Suluk.id – Kesempatan itu akhirnya tiba. Undangan untuk bervaksin covid-19 di sebuah rumah sakit terpampang jelas nama saya. Tempat saya bekerja memang mendapatkan jatah untuk bervaksin. Saat kabar muncul, saya cukup panik. Ini bukan soal takut jarum suntik atau apa. Tapi ini soal vaksin merek apa yang akan saya dapat. Sebab, di undangan itu tidak ada merk vaksin apa yang saya dapat.
Sejak program vaksinasi keluar awal tahun ini, saya selalu mengupdate tentang vaksin. Berbagai informasi tentang efek vaksin saya terima, hingga beragam kabar dampak buruk dari mereka yang telah divaksin. Yang pasti, ada kecemasan dalam diri saya saat waktu vaksin itu tiba.
Senin pagi, mendekati hari raya, saya berangkat dengan kondisi yang benar-benar masih cemas sebab dua hari saya lebih sering buang air kecil. Masuk ke rumah sakit yang cukup besar membuat saya harus memutar motor untuk masuk ke gedung tempat vaksin. Jantung terus berdegub, untuk lebih tenang salawat saya lantunkan. Sesekali menyapa kawan dan mengajak berbicara agar perhatian saya tidak terlalu banyak tentang vaksinasi.
Giliran saya akhirnya tiba. Saat disuntik saya tidak pernah tahu mendapatkan vaksin apa yang mendarat dalam tubuh ini. Nah, setelah berada di sebuah ruangan yang mereka sebut sebagai ruangan pemantauan saya mendapatkan sebuah sertifikat dan sebuah obat penurun panas.
Dari sertifikat itulah saya tahu jenis vaksin yang saya terima. Di sana tertulis merek vaksin yang oleh beberapa negara distop. Tubuh yang awalnya baik-baiknya saja tiba-tiba nggliyeng. Pikiran saya terbawa begitu saja dengan berita-berita yang pernah saya baca. Cemas? pasti saya cemas sebab kabar yang terima banyak berkata miring atas vaksin tersebut.
Di rumah saya hanya glimbungan. Sesekali membaca informasi tentang efek dari vaksin tersebut membuat saya semakin cemas. Saya pun saya mulai merasakan efeknya. Meriang, demam, sedikit mual hingga akhirnya muncul ruam di tubuh. Kalau soal njarem di bekas suntikan itu sudah pasti.
Dari pihak rumah sakit memberikan call center yang sepertinya itu berada di bawah naungan Instalasi Gawat Darurat (IGD). Saya melapor tentang kondisi saya. Nomor itu memberikan balasan dengan baik untuk di awal-awal. Mengapa saya katakan di awal-awal sebab di akhir-akhir saya dibuat sedikit kecewa.
Kekecewaan itu bermula saat kondisi muncul ruam merah di tubuh saya, call center tersebut menyarankan untuk mengonsumsi obat yang fungsinya menangani alergi. Dalam perintahnya, diminta minum tiga kali dalam sehari.
Malam sepulang saya dari apotik membeli obat saya meminumnya. Keesokan harinya saya juga meminumnya lagi. Tapi saat akan meminum kali kedua di hari yang sama saya baru kepikiran untuk mencari info tentang obat yang akan saya minum. Seorang kawan apoteker saya tanya tentang obat itu. Jawabnnya, obat hanya boleh diminum satu kali dalam sehari. Blai slamet.
Ingin saya mengumpat atau apalah itu tapi saya urungkan. Mungkin pihak IGD juga capek harus melayani banyak pertanyaan dari ratusan orang. Kemudian, saya berikirim pesan pada nomor itu lagi. Saya sampaikan jika seorang apoteker menyarankan obat yang telah direkomendasikan untuk diminum sekali saja. Lantas saya tanyakan, saya harus ikut yang mana. Nomor itu menjawab dengan santainya untuk ikut saran apoteker saja. Huh gemes.
Persis hari ketujuh, ruam merah di tubuh pun sudah hilang. Kondisi tubuh semakin membaik. Tangan sudah bisa saya gunakan untuk beraktivitas seperti biasanya khususnya mengangkat galon.
Menghargai Ilmu Pengetahuan dan Sebuah Kepasrahan
Untuk keluar dari rasa cemas saya selalu berbicara dengan diri saya sendiri. Saya mengajak tubuh saya untuk menerima vaksin ini. Saya pikir, semua sudah terjadi dan itu bagian dari takdir yang harus dijalani. Menyesal bukan sebuah jalan keluar dan itu akan justru berbuntut pada kecemasan yang parah.
Saya sebut satu persatu bagian tubuh. Saya ajak bernegosiasi agar mereka memaklumi vaksin yang masuk ke mereka. Saya ajak agar mereka menerima. Saya juga berharap mereka bisa saling akrab bahkan bisa saling beraha ha hi hi dengan vaksin ini hingga akhirnya antibodi dalam dirinya segera terbentuk. Entah hanya sebuah sugesti atau apa. Perlahan tubuh saya membaik dan bagian-bagian tubuh yang awalnya ada keluahan perlahan sudah reda.
Saya sadar betul, membuat vaksin itu bukan seperti menceplok telur. Bukan pula tentang membuat adonan roti nastar. Tapi perlu banyak uji coba. Saya meyakini para ilmuan yang ada di balik pembuatan vaksin akan mati matian dalam memastikan kandungan apa saya yang ada di dalam vaksin itu. Jadi, mustahil rasanya jika ada ilmuan yang memiliki nait jahat dalam pembuatan vaksin dengan niatan membunuh orang. Artinya, mereka para ilmuan vaksin sudah benar-benar menghitung seperti apa resiko tentang vaksin tersebut.
Dengan dalih ini pun saya berpikir, dengan saya divaksin saya menggolongkan diri sebagai orang yang menghargai ilmu pengetahuan. Jikalau sebuah ilmu pengetahuan itu beresiko pada kematian itu saya anggap jihad karena niatnya untuk memberikan kesembuhan pada umat di seluruh dunia. Yang pasti, dampak apapun dari vaksinasi akan membuat para ilmuan untuk memutar otaknya dan terus melakukan penelitian lanjutan. Dari sinilah ilmu pengetahuan akan terus tumbuh, berkembang.
Kini, tinggal mereka yang mendapat amanah untuk menangani vaksinasi dan petugas yang menangani kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) untuk terus meningkatkan pelayanan dan memastikan semua vaksin baik-baik saja.
Sungguh saya tidak ingin berkata apa-apa. Saya tidak ingin menyuguhkan teori apapun. Sebab, semua yang saya jalani ini sudah bagian dari sebuah takdir. Sepertinya, pasrah atas peristiwa yang sudah terjadi akan membuat saya lebih tenang dan tidak cemas seperti hari hari kemarin. Bagi saya, kesempatan menerima vaksin itu bisa jadi rejeki yang sudah digariskan sebab, semua orang di dunia ini sedang berebut vaksin. Salam sehat untuk semuanya. (*)
Redaktur suluk.id