1 Muharram diperingati sebagai tahun baru Islam. Tahun baru yang memiliki ragam versi dalam memeringati dan memeriahkannya. Pada kalangan masyarakat Jawa, tahun baru Islam berarti memeringati dengan peristiwa besar. Suro, begitu orang Jawa menyebut untuk peringatan 1 Muharram. Padahal suro dalam pandangan Islam berasal dari kata asyuro yang diartikan kesepuluh atau angka sepuluh.
Peristiwa asyuro dalam Islam merupakan peristiwa yang diperingati setiap hari kesepuluh bulan Muharram. Diyakini sebagai hari penuh berkah dan berbagai peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Islam. Diantaranya pembebasan Nabi Musa AS dari Fir’aun, keselamatan Nabi Nuh AS dan kapalnya dari banjir besar, pengampunan Nabi Adam AS, dan kesyahidan Imam Husain pada peristiwa Karbala. Oleh karenanya di dalam Islam pada hari asyuro dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Hal itu dipercaya dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.
Kondisi tersebut berbeda dengan asyuro dalam pandangan masyarakat Jawa yang dikenal sebagai bulan suro. Yakni bulan yang memiliki daya magis yang kental dengan tradisi spiritual. Termasuk pada malam satu suro atau 1 Muharram menjadi malam yang sakral dan penuh makna. Oleh karenanya masyarakat Jawa pada malam satu suro banyak melakukan laku prihatin, seperti tirakat, kontemplasi, dan bahkan tidak tidur semalam suntuk.
Selain itu, di beberapa daerah terdapat kegiatan upacara adat, seperti jamasan pusaka di Keraton Yogyakarta, mandi di air terjun sedudo Nganjuk, dan lain sebagainya sebagai bentuk tradisi adat istiadat yang dilakukan turun temurun dilakukan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa juga memberikan pantangan untuk melakukan kegiatan besar pada bulan suro. Mereka lebih memfokuskan untuk kegiatan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Bahkan meminimalisir kegiatan-kegiatan keluar rumah pada malam satu suro. Apapun bentuknya, semua sebagai upaya menginginkan berkah dari tradisi spiritual tersebut untuk keberkahan, kebahagiaan, keselamatan, dan kesuksesan hidup.
Tradisi tersebut mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa menyikapi waktu-waktu yang dianggap sakral dengan pendekatan yang khas dan penuh kehati-hatian. Mereka tidak hanya melihat 1 Muharram sebagai penanda pergantian tahun, tetapi juga sebagai momentum refleksi dan penyucian diri. Inilah yang membedakan antara pendekatan Islam normatif yang menekankan pada nilai-nilai ibadah, seperti puasa Asyura, dengan pendekatan masyarakat Jawa yang sarat makna simbolik dan spiritual lokal. Meski berbeda dalam cara dan simbol, keduanya sejatinya memiliki muara yang sama: mendekatkan diri kepada Tuhan dan memaknai waktu sebagai sarana perbaikan diri.
Perpaduan antara ajaran Islam dan budaya lokal menegaskan bahwa Islam di Nusantara berkembang tidak dalam ruang hampa. Ia berdialog secara aktif dengan budaya setempat tanpa kehilangan ruh ajarannya. Sehingga membuktikan bahwa Islam mampu beradaptasi dan menyatu dalam keberagaman kultural, sebagaimana tampak dalam tradisi malam satu suro. Dalam kerangka ini, masyarakat Jawa tidak sekadar melestarikan tradisi, melainkan juga mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman dalam bentuk yang dapat mereka pahami dan hayati secara kontekstual.
Namun, perlu dilakukan pelurusan makna agar generasi muda tidak hanya menjadikan tradisi sebagai ritual tanpa substansi. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi malam satu suro seperti laku prihatin, tirakat, dan refleksi diri hendaknya dikontekstualisasikan dengan tantangan zaman. Tirakat misalnya, bukan hanya bermakna menahan lapar atau tidak tidur semalam suntuk, tetapi dapat dimaknai sebagai bentuk pengendalian diri terhadap gaya hidup konsumtif dan egoisme yang kini marak di masyarakat. Kontemplasi yang dilakukan dalam kesunyian malam satu suro dapat diaktualisasikan sebagai waktu untuk mengevaluasi perjalanan hidup, menata niat, serta memperkuat spiritualitas di tengah derasnya arus materialisme.
Oleh sebab itu, penting untuk menanamkan pemahaman bahwa memperingati 1 Muharram atau malam satu suro bukan sekadar peristiwa budaya atau rutinitas tahunan, tetapi sebagai bentuk integrasi nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah masyarakat yang semakin individualistik dan pragmatis, tradisi pada masyarakat Jawa justru menjadi ruang penting untuk memperkuat koneksi antara manusia dengan Tuhan, dirinya sendiri, dan lingkungannya. Momentum suro menjadi kesempatan emas untuk memperbarui niat hidup, merawat kebajikan, serta memperteguh komitmen dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
Lebih jauh, peringatan 1 Muharram seyogyanya menjadi titik balik dalam mempererat persaudaraan dan solidaritas sosial. Tradisi spiritual yang dilakukan secara kolektif, seperti kirab budaya, pengajian akbar, atau doa bersama, dapat menjadi ruang penyatu lintas generasi dan kelompok. Kegiatan tersebut menjadi penanda bahwa spiritualitas tidak hanya bersifat individual, tetapi juga sosial. Dalam konteks masyarakat majemuk, nilai-nilai persatuan menjadi penting untuk dijaga sebagai fondasi kohesi sosial dan kehidupan damai.
Menghidupkan kembali semangat 1 Muharram berarti menghidupkan kesadaran sejarah dan moral umat. Bahwa dalam sejarah Islam, peristiwa-peristiwa besar seperti hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah, yang menjadi titik awal penanggalan Hijriyah, mengandung nilai perjuangan, pengorbanan, dan pembentukan masyarakat madani. Semangat hijrah adalah transformasi menuju kehidupan yang lebih baik, adil, dan bermartabat. Sehingga tetap relevan dalam konteks kekinian di mana kita dihadapkan pada keadaan krisis nilai, ketimpangan sosial, dan tantangan moral. Maka, memperingati 1 Muharram semestinya tidak berhenti pada agenda seremonial saja. Tetapi menjadi panggilan moral untuk melakukan hijrah spiritual dan sosial menuju kehidupan yang lebih baik.
Dengan demikian, baik tradisi Islam normatif maupun tradisi lokal seperti yang ada dalam budaya Jawa dapat saling melengkapi dan memperkaya khazanah keislaman yang moderat, kontekstual, dan inklusif. Perpaduan antara keduanya menciptakan wajah Islam yang sejuk, penuh makna, dan membumi. Dalam suasana seperti itu, 1 Muharram bukan hanya sekadar perayaan tahun baru, tetapi menjadi gerbang pembaruan spiritual dan sosial, baik secara pribadi maupun komunal.
Editor : M Rudi C