Suluk.id – Jagad media sosial sedang ramai dengan skandal video singkat artis dan mantan suami selebgram Indonesia. Ceritanya Berawal dari salah satu akun instagram perempuan yang membagikan story video singkat aktivitas keintiman untuk teman terdekat “close friend”.
It’s mean, dia hanya membagikan pada teman yang dianggap “dekat” dan bisa menjaga privasi dia. Eh ternyata malah tidak bisa dipercaya, hiks! Karena dia masih tergolong remaja, maka dia identik dengan masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi, dan psikis.
Pada umumnya memang para remaja ini memasuki masa remaja tanpa pengetahuan yang memadai tentang seksualitas. Hal ini disebabkan sebagian orang tua merasa tabu membicarakan seks dengan anaknya dan hubungan orangtua dan anak sudah terlanjur jauh, sehingga anak berpaling ke sumber-sumber lain, yang tidak semuanya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pengetahuan yang terbatas, perubahan emosional yang membutuhkan bimbingan orang dewasa, remaja butuh aktifitas-aktifitas yang mendukung dia mengetahui dan belajar tentang dunia sosial.
Media sosial kita dikuasai oleh remaja yang tergolong pada generasi milenial yang menjadi generasi dominan kurang lebih 27,94 persen dan 25,87 persen. Artinya 143 juta dari 270 juta diisi oleh gen Z dan milenial yang akrab dengan dunia internet, media sosial.
Mereka familiar dengan fitur-fitur media sosial seperti close friend. Mereka centang atau pilih teman-teman yang mereka anggap dekat, dan otomatis mereka akan lebih bisa bebas posting sesuatu yang sifatnya tidak ingin diketahui publik dan cukup orang terdekat.
Lalu, Ketika ada dari salah satu close friend yang tidak amanah, maka kasusnya akan sama dengan publik figur yang saat ini sedang trending dan videonya tersebar, banyak akun-akun gosip memposting video tersebut sekaligus menyebarkan demi keuntungan komersial, meski yang begituan sudah lumrah ya sis.. namun, menjadi prihatin ketika postingan itu memicu ribuan komentar netizen pengguna sosmed.
Mulai dari bentuk hujatan sampai pembiaran atas sikap tersebut. Mereka menuliskan komentar dengan bebas cenderung menjudge negatif prilaku dari orang yang ada dalam video tersebut, Jika Dalam bahasa Mansoer Faqih persoalan ini, masuk dalam kategori sexual and emotional harassment, berkedok nasihat atau perhatian, netizen dengan mudah menulis lelucon secara vulgar bahkan mengeluarkan kata-kata kotor pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif.
Tidak sedikit juga yang mencari tahu kehidupan seksualitas atau kegiatan seksualitas pribadinya. Lalu menghasilkan persepsi baru atau penghakiman baru pada objek. Hal ini tidak bisa dibenarkan secara sosial.
Privatisasi ruang publik dengan menggunakan fitur close friend sangat riskan karena pemilik akun tidak bisa mengontrol penuh tindakan apa yang akan dilakukan oleh close friend. Aktifitas-aktifitas yang membentuk personal space adalah ragam aktivitas tambahan yang terbentuk akibat adanya aktivitas mayor dan minor pada ruang publik.
Secara karakteristik ruang publik (public sphere) tetap akan dimanfaatkan sebagai ruang sosial untuk berekspresi dan menyatakan pendapat secara bebas dengan dan atau tanpa restriksi politik dan ideologis.
Maka jika kita hubungkan dengan berita trending saat ini, maka kita akan memahami bentuk transformasi keintiman akan tampak segregasi vertikal antara ruang privat dan ruang publik. Artinya, ada hubungan antara ruang, aktivitas, dan konstruksi identitas.
Close Friend Bukan Jalan Ninja Kalian untuk Memprivatisasikan Ruang Publik
Sederhananya dapat dikatakan bahwa perubahan sosial yang menyangkut budaya praktik keintiman atau aktivitas seksualitas yang awalnya cukup menjadi konsumsi pribadi atau private menjadi konsumsi publik atau close friend telah mengalami pergeseran sesuai perkembangan zaman, melalui apa?
Melalui modernisasi, konsumerisme, dan budaya populer saat ini. Meski sebagian orang mengatakan ini akibat dari sisi buruk globalisasi, mengapa kita tidak coba mempelajari ulang pengetahuan-pengetahuan lokal, wawasan perempuan Indonesia yang identik dengan semangat berkemajuan dan menjaga value perempuan tanpa intimidasi budaya patriarki.
Arus globalisasi yang tak terbendung, Maka yang bisa kita lakukan adalah kita para perempuan pengguna media sosial lebih bijak lagi dalam memanfaatkannya. Terlepas dari prinsip hidup kita yang memiliki orientasi berbeda. Ketika kita memfilter media sosial kita, benteng pertahanan value kita sebagai perempuan bisa dilihat dari cara kita memposting sesuatu, apa yang kita tulis, apa yang kita bagikan ke orang lain.
Ibu Muda pegiat Sosiologi dan Ilmu Sosial