Dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa ibadah merupakan buah dari ilmu (العبادة ثمرة العلم). Dengan kata lain, ilmu memiliki kedudukan yang lebih penting dari sekedar ibadah.
Mengapa demikian? Karena amal ibadah yang tidak didasari oleh ilmu, maka ibadahnya akan tertolak atau sia-sia. Hal ini sesuai dengan dhawuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW bahwa satu orang alim (ahli ilmu) lebih ditakuti oleh setan dibandingkan dengan seribu orang yang ahli ibadah, tetapi tidak berilmu.
Hadits lain juga menyebutkan bahwa keutamaan orang alim dibanding dengan ahli ibadah, adalah ibarat perbandingan antara cahaya rembulan dibandingkan dengan sinar bintang-bintang (jika dilihat dari bumi).
Seseorang dapat menguasai ilmu karena dibekali akal oleh Tuhan. Akal hanya dianugerahkan kepada manusia, sementara hewan hanya dibekali naluri, bukan akal. Oleh karena itu hewan tidak ada kewajiban beribadah. Maka nggak ada ceritanya kerbau ngajar ngaji, tikus ngajak shalat, atau kucing berzakat.
Tidak ada pula perintah menikah untuk hewan, pun demikian tidak ada pasal zina bagi hewan. Misal ada anak ayam mengawini ibunya sendiri, atau bapak kambing menghamili anaknya sendiri, ya boleh-boleh saja, tidak berdosa.
Makanya ketika kemarin ada yang berceramah dengan pedenya bahwa hewan bisa jadi ulama’ (asal takut kepada Allah) maka itu jelas ngawur, tidak didasari ilmu. Lha akal dan ilmu aja nggak punya, bagaimana mungkin hewan disebut ulama’?
Di sisi lain, ibadah sendiri tidak mudah, selain harus menguasai ilmunya, ibadah juga banyak hambatannya. Surga itu diselimuti sesuatu yang memberatkan, sementara neraka diselimuti oleh godaan yang menyenangkan.
Seandainya saja meninggalkan shalat itu tidak dosa, maka kebanyakan orang akan lebih memilih tidak shalat. Jika saja mengabaikan puasa Ramadhan itu tidak dosa, maka orang akan cenderung makan seenaknya, kapan saja, di mana saja. Pun demikian jika zina itu tidak berdosa, pasti kita akan biasa saja melakukannya.
Karena sulit, maka balasan ibadah adalah surga. Surga itu mahal. Jika menginap di hotel bintang lima semalam saja harus merogoh kocek beberapa juta, apalagi meningap di surga untuk selama-lamanya?
Amal ibadah kita, sesempurna apapun jelas tidak cukup untuk menebus surga. Dan amal itu juga belum tentu diterima jika tidak ikhlas, salah niat, dan tidak tahu ilmunya. Jangankan surga, untuk ditukar dengan nikmat Allah yang diberikan sehari-hari saja, amal kita sangat njomplang. Di satu sisi dosa kita sangat bejibun dan terus bertambah setiap waktu.
Lalu kita dengan pedenya yakin masuk surga mengandalkan amal ibadah kita? Apalagi yang tidak punya tabungan ibadah apa-apa terus merasa bisa masuk surga karena punya kenalan orang dalam? Hehehe… Sungguh hamba yang tidak tahu diri.
Lalu dengan apa kita bisa masuk surga-Nya?
Untunglah Tuhan Maha Baik. Allah SWT punya sifat Arrahman dan Arrahim, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan sifat itulah, para pendosa yang bertaubat bisa mendapatkan ampunan-Nya, dan para hamba yang kualitas ibadahnya tidak seberapa diijinkan masuk surga-Nya. Aamiin…
(Disarikan dari ngaji online Kitab Minhajul ‘Abidin, oleh Gus KH. Yahya Cholil Staquf)
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban