Sebagai jam’iyah Nahdlatul Ulama dibentuk secara terbuka dan keanggotaannya sangat longgar. Menerima semua elemen masyarakat menjadi bagian dari dirinya dan berusaha merawatnya agar menjadi warga NU yang baik.
Para kiai Nahdlatul Ulama secara intensif mendidik masyarakat dengan sabar dan penuh tanggung jawab, tanpa mendapatkan bayaran dan imbalan dari pemerintah atau dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu sendiri. Semua dijalankan secara “Niat jihad di jalan Allah”, dari semua tingkatan, terutama yang bergerak di tingkatan desa.
Namun akibat kelonggaran proses keanggotaan inilah Nahdlatul Ulama ibarat gajah yang terlalu gemuk dan mudah dimangsa oleh singa yang kecil sekalipun. Nahdlatul Ulama menjadi organisasi yang besar namun di dalamnya kurang kuat menancap sebagai sebuah organ yang saling terhubung.
Satu anggota dengan anggota lainnya bukan sebuah ikatan yang kuat dan bukan elemen yang saling menguatkan. Dikatakan pecah atau terputus keanggotaan itu, ya terputus. Dikatakan terikat, ya terikat.
Fenomena ini bisa dipahami dengan melihat warga Nahdlatul Ulama dari Tipologi keanggotaannya yang menurut pengalaman dan hemat penulis ada empat tipologi, antara lain sebagai berikut:
NU Anggota
NU Anggota adalah pengurus NU. Mereka adalah orang-orang NU yang berkhidmat di NU sebagai pengurus, berani mengeluarkan uang dan tenaga untuk NU, dan bisa menyempatkan diri berfikir untuk NU.
Secara stuktural mereka menjadi bagian dari kepengurusan dan bisa menjalankan kepengurusan itu dengan baik. Tidak ada kepentingan apa-apa, hanya ingin belajar, berjuang dan beribadah melalui Nahdlatul Ulama.
Orang-orang ini bahkan rela memberikan apa pun kepada NU hanya karena ingin mengikuti jejak para Ulama pesantren dan tidak berkeinginan mengambil keuntungan dari NU.
Mereka mempunyai kartanu (Kartu Anggota Nahdlatul Ulama) dan secara bangga menunjukkan identitasnya sebagai orang NU, baik secara terbuka maupun secara wajar-wajar saja.
Bahkan jika sudah tidak menjadi pengurus di struktural Nahdlatul Ulama orang-orang model “Anggota NU” ini tetap akan belajar dan berkhidmat kepada NU melalui caranya sendiri.
Tidak terikat dengan kepengurusan dan bahkan tidak marah jika disingkirkan dari kepengurusan Nahdlatul Ulama. Dia tetap bangga menjadi Nahdlatul Ulama dan akan senantiasa maksimal mendukung gerakan dan upaya-upaya Nahdlatul Ulama. Di mana pun dan kapan pun.
Orang dengan Tipologi NU Anggota inilah yang harus banyak-banyak dibentuk dan dirawat agar Nahdlatul Ulama menjadi jam’iyah yang kuat dan energik. Nahdlatul Ulama sangat membutuhkan orang-orang seperti itu.
NU Jama’ah
NU Jama’ah adalah orang yang sholat berjama’ah di musala atau masjid Nahdlatul Ulama. Mereka bukan pengurus struktural Nahdlatul Ulama, ada yang punya Kartanu dan ada pula yang tidak mempunyai Kartanu.
Mereka menjalankan amaliyah yang diajarkan oleh Nahdlatul Ulama. Selain itu, mereka juga mengikuti jejak pemikiran Nahdlatul Ulama dan bisa mendukung dakwah Nahdlatul Ulama.
Orang-orang yang termasuk jama’ah Nahdlatul Ulama ini juga termasuk orang-orang yang ngaji di musholla Nahdlatul Ulama namun tidak menjadi anggota resmi Nahdlatul Ulama.
Amaliyahnya Nahdlatul Ulama, dia qunut shubuh, ikut tahlil, dan juga ada bertarekat pula. Anak-anaknya sekolah di madrasah Nahdlatul Ulama dan mau mendukung Nahdlatul Ulama dalam segala aspek kegiatan. Jika dimintai urunan dia siap memberi dan menyisihkan uangnya untuk Nahdlatul Ulama.
Kebanyakan orang Jama’ah NU adalah orang awam, masyarakat biasa, bukan golongan elit. Mereka hanya ikut para kiai atau pengasuh pondok pesantren saja. Tidak niat aneh-aneh, apalagi memanfaatkan NU—sangat mustahil.
Kendati demikian, tipologi ini adalah 80% Nahdlatul Ulama. Masih menyisahkan 20% untuk bergeser tidak menjadi Nahdlatul Ulama. Tipologi ini membutuhkan dukungan dan pertemanan yang dekat dari orang-orang tipologi NU Anggota, agar sifat dan kenyakinan Nahdlatul Ulama-nya tetap kuat dan konsisten berjalan dijalan Nahdlatul Ulama, tidak terpengaruh oleh ajakan lainnya.
NU Darah Biru
NU darah biru adalah orang-orang keturunan orang yang pernah menjadi pengurus Nahdlatul Ulama, anak seorang kiai Nahdlatul Ulama, dan putra seorang pengasuh pondok pesantren.
Dia tidak belajar melalui proses menjadi Nahdlatul Ulama secara sah, tidak ikut kaderisasi di Banom atau melalui Nahdlatul Ulama, tapi karena bapak-ibunya NU dia menjadi NU. Orang model ini bahkan termasuk putra dari para donatur utama Nahdlatul Ulama.
Kendati putra orang NU, orang tipologi ini tidak bangga menjadi NU, mau NU yang oke, tidak NU yang oke. Tragisnya, orang-orang model ini melihat NU secara pragmatis dan oportunis.
Jika di Nahdlatul Ulama menguntungkan akan bergabung dengan Nahdlatul Ulama, namun jika merugikan maka dia akan menjauh dari Nahdlatul Ulama. Karena posisinya yang keturunan kiai atau pengurus NU maka sering kali orang tipologi ini lebih cepat menjadi pengurus Nahdlatul Ulama, walaupun tidak berproses secara kaderisasi yang sah.
Dia akan dengan mudah masuk Nahdlatul Ulama dan mendapatkan posisi yang cukup strategis, yang bahkan mengalahkan posisi mereka yang berproses secara kaderisasi. Sangat tepat sekali jika kebetulan tipologi ini adalah orang kaya dan mempunyai banyak uang.
Tipologi NU darah Biru ini memiliki kadar 60% NU yang menyisahkan 40% untuk tidak menjadi NU. Tipologi ini memerlukan pendekatan dari tipologi NU Anggota agar bisa lebih condong menjadi NU, walaupun hanya mencapai 80%. Upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana mereka ini tetap mau memberikan tenaga, uang dan pikirannya untuk Nahdlatul Ulama, tidak untuk yang lain.
NU Naturalisasi
NU Naturalisasi adalah orang-orang yang bukan NU, bukan jama’ah NU, dan bukan anak keturunan orang NU namun mempunyai keahlian yang dibutuhkan oleh Nahdlatul Ulama, sehingga diajak dan “dipaksa” untuk menjadi Nahdlatul Ulama dan dimasukkan dikepengurusan.
Jika kebetulan orang baik maka tipologi orang ini akan bisa memberikan kontribusi bagi Nahdlatul Ulama, namun jika kebetulan jelek maka orang model ini hanya mengambil keuntungan dari Nahdlatul Ulama.
Kebanyakan tipologi ini adalah para pegawai BUMN, PNS atau pegawai swasta. Jika Nahdlatul Ulama berkuasa sebagai pemegang kekuasaan di pemerintahan maka orang model ini akan dengan cepat menjadi NU.
Namun jika pemerintahan kebetulan bukan Nahdlatul Ulama maka dengan cepat pula mereka akan berubah tidak menjadi NU lagi.
Dengan demikian orang dengan Tipologi NU Naturalisasi ini patut dirawat, dibina dan dekati, sekaligus patut pula dicurigai dan diwaspadahi. Harus memberikan kontribusi bagi kebesaran Nahdlatul Ulama, bukan malah menghancurkan Nahdlatul Ulama.
NU Oknum
Oknum NU adalah orang bukan NU. Orang yang paling bejat dan paling biadab yang masuk dan mengaku sebagai warga Nahdlatul Ulama. Tipologi ini merupakan orang yang paling berbahaya dan sangat menbahayakan bagi keutuhan umat Islam. Jika membunuh itu boleh maka orang model ini boleh dibunuh karena sifatnya yang bisa merusak agama.
Dihatinya hanya ada 20% NU yang abu-abu—dan tidak jelas, itu pun karena dia membutuhkan suara warga Nahdlatul Ulama demi kepentingan politiknya, agar bisa menjadi penguasa. 20% ini pun hanya samar-samar dan bisa hilang 100% menjadi tidak NU sama sekali.
Uniknya, oknum NU ini adalah orang yang terkadang dan kebetulan pula putra dari orang/pengurus NU, atau orang yang pernah belajar di pesantren. Tapi kebanyakan adalah putra dari orang yang sama sekali tidak pernah di Nahdlatul Ulama, walau terkadang amaliyah-nya Nahdlatul Ulama.
Tipologi NU Oknum ini-lah yang jelas akan menghadirkan kerusakan di tubuh Nahdlatul Ulama. Dia tidak segan-segan mengambil aset-aset umat demi keuntungan pribadinya. Orang dengan tipologi inilah—dengan jabatan kiai sekalipun—bahkan memusuhi orang-orang NU anggota dan NU jama’ah.