Lama kami tak bersilaturahim ke seorang guru. Meski tak pernah mengejar di kelas. Namun, beliau adalah guru kehidupan di kampus. Malam itu kami bertiga. Seorang teman telah membuat janji dengan guru kami. Bersepakat untuk datang usai salat tarawih.
Di sebuah yayasan yang bangunannya belum sempurna itu, para santri masih tadarus. Abah, begitu kami memanggil, sedang melayani mahasiswa yang berkonsultasi atas tesisnya. Lama kami menunggu. Sampai menghabiskan tiga batang rokok.
Satu persatu mahasiswa yang berkonsultasi telah keluar dari ruangan. Mereka berpamit pada Abah. Wajah para mahasiswa itu tak ada raut kegelisahan. Mereka tampak gembira setelah bertemu Abah.
Kami masuk. Disambut tawa Abah yang benar-benar membuat hati kami lega. Sudah lama sekali tak bersua dengan Abah. Wajah Abah terlibat lebih tua. Rambutnya sudah memutih. Tapi gaya bicara dan semangatnya masih seperti saat jadi Senat Mahasiswa.
Kami duduk. Malam itu tak begitu dingin. Abah mengenankan jubah putih. Tak seperti biasanya memang. Sebab, abah biasanya mengenakan sarung dan kopiah hitam. Mungkin, Ramadan kali ini membuat Abah harus mengubah mode berpakaiannya.
Abah bertanya kabar. Tentang aktivitas kami. Kami pun demikian.
Sowan ke Abah menjadi hal menyenangkan. Banyak cerita dan wejangan yang nantinya disampaikan Abah. Ini kuliah mahal bagi kami. Lebih dari 24 sks. Sebab, apa yang disampaikan Abah di rumah tak pernah kami dapatkan di kampus.
Kami semua menyampaikan bahwa kabar kami baik. Abah pun baik. Abah cerita jika saat ini dirinya memang sedang sibuk. Sibuk untuk ngurus kampus. Inilah yang membuat kami senang mendengar kisah Abah. Sebab, di kampus Abah pernah berseberangan dengan pimpinan.
Namun, Abah tetap santai. Bahkan, si pimpinan pun sering minta pendapat pada Abah. Abah tak pernah kemrungsung dengan jabatan. Ada dijalankan. Jika tidak ada ya biasa saja.
Begitulah kehidupan. Semua silih berganti. Ada yang suka dan tidak. Ada yang berkomentar baik dan buruk. Manusia punya cara menyikapi hidup. Termasuk Abah. Hidup memang gudang masalah. Tapi, bagi Abah masalah harus dihadapi. Bukan ditinggalkan.
Ada hal lain yang terus Abah jaga. Konsistensi dalam bersikap. Menyamakan perilaku dengan apa yang telah diucapkan. Ini sulit bagi orang yang suka berkelit. Orang yang selalu menyimpan kepentingan untuk kebutuhan pribadinya sendiri. Beda dengan Abah. Sendari awal hidup Abah memang untuk umat. Jadi, tak ada yang ditutup-tutupi.
“Kabeh mau mung urusan dunyo. Heee..,” ujar Abah dengan menatap wajah kami.
Ini kalimat sederhana yang selalu kami pegang. Setelah bertemu Abah. Sebab, urusan dunia ya memang itu-itu saja. Tidak ada yang lain. Tak perlu risau. Jalani, nikmati dan syukuri.
Malam itu, kami benar-benar sedang penat. Tapi, cerita hidup Abah selalu membuat kami lega. (*)
Redaktur suluk.id