Bencana yang terjadi akhir-akhir ini sontak semakin menambah beban kehidupan manusia, sudah dikoyak-koyak oleh Pandemi, sebagian saudara kita harus berjibaku melawan bencana alam, seperti banjir dan gempa bumi. Hal ini memunculkan keprihatinan dan duka mendalam. Sebagai sesama manusia, kita wajib berbela sungkawa, serta membantu mereka sesuai dengan kemampuan kita, jika hanya bisa berdoa, maka doa, bacaan yasin atau tahlil itu akan menjadi pemantik semangat untuk saudara kita yang sedang kesusahan.
Berbicara tentang bencana ada sesuatu yang cukup menarik untuk dibahas. Pertama, memang benar bahwa bencana adalah cobaan dari Allah SWT, baik bencana alam dan wabah yang tengah kita hadapi. Ini merupakan bagian dari suratan ilahiah atau kita kenal dengan takdir, dalam konteks ini adalah takdir mubram. Bahwa bencana yang kita hadapi merupakan ujian atas keimanan dan kemanusiaan kita. Dapat juga sebagai peringatan atas bagaimana kita memperlakukan alam, sebagaimana sahabat-sahabat pergerakan diajarkan soal hablum minal alam.
Kedua, bencana memang akan terjadi, tetapi manusia telah berulangkali diperingatkan dalam Al-Quran, terutama surat-surat yang berhubungan dengan pentingnya menjaga lingkungan hidup, seperti Ar-Rum ayat 41-42, lalu ada Al-A’raf ayat 56-58. Di sini Allah tidak akan menguji hambanya melampaui batasannya, tentu setiap bencana pasti ada solusi. Pada konteks ini kita mengenal takdir muallaq, di mana manusia diberikan kesempatan oleh Allah untuk memperbaiki nasibnya, memperbaiki jalannya. Dalam konteks ini kita mengenal langkah preventif dan mitigasi terkait bencana.
Ketiga, peringatan itu hendaknya membuat kita lebih bijak ketika menghadapi bencana. Tidak hanya menyalahkan satu hal saja, tetapi juga harus introspeksi diri atau senantiasa bermuhasabah atas apa yang tengah kita alami. Alam telah menunjukan perubahan akibat umurnya yang semakin tua, ditambah dengan beban eksploitasi yang semakin masif. Tentu akan membuat alam yang seharusnya mampu mengelola dan memperbaiki dirinya, ternyata kini kemampuan itu hilang. Sehingga resiko kerentanan bencana menjadi semakin tinggi.
Kita telah mengalami betul dan merasakan aneka perubahan lingkungan hidup yang ada di sekitar kita. Salah satunya suhu di tempat tinggal kita yang semakin hari-semakin meningkat. Cuaca yang tidak bisa diprediksi. Intensitas bencana hidrometeorologi karena anomali cuaca dan perubahan iklim semakin meningkat, baik banjir, longsor, angin puting dan kebakaran hutan dan lahan.
BNPB mencatat selama tahun 2020 ini ada sekitar 2.925 kejadian bencana, dengan rincian banjir 1065, angin puting beliung 873, longsor 572, karhutla 326, abrasi 36 dan kekeringan sebanyak 29 kejadian. Belum lagi terkait bencana alam geologi yang disebabkan siklus panjang alam dengan diprediksinya akan ada banyak gempa dan erupsi gunung berapi. Di tahun 2020 ini saja menurut BNPB ada 16 kali gempa dan 7 kali erupsi gunung berapi. Kondisi ini akan semakin meningkatkan resiko kerentanan bencana. Artinya kita harus mulai berpikir, bagaimana langkah meminimalisir agar dampaknya tidak meluas.
Kita telah belajar dari pengalaman yang lalu, dan dibekali pengetahuan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi bencana dampaknya sangat luas, semakin menambah beban manusia. Perlu diingat munculnya penyakit Covid-19 akibat infeksi virus korona ini juga tak bisa dilepaskan dari kerusakan lingkungan hidup kita.
Senada dengan catatan KH. Sahal Mahfudz dalam Nuansa Fiqh Sosial, bahw kerusakan lingkungan hidup akan berdampak pada kemiskinan dan pelestraian lingkungan hidup akan berdampak pada kesejahteraan. Dalam hal ini kita dapat memaknainya bahwa ketika lingkungan hidup rusak beban manusia akan semakin tinggi, misal air harus beli, karena perubahan iklim ia tidak bisa menanam lebih baik, rentan gagal panen. Kala terjadi bencana seperti banjir dan longsor karena hujan, ia harus kehilangan harta bendanya, keluarganya dan kebahagiaannya.
Sementara, ketika kita melestarikan lingkungan tentu akan menikmati kesejahteraan. Air jernih, udara bersih, makan cukup disediakan oleh alam dan dampak kerusakan akibat bencana akan dapat diminimalisir. Seperti banjir, jika kawasan resapan dan tangkapan air di hulu terjaga, maka proses penyerapan akan lebih tinggi dan mereka pun akan menahan tanah miring agar tidak lepas dan mengakibatkan longsor.
Dalam Tafsir Al-Misbah karangan Pak Quraish Shihab yang mengulas tentang surat Al-A’raf 56-58, mengatakan jika lingkungan hidup adalah fasilitas yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Tentu, Allah SWT memberikan fasilitas berupa lingkungan hidup kepada manusia agar mereka dapat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan baik. Dalam tafsir ini dapat dipahami bahwa, karena diberikan fasilitas untuk meningkatkan iman dan takawa. Maka manusia dilarang merusak lingkungan hidup, serta diberikan kewajiban untuk menjaganya.
Pada kesimpulan ini, penulis ingin mengatakan bahwa semua kejadian ini, harusnya dapat dipahami dan menjadi tugas bersama, agar lebih bijaksana ke depan. Khususnya melakukan langkah preventif dan mitigatif. NU harus mendorong penyelamatan lingkungan hidup menjadi sebuah prioritas utama. Sebab NU memiliki komitmen yang sudah pernah dicetuskan dalam Gerakan Nasional Lingkungan Hidup (GNKL) sebagai bentuk jihad bi’ah.
Kondisi ini sangat relevan jika gerakan bela lingkungan ke depan lebih dimasifkan, dengan melakukan manajemen resiko bencana dan pengembangan komunitas sampai di level ranting untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, serta mendorong pemerintah untuk memaksimalkan UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup No 32 Tahun 2009 dan mendesak pemerintah untuk melakukan perombakan ulang kebijakan yang sekiranya akan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup.
Warga Nahdlatul Ulama, pekerja sosial