suluk.id – Saya sering melihat meme yang kurang lebih menggambarkan perempuan ibu rumah tangga yang mempunyai empat tangan layaknya dewa. Setiap tangan yang dia punya memegang benda yang berbeda. Satu tangan memegang sapu lantai, satu tangan yang lain memegang setrika, mixer, dan tentu saja, menimang bayi.
Pada awalnya saya merasa itu adalah meme yang biasa. Saya juga pernah punya pekerjaan menumpuk dan berbeda-beda tapi, toh, saya tetap bisa menyelesaikannya. Sama, kan? Multitasking, gitu. Namun, untuk kali kedua pandangan saya ini mentah sementah-mentahnya.
Ini bermula manakala saya mulai lebih sering, ingat ya, lebih sering membantu pekerjaan rumah tangga. Menyapu, mencuci piring, dan memandikan anak. Mohon maaf, untuk perkara memasak saya akui belum berani menggugat otoritas istri saya ya karena belum bisa saja.
Sebagai manusia yang, ehm, telah mampu menyelesaikan banyak pekerjaan. Saya juga bisa menyelesaikannya. Dan, betul saya menyelesaikannya.Tapi, suatu pagi, ketika saya sedang asyik menyapu, pekerjaan saya itu mendapatkan komentar istri saya.
“Kalau menyapu, semua barang yang tergeletak di atas lantai harus ditaruh di atas. Dirapikan, jangan main sapu saja.”
“Ok. Apalagi?” tanyaku menantang lagi. Padahal sebenarnya ini menyakitkan.
“Sebelum menyapu, tuh, mesin cuci diputar dulu sekalian. Selesai dua pekerjaan bukan?” katanya, biarkan, ah, dia mengguruiku. Asal nggak tengkurap saja nanti malam.
“Ok. Ada lagi yang harus aku tahu?” kali ini aku lebih kepada penasaran daripada menantangnya.
“Aku tuh, ya, kalau memasak tu sambil ngisi air di mesin cuci memutarnya. Nggak lupa Alif (putera kami) dikasih mainan, panci, baskom, tutup dandang, biar dia tenang.” Selesai semua, deh, dalam satu waktu.
*
Saya merenungi pembelajaran istri saya tersebut. Saya mengira itu adalah representasi dari meme multitasking perempuan yang melegenda itu. Mereka mengerjakan banyak pekerjaan dalam satu waktu. Bukan dikerjakan satu persatu seperti yang saya lakukan.
Lagi-lagi saya mendapatkan data yang sama dari teman saya. Kali ini mengenai kebiasaan istrinya menjemput anaknya pulang dari sekolah. Kalau kami para suami menjemput, ya, menjemput saja. Nggak akan ada acara yang lain.
“Istri saya itu, Bang, kalau menjemput anak saya pulang sekolah mampirnya kemana-mana. Mampir ke bakul sayur. Di sana dia membeli garam, kecap, penyedap, dan amunisi dapur lainnya. Belum lagi kalau ada janji COD dengan reseller-nya. Mampir ke counter beli pulsa kalau habis. Mampir ke isi ulang galon. Kok bisa, ya?”
Alih-alih menjawab saya malah bertanya, “Kamu pernah mencoba seperti itu?”
“Pernah, saya mencoba kemarin. Saat saya mendapat mandat mengirim paket ke kantor pengiriman. Nah, itu istri saya titip lagi macam-macam. Mumet pokoknya mumet. Saya nggak sanggup.”
“Akhirnya?”
“Ya, yang saya kerjakan cuma sebagian, tujuh puluh persen lah, sisanya saya kembalikan lagi.”
“Hahaha,” tanggapan saya cuma tertawa, melupakan pertanyaannya “kok bisa, ya” yang tadi.
*
Pengalaman ini membuat saya menyadari satu hal. Multitasking perempuan adalah benar-benar multitasking. Seluruh pekerjaan tidak dalam antrian melainkan dikerjakan bersamaan. Untuk itulah saya memaklumi jika suatu saat sesekali masakan gosong. Itu kalau saya yang ngerjakan dengan gaya yang sama, gosong terus. Hahaha.
Dari sini, saya tidak melarang sama sekali istri saya bekerja. Dan, sekarang istri saya nyambi jualan online, dan saya mendukungnya.
Terus terang, saya begitu risih meme nasihat yang melarang istri bekerja. Saya menentang keras orang-orang yang kampanye ini.
Mereka sudah dikaruniai multitasking yang jempolan. Maka dari situ hendaklah kita berbagi pekerjaan di dapur, maka kita akan bisa menjadi lebih pantas untuk berbagi di kasur. Hahaha.
Wahai para pelarang istri bekerja simaklah baik baik, “Iri bilang, Bosss!”
Lulusan Pondok Pesantren Al-Islam Nganjuk serta dosen di IAIN Tulungagung