Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan adalah teman dekat yang bersama-sama belajar ilmu yang sama, guru yang sama, kitab yang sama dan ajaran-ajaran ahlussunnah waljama’ah yang sama.
Keduanya adalah teman dekat sekaligus akrab dalam menuntut ilmu dan mengembangkan keilmuannya, baik ketika masih di tanah air maupun ketika sudah berangkat ke tanah suci Mekkah.
Di tanah air keduanya belajar di pondok pesantren yang mengajarkan keilmuan ahlussunnah waljama’ah melalui kitab-kitab salaf yang menggunakan aksara Arab pegon.
Keduanya menekuni ajaran islam yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah dan bisa memberikan masyarakat petunjuk serta ajaran yang pernah diajarakan oleh walisongo.
Kitab-kitab yang mereka pelajari adalah kitab-kitab yang kini banyak diajarkan di pesantren dan akrab dipelajari oleh santri pesantren, semisal daqo’iqul akbar, wasiyatul musthofa, fatkhul qorib, fatkhul mu’in, kifayatul ahyar, hikam, bulughul maram, ihya’ ulumuddin dan lain-lain.
Ketika pada waktunya berangkat belajar ke tanah suci kedua santri (kiai) ini belajar di Mekkah yang gurunya adalah orang-orang jawah yang menetap di Mekkah.
Keduanya belajar kepada para ulama’ yang sudah diakui keilmuannya dan sudah diakui kealimannnya. Diantaranya adalah syech khatib al-minagkabawi, syech Nawawi al-Bantani, dan syech al-Termasi masih banyak lagi.
Setelah tuntas belajar kitab-kitab (tekstualis; tradisi bayani) dalam sistem bandongan dan sorogan di masjidil haram pada para kiai-kiainya maka giliran mereka belajar ilmu tingkat tinggi untuk menyatukan diri dengan Allah (tradisi irfani). Ilmu ini adalah ilmu yang telah dipelihara oleh masyarakat Hijaz di Mekkah dan Madinah yang telah turun temurun diwariskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam.
Dari Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam diserahkan kepada Sayyidinan Abu Bakar rodhiyallahu anhu, lalu kepada Sayyidina Salman al-Farisi rodhiyallahu anhu, dan terus diwariskan hingga kepada para ahli waris qaddasallahu sirrohu yang menetap di Jabal al-Qubais.
Ilmu warisan Rasulullah ini bukan hasil kebudayaan manusia berupa teks (kitab-kitab) atau tradisi lisan, tapi sebuah amalan dzikir yang langsung menembus ke jalan menuju kehadirat Allah.
Ilmu inilah yang pada tahun-tahun sebelumnya telah menjadi rebutan bagi para pembunuh Nabi dan musuh-musuh para Nabi (Fir’aun, Namruj, dan Kisra). Dan pada zaman akhir (di abad 19 masehi) ilmu ini telah dijaga dan diamalkan oleh syech-syech dari tarekat Naqsabandi.
Dari syech Naqsabandi inilah kedua pendiri organisasi terbesar di tanah air Nusantara itu berguru dan mengikuti jejak-jejak para guru-gurunya sebelumnya. Yakni keilmuan yang tidak melalui teks tulisan maupun ujaran lisan.
Ilmu ini sangat tinggi, yang tidak tertulis dan tidak pula ada suaranya, sama persis dengan apa yang diperoleh oleh Rasulullah dari Malaikat Jibril saat di gua Hira.
Dan proses pembelajaran dari keilmuan yang tinggi ini adalah melalui proses suluk di Jabal al-Qubais, tidak berbeda sama sekali dengan suluknya Rasulullah ketika berada di gua Hira.
Suluk adalah berkhalwat, menyendiri, untuk berdzikir intensif kepada Allah, dengan memutus hubungan sementara dengan manusia agar mampu menyatukan diri kepada Allah Tuhan dzat yang Maha Tinggi. Di Jabal al-Qubais kiai Hasyim Asy’ari dan kiai Ahmad Dahlan pun melakukan hal yang sama, suluk dan intensif berdzikir, sesuai dengan petunjuk Guru Mursyid-nya.
Di zaman beliau berdua suluk di Jabal al-Qubais dilaksanakan selama 40 hari penuh. Dan ini juga dilakukan oleh para kiai-kiai setelahnya yang mengikuti jejak-jejak beliau.
Namun pasca berkuasanya Abdul Azis bin Sa’ud dengan ideologi wahabinya yang anti tarekat, secara berlahan para ahli dzikir menyingkir dari tanah Hijaz dan memilih tempat yang lebih teduh dan nyaman untuk mengamalkan ajaran Islam yang tinggi ini (Islam ya’lu wa la yu’la alihi).
Selain menyingkir, para ahli dizkir dan pengamal tarekat juga banyak pula yang dibunuh oleh para ekstremis wahabisme dengan bantuan Inggris, puncaknya pada saat garnisum Ustmani di Madinah runtuh pada perang dunia I di front Timur Tengah. Banyak para penganut ajaran ahlussunnah waljama’ah, pengamal dzikir dan pengikut Guru Mursyid dibantai dalam pembantaian yang sangat kejam.
Dari tanah suci Mekkah, setelah suluk beberapa kali Jabal al-Qubais kedua kiai ini pulang ke tanah air dan terus mengamalkan ilmunya itu. Tidak heran jika kemudian pada suatu kisah kedua kiai ini sering duduk menyendiri di kamar atau di pojok masjid hanya untuk berdzikir dan tenang bercengkrama bersama Tuhannya. Yang yang dilakukan adalah melakukan apa yang pernah dilakukan di Jabal al-Qubais. Wallahu’alam bi showaf.