Bulan Ramadhan tahun ini grup whatsapp (WA) alumni pondok menjadi ramai, karena hampir setiap hari dikirimi tautan ngaji daring di masa pandemi Covid-19. Saya pun beberapa kali ikut menyimak baik via facebook dan kanal youtube PP. Matholi’ul Anwar (PPMA) Simo Lamongan.
Mengaji online menjadi tren selain memang sekarang memasuki era digital, juga karena santri-santri diliburkan akibat keberadaan wabah virus corona. Ramadhan kali ini disediakan para santri bisa langsung di pesantren, namun akhirnya ditiadakan dan diganti dengan kegiatan ngaji virtual.
Terhitung sudah sembilan tahun saya menjadi alumni Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar, di mana saya pernah ngangsuh kaweruh dan ngalap barokah. Namun rasanya setiap saya mendengar kata Matholi’ul Anwar atau biasa santri sering menyebut “Mawar” rindu dengan Syaikhina Almaghrullah KH. Mahsuli Effendi atau biasa kami memanggil Romo Yai.
Beliau adalah Kiai kedua yang saya kenal setelah Almaghrullah KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy. Karena saat saya kecil sering diajak orang tua ikut jamaah manaqiban di Ponpes Al-Fitrah Kedinding Surabaya.
Namun dulu saya tidak pernah berpikir bahwa nantinya ditakdir mondok dan menjadi santrinya KH. Mahsuli Effendi.
Terkenal Al ‘Alim Al Alamah
KH. Mahsuli Effendi dikenal cerdas (alim al alamah) di bidang fiqih, tafsir, dan nahfu sharof. NU Online pernah menyebut beliau dengan “Sang Mestro Gramatikal Lamongan”.
Tentu kealiman beliau tidak didapat dengan instan. Selain lahir dari keluarga pemuka agama serta menjadi menantu seorang Kiai, Romo Yai semasa kecil dididik sangat kental dengan pendidikan agama. Pernah diberi pesan orang tua lebih baik mikir urusan pendidikan daripada urusan perut.
Hal itu tercermin dari banyak kitab yang beliau kuasai. Terutama sangat detil dan memeiliki ingatan kuat terkait nadlom-nadlom dan ilmu nahwu sharaf (gramatikal arab).
Sebagai pengasuh pesantren dan juga kepala sekolah Madrasah Aliyah, Romo Yai sangat berpengaruh dan menjadi trendsetter di masyarakat. Beliau merupakan Kiai kharismatik yang ibarat kata, banyak kalangan mengidolakannya.
Tidak sedikit orang sowan ke beliau buat minta barokah doa dan setiap orang ketemu beliau selalu penuh takdzim. Tidak heran karena kealiman beliau lah menjadi dihormati dan disegani di lingkungan masyarakat.
Demikian pula, Romo Yai ingin para santri menjadi alim dan setelah lulus bermanfaat di masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya perhatian Romo Yai dalam membimbing dan mengarahkan para santri serta keseriusan beliau untuk menjadikan santrinya sebagai manusia-manusia yang alim dan juga shaleh.
Yaitu manusia yang berilmu agama yang kuat dan selalu berbuat kebaikan.
Ukuran alim bagi santri di pesantren dapat dilihat dari kuantitas dan kualitas kitab-kitab kuning yang pernah dipelajarinya. Sedangkan ukuran shaleh dapat dilihat dari sikap, perilaku, dan ketaqwaan santri dalam menjalankan syariat agama.
Implikasi dari alim dan shaleh nantinya adalah mampu menjalankan belajar dan beribadah tanpa mengenal lelah, selalu bersikap sopan dan rendah hati kepada semua orang serta mengamalkan ilmunya kepada orang yang membutuhkan, baik pada waktu di pesantren apalagi ketika berada di tengah-tengah masyarakat.
Poin ini lah yang selalu didoktrinkan Romo Yai kepada para santri hampir di setiap kajian kitab kuning yang beliau ampu.
Belajar dari Keteladan dan Dawuh Kiai
Sebagaimana hadits Nabi SAW “al ulama’u warasatul anbiya” bahwa ulama adalah warisan para nabi.
Sehingga dikarenakan kita tidak hidup semasa dengan jamannya nabi untuk mencotoh suri tauladan, kita bisa belajar dari tindak tanduk keseharian seorang Kiai.
Beberapa hal yang masih saya ingat tentang sosok Romo Yai Mahsuli. Baik dari karakter kepemimpinan dan keistiqomahan beliau. Dalam berbicara beliau sering memakai bahasa halus dengan intonasi bahasa yang lembut.
Dalam pergaulan selalu mengedepankan sopan santun/ramah, dalam memimpin lembaga tidak diktator tetapi tetap tegas dan bijaksana, keputusan diambil dengan jalan musyawarah, serta beliau suka bersilaturrahmi.
Meskipun dulu selama saya mondok tidak pernah mendengar kekaromahan Romo Yai, tapi beliau terkenal memiliki keistiqomahan yang luar biasa. Saya teringat satu maqolah bahwa satu istiqomah itu jauh lebih baik daripada seribu karomah atau dalam Bahasa Arabnya berbunyi “Al istiqomatu khoirun min alfi karomah”.
Istiqamah di sini juga dapat diartikan suatu sikap konsisten dan ajeg dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan kata istiqamah bisa dimaknai dalam berbagai situasi dan kondisi. Baik istiqamah dalam konteks akidah, amal, keikhlasan, ketakwaan, persaksian, maupun ilmu.
Selain dijadikan teladan, fatwa-fatwa beliau juga dibuat acuan masyarakat. Terlebih beliau juga pernah menjadi ketua LP Ma’arif NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lamongan. Petuah dan nasehat Romo Yai selalu didengar baik oleh santri.
Beliau sering berpesan saat ngaji: “Dadi santri, nek ndolek ngelmu iku ojo diniati kepingin dadi opo, tapi niatono ndolek ngelmu kanggo ngilangno kebodohan niatono ndolek ngelmu ben awakmu ngerti ngelmu iku lan niatono ndolek ngelmu Kerono Allah SWT.”
Pesan ini sangat mendalam, maknanya bahwa tujuan dari mencari ilmu tidak lain niat lillahi ta’allah agar menghapus kebodohan. Perkara nanti ke depannya jadi apa itu urusan Gusti Allah.
Meskipun saya pribadi tatkala nyantri selama tiga tahun di PPMA, kitab-kitab yang diajarkan Romo Yai saat itu adalah Tahdhib, Dardir, Durratun Nashihin, Muhtarul Ahadits, Jawahirul Kalamiyah, Tafsir Jalalain, dan Barzanji.
Yang saya ingat khas Romo Yai kalau mengajar ngaji suka ditambahi dengan cerita tentang kisah-kisah dan dikaitkan dengan kitab-kitab lain. Kisah yang melekat di pikiran saya adalah terkait penggambaran Buroq, cerita tentang Ashabul Kahfi, Malaikat, Jin dan kisah Yai Barseso.
Hal ini tidak lain dikarenakan memang bacaan beliau kuat dan banyak referensi. Santer keluarga ndalem menyaksikan, beliau setiap tengah malam mutolaah kitab-kitab bahkan setelah khatam dibaca lagi berulang-ulang hingga ngelontok hafal isinya.
Saat mengaji, santri tingkat akhir atau kadang senior yang sudah bisa baca kitab terutama jurusan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) diminta baca secara sorogan. Santri yang baca, dan Kiai yang memaknai. Kalau ada yang kurang pas baru dibenerin. Kadang ketika Romo Yai mengutip ayat quran, santri juga dilatih mencari dan melanjutkan pakai kamus al-Quran.
Mengenai membaca al-Quran, Romo Yai paling peka jika ada santri membaca al-Quran terdengar di speaker. Jika kok ada yang salah pasti disuruh mengulang biar membaca lagi dengan benar. Apalagi ngaji grotal gratul tapi berani pakai microphone, pasti didukani dan diminta “mantesno awak” sesuai dengan kapasitas keilmuwan.
Santri harus belajar dulu di pondok sampai bisa. Sebelum nanti turun di masyarakat kalau tidak lancar membaca al-Quran malah malu. Dalam artian, Kiai ingin memberikan pesan kepada santri bahwa mending saat di pesantren lah kemampuan itu diasah sampai siap pakai di tengah-tengah masyarakat. []
alumni Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar Lamongan yang sekarang tinggal di Bangkok Thailand