Aktivitas ziarah kami berdua akhirnya tercium oleh salah seorang guru matematika kami. Guru kamipun bercerita pada kami jika dirinya kok ingin berziarah ke makam Sunan Bejagung yang notabene lokasi makamnya dekat dengan rumah orang tuanya. Tanpa ba bi bu kami lantas berangkat ke makam Sunan Bejagung.
Suluk.id – Sewaktu kecil saya pernah mendapatkan cerita dari ibu tentang Syeh Ibrahim Asmaraqondi. Bukan sebuah cerita yang panjang tapi hanya sebatas cerita ada makam waliyullah yang lokasinya di daerah Kecamatan Palang. Selain itu, kata ibu, bapak menjadi salah seorang yang juga sering berkunjung di makam tersebut.
‘’Dulu makamnya belum semegah seperti sekarang. Juga masih belum ramai saat bapakmu sering ziarah ke sana,’’ kata ibu saat itu.
Bapak meninggal saat saya masih senang-senangnya bermain game nitendo jadi mustahil saya akan mengikuti jejak bapak untuk berziarah ke makam Syeh Asmaraqondi. Saat sudah berseragam putih abu-abu lah kegiatan ziarah ke makam Syeh Asmoroqondi saya lakukan. Bahkan bukan di makam Syeh Asmoroqondi saja tapi juga di makam-makam auliya yang ada di Tuban.
Memulai ziarah bukan perkara mudah. Sebagai siswa SMA umum yang jauh dari hiruk pikuk pesantren menemukan momentum ziarah adalah peristiwa yang luar biasa. Untungnya saat itu saya berteman dengan Sholeh Umar Al-Hamid. Sosok inilah yang mengantarkan saya ke petualangan dari makam ke makam para auliya di Tuban. Sebuah kegiatan yang tidak umum di kalangan anak muda kala itu sebab di saat para remaja SMA asik dengan geng motor dan futsalan, kami justru berkunjung dari kuburan ke kuburan.
Debut ziarah wali kami lakukan ke makam Sunan Bonang. Di sinilah saya yang berusia remaja benar-benar baru ngeh kalau makam Sunan Bonang ada di dalam cungkup itu. Sebab, ada di bayangan saya saat kecil masih di makam-makam itu yang ada di dalam cungkup ada rumah si penjaga makam—dasar payah.
Dari Bib Sholeh inilah saya tidak hanya mengenal tentang Sunan Bonang tapi juga mengenal Habib Abdul Qodir bin Alawy Assegaf yang makamnya ada di Kelurahan Gedungombo Kecamatan Semanding. Makam Habib Abdul Qodir ini berdekatan dengan Syeh Maulana Ishak Magribi. Tentang Habib Abdul Qodir, beliau dikenal sebagai orang yang alim. Beliau lahir di Seiwun. Sejak kecil telah didik oleh pamannya, Habib Abdurrahman bin Ali Assegaf. Makam beliau banyak dikunjungi oleh para peziarah. Saat peringatan haul pada Sya’ban banyak banyak yang berkunjung ke sana.
Aktivitas ziarah kami berdua akhirnya tercium oleh salah seorang guru matematika kami. Guru kamipun bercerita pada kami jika dirinya kok ingin berziarah ke makam Sunan Bejagung yang notabene lokasi makamnya dekat dengan rumah orang tuanya. Tanpa ba bi bu kami lantas berangkat ke makam Sunan Bejagung.
Karena bersama guru matematika, dalam benak saya kekawatiran diskusi integral dan sin cos tan akan muncul dalam proses menuju makam. Untungnya, kekhawatiran saya itu tidak terbukti. Bib Sholeh memegang kendali atas perjalanan itu. Tidak ada satupun pembahasan tentang matematika. Kami tertunduk khusus membaca wirid dan yasin di pusara makam Syeh Asyari atau Sunan Bejagung.
Mengakhiri perjalanan ziarah rombongan kami akan menuju ke sebuah warung yang ada di depan pintu gerbang pantai boom. Sebuah warung pecel sederhana yang khas dengan tambahan menu-menu lainnya. Seperti, paru, rempelo ati hingga cumi-cumi.
Meski punya rutinan dengan Bib Sholeh, bukan berarti saya tidak pernah berziarah dengan rombongan lainnya. Pernah suatu ketika ya harus berdebat sebelum berangkat ziarah dengan seorang kawan. Saat itu, kami sedang tertimpa musibah. Nilai mata pelajaran biologi kami merah. Karena merah inilah saya harus datang ke rumah guru. Sang guru bergeming. Sepertinya, memang saya tidak punya bakat menjadi seorang saintis sejati. Hati saya mak plas. Padahal itu adalah penentuan kita naik kelas atau tidak. Dan, nilai biologi menjadi salah satu penentu. Saya pun berucap pada kawan saya bagaimana kalau kita ziarah setidaknya kita bisa berdoa di sana.
‘’Iki mung urusan nilai nek sekolahan. Mengko malah diguyu karo Mbah Wali,’’ ujarnya setelah mengenar usulan saya.
Jawaban itu membuat hati saya menciut dan mengurungkan untuk pergi berziarah. Kami memilih untuk ke masjid terdekat. Mengambil wudu lantas salat dan berdoa semampunya. (*)

Redaktur suluk.id