Suluk.id – Hal yang patut disyukuri yakni ketika orang-orang masih dengan bangga mengunggah story tentang pondok-pondok, tempat-tempat atau acara-acara keagamaan lain. Salah satunya menunjukkan bahwa mereka bangga pernah berada dalam lingkungan tersebut. Terlebih ada keinginan agar dapat dianggap menjadi salah satu dari bagian dari lingkungan mereka. Tapi pasti ada niat-niat lain yang masih tersembunyi. Seperti hanya ingin sekedar mengabadikan momen kemudian untuk diceritakan pada generasi mendatang atau sebagai bahan nostalgia. Atau berniat lebih-lebih sebagai media dan pesan berdakwah. Yakni mengajak orang lain agar kemudian berkesempatan ikut hadir serta bangga menjadi bagian dari kita yang datang ke tempat-tempat agenda keagamaan.
Mungkin pandangan lebih ekstrem lagi yakni mengunggah story WA berkunjung ke tempat-tempat kebaikan tersebut karena ingin membantu Malaikat mencatat amal kebaikan kita. Foto atau video yang kita unggah dapat dijadikan sebagai bukti shohih bahwa kita pernah berada di sana ketika diminta pertanggungjawaban nanti. Lha terus malaikat apa tidak menggunakan kamera juga atau menginstal aplikasi kamera map GPS untuk mengetahui lokasi detailnya? Ladalah lakok ngentengne (meremehkan) Malaikat. Buku catatan, teknologi pencatat amal kebaikan yang diberikan Gusti Allah tentu sangat bisa dengan mudah melebihi kecanggihan kamera smartphone Radmi atau Siomi. Terus apakah malaikat tidak lebih baik dari manusia kalau masih membutuhkan bantuan juga? Kalau masalah ibadah dan melaksanakan tugas memang mereka ahlinya. Akan tetapi manusia bisa lebih baik derajatnya dari malaikat, jika mereka beriman dan bertakwa. Karena manusia mengendalikan nafsu dan pikirannya dalam melaksanakan perintah akan jauh lebih sulit.
Kembali ke rasa bangga pada unggahan tentang tempat atau kegiatan keagamaan. Saya sendiri menggunggah story foto pondok bukan berarti saya pernah menjadi santri atau bermukim. Saya hanya sesekali melewati, singgah dan mengikuti kegiatan-kegiatan umum yang diadakan pondok. Bahkan sekedar hanya ikut sambang atau menjenguk karena ditugaskan. Tapi dengan begitu saya merasa bangga, dapat berkunjung ke tempat-tempat yang demikian. Pastinya, karena saya masih menganggap tempat-tempat tersebut banyak memberikan ilmu, keberkahan, dan kebermanfaatan. Ketika mengikuti acara pengajian, satu dua ilmu tentang kehidupan pasti saya dapatkan. Persoalan keberkahan, saya menyakini bahwa hal itu masih ada. Tidak terlihat dengan mata, tidak terpikirkan, tapi dapat dirasakan oleh hati. Istilahnya tabarukan alias ngalap barokah dari para Kyai-kyai dan Ustadz yang lebih dekat dengan Gusti Allah. Perihal kebermanfaatan tentu pondok-pondok dan majlis taklim memberikan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk kehidupan, bahkan setelah kehidupan di dunia yakni kehidupan akhirat.
Sekali lagi orang-orang yang dengan bangga menunjukkan keberadaannya di tempat-tempat religi mesti tetap harus dipertahankan atau malahan dilestarikan. Tentu dibarengi dengan niat-niat positif. Semoga dengan begitu, kita dapat dianggap menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang berada di dalamnya. Misalnya diakui menjadi santri. Walaupun santri-santri yang mukim lebih lama, alim, dan berpengalaman sangat wajar jika mereka merasa lebih bangga. Karena mereka lebih patut mendapatkan privilege (hak istimewa) dari apa yang pernah mereka lakukan. Akan tetapi ketawadhu’an kadang lebih besar. Mereka terbiasa dengan tidak mengunggah kehidupannya di Pondok.
Sebagai santri wira wiri, yang hanya berkelana kesana kemari, saya harus sungkem karena mereka bisa menahan keinginan untuk mengunggah kegiatannya agar tidak dicap “jumawa” akan perilakunya. Tapi semua tergantung niatnya. Sekali lagi tetap sisakan fungsi kamera depan atau belakang mu untuk membantu Malaikat mencatat kemana dan bagaimana kita membuat sebuah kebaikan. Sejatinya “urip iku mung turu” untuk singgah sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan hidup, tidak terasa hari demi hari, dan bangun-bangun malaikat dua bertanya “man rabbuka”

Islamic digital activist. Mugi Barokah Manfaat