Saat pertama kali bertemu Kiai Mudlor, saya tidak menduga beliau seorang kiai yang alim dan pejuang sejati. Penampilan beliau sehari-hari biasa saja. Pakai baju lengan panjang, bersarung, bersongkok hitam, semuanya sederhana.
Tidak ada atribut kekiaian macam jubah panjang maupun surban yang menempel di pundaknya. Lain dari itu, bagaimana saya menduga beliau seorang kiai, lha masa kiai kok “cangkruk” dengan santrinya, ngobrol santai dan bercanda dengan begitu akrabnya, seperti tidak ada jarak di antara mereka. Seperti seorang Abah dengan anaknya.
Seiring waktu, saya mulai mengenal lebih dekat dengan Abah. Kebetulan saya juga berasal dari sekitar Babat, kampung di mana Abah lahir dan menghabiskan masa mudanya. Sehingga setiap Abah bercerita tentang perjuangan masa mudanya, sedikit banyak saya nyambung, kebetulan nama-nama yang sering disebut dan diceritakan Abah masih tergolong keluarga besar saya, paklik, pakde dan mbah-mbah saya.
Belakangan saya tahu bahwa ternyata orang tua saya sendiri juga pernah menjadi santrinya Abah saat di Pondok Pesantren Langitan, meski tidak lama. Saat Abah mudik ke Babat, beberapa kali saya sering diajak untuk pulang bareng. Sehingga kesempatan itu membuat saya semakin mengenal Abah.
Perihal keilmuan, Abah sangat luar biasa. Bukan sekedar pemahaman agama yang luas dan mendalam, tetapi juga ditunjang oleh disiplin keilmuan lain yang “tidak biasa” dimiliki seorang kiai.
Sebut saja penguasaannya dalam ilmu hukum, psikologi, ekonomi, filsafat, sejarah, sastra, bahkan sains. Ini saya ketahui manakala Abah mengasuh dan mendampingi halaqah, semacam diskusi ilmiah yang dilaksanakan setiap ba’da jama’ah shubuh.
Dalam halaqah ini, berbagai tema dalam disiplin ilmu disajikan untuk dibahas oleh santri-santrinya yang semuanya mahasiswa. Mulai dari tema agama semacam aqidah, fiqih, ushul, kaidah fiqih, balaghah, maupun tasawwuf.
Dalam kajian filsafat, para filsuf dan pemikirannya macam Derrida, Immanuel Kant, Rene Descartes, Hegel, Carl Gustav Jung, Auguste Comte, dan lainnya biasa dibahas bersama. Belum lagi teori-teori ekonomi, hukum, dan sains dimana kebanyakan mahasiswa yang mengambil jurusan tersebut justru sering tidak memahaminya.
Hebatnya, Abah mampu mengupas dan menjabarkan itu semua dengan sangat lugas dan gamblang. Bagi santri yang cerdas, pengetahuan seperti itu tentunya sangat menyegarkan dan penuh gizi.
Akan tetapi bagi santri yang dhuafa pengetahuan seperti saya, pembahasan dengan tema yang ndakik-ndakik itu bikin pening kepala saja. Satu-satunya hal yang membuat saya memaksakan diri untuk menyimak hanyalah demi ngalap (mendapat) berkah, itu saja.
Semangat berjuang Abah sangat istimewa. Sejak muda hingga usia senja, kehidupan Abah selalu dipenuhi perjuangan. Doktrin berjuang terus digelorakan dan ditanamkan dalam jiwa para santrinya. Merintis madrasah, rumah yatim, masjid, balai pengobatan, pesantren, hingga kampus sudah dilakoni beliau sejak muda.
Di jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), Abah termasuk generasi perintis dan pendahulu. Hasil perjuangan Abah masih dirasakan sampai sekarang. Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang adalah saksi hidup perjuangan Abah. Berdirinya Universitas Islam Malang (Unisma) dan UIN Malang juga tidak lepas dari kiprah Abah.
Demikian juga Universitas Islam Lamongan (Unisla) yang dulunya hanya berupa gedung sekolah yang kumuh, kini berubah menjadi gedung tinggi yang menjulang dengan megah. Di Unisla, Abah menjadi rektor hingga akhir hayatnya.
Dalam ikhtiar politiknya, Abah bersama KH. Idham Chalid, KH. Syukron Ma’mun, Mahibuddin Waly, Usman Abidin, dan Muhammad Thohir pernah membidani lahirnya Partai Nahdlatul Ummah (PNU) pada 16 Agustus 1998. Sebuah parpol kecil dengan idealisme yang besar.
Partai yang dalam platformnya ingin meneruskan cita-cita para pendiri NU generasi awal, mengutamakan pilihan antara benar atau salah, bukan melulu menang dan kalah. Mungkin karena idealisme inilah PNU pada pemilu 1999 tidak mampu bertahan di tengah kepungan partai-partai gahar yang bermodal besar.
Karena tidak lolos di Senayan, maka untuk menghadapi pemilu 5 tahun ke depan pada tahun 2004, partai ini harus berganti nama. Akhirnya PNU berubah nama menjadi Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI). Sayangnya, pada pemilu 2004 ini PPNUI juga kembali tidak mampu menempatkan wakilnya di parlemen.
Energi Abah seolah tidak pernah habis. Meski usia Abah sudah 70 tahunan, Abah tidak pernah terlihat lelah. Jam 2-3 dini hari istiqomah membangunkan santri-santrinya, naik turun dari lantai satu ke lantai tiga, mengitari dan mengetuk pintu setiap kamar santrinya.
Subuh mendampingi jamaah, istighosah, dan halaqoh. Jam 6 pagi membuka kitab-kitab klasik yang tebal untuk ditelaah kembali. Jam 7 pagi mulai mengomando tukang dan santrinya ro’an (kerja bakti) untuk membangun pesantren hingga masuk waktu Dhuhur, kemudian kemudian dilanjut lagi pukul 1 siang hingga jam 4 sore. Ba’da isya mengajar kitab hingga jam 10 malam. Di waktu Ramadhan kadang ngaji hingga jam 11 malam.
Di setiap akhir pekan, Abah masih harus bolak-balik Malang-Lamongan, mengurus Unisla. Bahkan dalam keadaan sakitpun, Abah tetap tidak mau diam. Dibanding beristirahat, Abah lebih memilih untuk mengajar ngaji.
Pernah suatu ketika Abah harus opname, setidaknya 3-4 hari untuk memulihkan kesehatannya. Akan tetapi baru sehari opname, Abah memaksa untuk pulang, kangen mengajar santri-santrinya. Anehnya, Abah justru sembuh setelah pulang dari rumah sakit.
Satu kalimat yang sering Abah sampaikan adalah “Jangan takut mati karena tidak bisa makan, tetapi takutlah mati karena belum berjuang”. Pesan yang nampaknya sederhana, mudah diucapkan, tetapi belakangan disadari oleh semua santrinya bahwa pesan itu sangat sulit dan berat untuk dilaksanakan, kecuali oleh Abah sendiri.
Pada 6 Desember 2013, Abah Mudlor berpulang. Langit berselimut duka. Meski Abah sudah pergi, tetapi Abah masih selalu hidup di hati. Abah memberikan teladan nyata tentang kehidupan. Keikhlasan, kesederhanaan, kedisiplinan, keluasan ilmu, ketekunan ibadah, kedermawanan, kegigihan dalam berjuang, serta kepemimpinan Abah menginspirasi kami semua.
Semoga Allah Azza Wajalla kelak menempatkan Abah di Surga-Nya. Aamiin. Al Faatihah. (*)
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban