Bakda zuhur bukan saatnya lagi buat bermain. Kali ini ngaji di madrasah; bangunan khusus di sebelah masjid khusus buat ngaji anak-anak kampung.“Sakola agama” adalah sebutan kami untuk kegiatan mengaji di madrasah.
Suluk.id – Ingat saya, jaman SD, sepanjang Ramadhan sekolah diliburkan. Anak-anak hanya wajib piket ke sekolah, membawa sapu lidi dan alat kebersihan lainnya buat bersih-bersih ruang kelas dan halaman sekitar sekolah. Sekolah membuat jadwal piket. Dalam sebulan paling kebagian dua-tiga kali piket.
Selebihnya, anak-anak wajib bikin laporan kegiatan keagamaan sepanjang Ramadahan di rumah adat masing-masing. Mulai dari jamaah shalat, ngaji di surau atau masjid kampung, hingga tarawih dan jumatan. Laporan disahkan dengan ditandatangani ustad / ajengan di kampung.
Di sela-sela kegiatan itu, bermain juga merupakan menu utama pengisi hari-hari Ramadhan. Dari pagi, sekira jam 8-9, sampe zuhur adalah waktu yang tepat untuk bermain. Anak kampung model saya, di mana lagi bermain selain di kebon, sawah, dan sungai. Di kebon, kami membantu orang tua ngarit rumput buat kambing, atau kumpulkan kayu bakar. Selang-seling; kadang ngarit kadang cari kayu bakar. Kalo masih ada sisa waktu, nyari sarang burung atau mengejar-ngejar burung, atau membidiknya dengan ketepel.
Kemarin ke kebon, hari ini arena bermain kami sawah. Di pematang sawah kami ngurek. Wama adroka ma ngurek? Ngurek adalah mancing belut. Belut tenaganya besar, maka tali senar dan mata pancingnya kudu lebih besar dan kuat. Begitu belut terpancing dan mulutnya tersangkut mata pancing, senangnya kami bukan kepalang. Sorak sambil mengepal tangan: horeee … aing meunang belut!
Masih di sawah, kalau habis panen, kami juga ikut panen: panen belalang. Dimasukkan plastik, banyak-banyakkan sama kawan, dibawa pulang dengan hati riang, disambut emak yang siap menggorengkan buat tambahan lauk buka puasa. Pernah juga saya punya burung ketilang. Sebagian belalang menjadi jatahnya burung. Menu selingan dari pisang atau pepaya. Selain belalang, burung ketilang juga doyan capung. Maka, selain nangkepin belalang yang cukup mudah, saya juga nangkap capung yang lebih sulit. Hasil tangkapan lima-sepuluh capung adalah hasil yang bagus. Tentu semua capung jadi jatahnya burung. Masa ‘gue makan capung!
Geuleuh …!
Di hari lain, arena bermain kami adalah sungai. Sungai kecil saja, tapi ada beberapa titik yang cukup buat berenang dengan entah gaya apa. Paling pas dibilang gaya batu! Meski kami puasa, renang bukan aktivitas melelahkan yang anak-anak kampung membatalkan puasanya. Puasa jalan, renang tetap seru. “Hey, itu siapa yang kentut di air? Batal loh puasanya!” kata kawan yang satu ke deretan sambil nyengir seraya menyemburkan air ke muka sohib di sebelahnya.
Bakda zuhur bukan saatnya lagi buat bermain. Kali ini ngaji di madrasah; bangunan khusus di sebelah masjid khusus buat ngaji anak-anak kampung.“Sakola agama” adalah sebutan kami untuk kegiatan mengaji di madrasah. Setelah jamaah ashar, masih ada ruang untuk bermain sambil nunggu beduk magrib. Kali ini bermainnya punya nama terpisah: ngabuburit. Berasal dari kata burit, bahasa Sunda, yaitu sore.
Ngabuburit adalah kegiatan dalam rangka menunggu sore (magrib). Hanya istilah ini hanya bulan puasa, sehingga ngabuburit akhirnya berarti kegiatan menunggu azan magrib untuk kemudian buka puasa. Belakangan istilah ngabuburit “naik kelas” dan “menasional”, bukan hanya orang Sunda yang paham dan paham. Media tipi-lah, dalam hemat saya, yang membantu menaikkan kelas dan menasionalkan istilah ngabuburit. CMIIW.
Beberapa spot tempat kami ngabuburit: halaman masjid atau halaman rumah warga yang luas. Kebon, sawah dan sungai bukan lagi tempat yang tepat buat ngabuburit. Ngabuburit diisi dengan aneka permainan khas anak-anak desa kala itu. Mobil-mobilan bagi anak-anak cowok, bola bekel bagi anak-anak wedok, main kelereng, boy-boyan (bahasa Indonesianya apa ya?) Dan banyak lagi yang kini tak lagi ada di perkampungan karena gadget merampas semuanya.
Suara beduk disusul lengkingan muazin kami membuyarkan kami pulang ke rumah masing-masing. Tak lupa mengingatkan nanti bakda isyak tarawihan sambil bermain lagi sebentar saja setelahnya. Kucing-kucingan atau petak-umpet biasa kami mainkan selepas tarawih sebelum akhirnya lelah medera dan teriakan emak menyuruh kami bubur jalan. Kesepakatan sering terjadi tentang apa dan ke mana besok kami bermain.
Sebelum bobo (baca: ngorok), nggak lupa nulis laporan kegiatan sepanjang hari ini, mulai subuh hingga isyak: salat jamaah, ngaji apa saja, tarawih, siapa imamnya. Tentu saja bermain tidak masuk laporan. Besok bakda subuh setelah ngaji subuh, laporan Pak Ajengan laporan biar sah untuk ditunjukkan ke guru wali kelas belakangan pas masuk sekolah lagi.
Di antara Anda, ada yang sama atau mirip dengan saya tentang puasa masa kecil? Jika ada, maka dua hal dapat ditolak: kita seumuran, dan kita sama-sama orang udik! Selamat menyambut Ramadhan, wahai orang-orang udik. Hehe …
Ramadhan Kareem …
Terlahir sebagai orang “Perancis (Peranakan Ciamis),” Menamatkan SD, MTs dan MAN di Ciamis. Pernah mengajar di Pesantren Darussalam, Ciamis (1997-1998), menjadi penerjemah lepas naskah-naskah berbahasa Arab