang. Mereka berdua tunduk dalam perkawinan adat yang tidak menyinyiri perempuan dengan status sosial dan ekonomi melebihi pasangannya.
Saksi-saksi mereka juga beragama lokal dan Kristen Timur. Khadijah sendiri, perempuan terhormat dan menjunjung tinggi feminisme, besar dan dididik dalam kultur non-Islam. Sedikit cerita menarik perkawinan Khadijah dan Rasulullah bisa diakses dalam tulisanku https://locita.co/esai/seandainya-khadijah-ikut-women-march
Maka sesungguhnya, jika mau merujuk pada imaji perkawinan awal Rasulullah, apa yang aku lakukan di Dispendukcapil tergolong masih “ringan,” Sayangnya, kultur pendidikan klasik Islam di Indonesia masih terpenjara dalam dogma belakangan yang sangat kuat. Tidak mendidik pengikutnya mengeksplorasi berbagai hal untuk kebaikan peradaban. Ah, tak mengapa.
“Apakah perkawinan ini atas kehendak sendiri atau orang lain,” tanya petugas pencatat perkawinan, seperti seorang hakim.
“Kemauan sendiri,” jawab Erwin.
Pertanyaan serupa juga dilawatkan ke Lia. Jawabnya juga sama ” Kehendak sendiri,”
Perkawinan Kristen hari ini memperlihatkan padaku betapa sistem ini memberikan kemerdekaan kepada mempelai, utamanya perempuan, untuk berbicara atas namanya sendiri. Menjawab sendiri, tidak dimakelari oleh orang lain.
Dalam perkawinan Islam Sunni yang aku pernah ikuti dan alami, mempelai perempuan dimanjakan sistem; ia tidak akan ditanya atau berhak berbicara selama proses. Ayahnyalah, atau wali, yang membereskan semuanya, termasuk meminta bantuan petugas KUA untuk mengadakan akad “transaksi,” Mempelai perempuan dicomblangi oleh dua agen; ayah dan penghulu. Sedang hal itu tidak berlaku bagi mempelai laki-laki.
Setiap agama dan keyakinan punya sistem nilai dan ritual tersendiri. Itu sebabnya kita bisa menganalisanya secara terbuka, termasuk untuk menemukan; mana aspek pinggiran dan mana inti; mana yang harus ada (tsabit), mana yang boleh berubah (mutahawwil).
Lia dan Erwin telah memberiku, seorang Nahdliyyin, kesempatan melihat dari dekat sekaligus terlibat dalam etape penting dalam kehidupan mereka. Aku belajar banyak dari proses ini dan merasa terhormat. Itu sebabnya aku menggunakan baju yang sangat jarang aku pakai; seragam pengurus NU saat Muktamar NU Makassar 2010.
I am happy for both of you, Muliasari Kartikawati Manalu & Erwin Oktavianus Bagariang