Dewasa ini, beragama telah menjadi aktivitas yang tidak hanya berkaitan dengan ritual, akan tetapi juga dengan cara seseorang memahami, menafsirkan, dan merespons realitas sosial yang terus berubah. Di tengah derasnya arus informasi, perdebatan teologis, serta munculnya otoritas-otoritas baru dalam ruang digital, beragama tidak lagi cukup hanya dengan semangat semata, namun juga membutuhkan kejernihan nalar supaya keyakinan tidak mudah goyah dan sikap tidak mudah terjebak dalam ekstremisme. Banyak orang beragama secara emosional, namun tidak semua memadukannya dengan kesadaran intelektual yang matang. Hal ini mengakibatkan agama sering dipahami secara parsial, bahkan dijadikan alat untuk memperkuat ego, bukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Di lain sisi, tidak jarang juga kita temui orang-orang yang mengaku sebagai umat yang beragama. Namun kenyataannya, cara berpikir maupun tindak laku mereka sangatlah bertolak belakang. Beragama, terutama agama Islam, mengajarkan cinta damai, toleransi, dan kepedulian terhadap lingkungan. Ironisnya, sebagian justru terjebak pada perilaku mudah menghakimi, intoleran, dan kurang peka terhadap kerusakan sosial maupun alam di sekitarnya. Fenomena ini menunjukkan adanya jurang antara ajaran dan pemahaman, antara teks dan praktik. Di sinilah pentingnya nalar bekerja, untuk membawa seseorang menyadari bahwa agama bukan sekadar identitas atau simbol, tetapi juga sebagai tuntunan moral yang harus diinternalisasi secara utuh.
Dalam konteks inilah nalar dalam beragama menjadi penting bukan berarti hal ini bermakna sebagai penantang wahyu, akan tetapi menjadi sebagai penjaga supaya pemahaman keagamaan tetap proporsional. Tanpa nalar dalam beragama, seseorang bisa saja memegang teks secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks. Sebaliknya, dengan nalar yang sehat, teks akan mampu untuk dipahami bukan hanya pada level lafaz, tetapi juga pada tujuan, hikmah, dan nilai kemanusiaannya. Nalar mengajarkan bahwa agama membawa misi kemaslahatan, dan karena itu tidak boleh digunakan untuk menyakiti, merendahkan, apalagi merusak sekitarnya. Ia bekerja sebagai kompas batin yang membantu manusia tetap bijak akan setiap tindak laku, sekalipun berada dalam lingkungan yang sarat polarisasi dan klaim kebenaran.
Para ulama klasik sejak masa awal Islam, seperti Al-Ghazali dan Fakhruddin ar-Razi, telah menegaskan bahwa akal merupakan anugerah yang memungkinkan manusia memahami perintah Tuhan secara lebih mendalam. Dalam kerangka itu, akal bukanlah lawan dari iman, tetapi penyempurna iman. Seorang hamba memerlukan akal untuk mengenali tanda-tanda kebesaran-Nya, menimbang konsekuensi moral dari tindakannya, serta mengolah dalil-dalil agama agar tidak dimaknai secara sempit. Ketika nalar diposisikan sebagai pendamping wahyu, lahirlah pemahaman yang matang dan jauh dari fanatisme buta. Dalam al-Qur’an jelas Allah telah menunjukkan betapa pentingnya posisi akal dalam beragama, seperti yang tertera dalam surah Az-Zumar ayat 9:
“Adakah sama orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhanmu adalah kebenaran dengan orang yang buta? Hanya orang-orang berakal (ulul albab) yang dapat mengambil pelajaran.”
Berangkat dari pesan ayat tersebut, jelas bahwa kualitas keberagamaan sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang menggunakan akalnya. Mereka yang beriman dengan pemahaman akan memiliki sikap beragama yang lebih tenang, tidak reaktif, dan mampu memandang perbedaan sebagai bagian dari keluasan rahmat Allah. Sebaliknya, mereka yang beragama tanpa nalar cenderung mudah terseret arus provokasi, cepat menghakimi, dan menganggap pandangannya sebagai yang paling benar. Padahal, Islam sendiri mengajarkan kerendahan hati dalam mencari kebenaran, sekaligus keterbukaan untuk belajar dari berbagai sumber ilmu yang sah. Maka menjadi suatu masalah besar, apabila seseorang tidak memaksimalkan akalnya dalam beragama.
Pada saat ini yang semakin kompleks, dengan berbagai informasi yang tersebar dengan begitu cepatnya. Penggunaan nalar dalam beragama bukan lagi sekadar kebutuhan, tetapi menjadi suatu keharusan. Banyak fenomena sosial, budaya, dan teknologi yang menuntut umat beragama untuk melakukan penalaran kritis sebelum mengambil sikap, baik dalam hal menyebarkan informasi, menyikapi perbedaan pendapat ataupun mazhab, hingga menghadapi isu-isu kemanusiaan. Tanpa nalar yang matang, seseorang mudah terjebak akan hoaks keagamaan, ujaran kebencian, hingga manipulasi teks agama untuk kepentingan kelompok tertentu. Di sinilah nalar bekerja sebagai filter, yang memastikan bahwa seseorang tidak mudah dieksploitasi oleh narasi keagamaan yang menyesatkan.
Akhirnya, nalar dalam beragama adalah sebuah fondasi bagi masyarakat yang matang secara spiritual maupun sosial. Ia melindungi agama dari penyempitan makna yang sering disalahgunakan, menjaga manusia dari klaim kebenaran yang berlebihan, dan memperkuat hubungan antarumat dalam kerangka saling menghormati. Nalar tidak dimaksudkan untuk mengurangi spiritualitas, akan tetapi justru dengan nalar akan mampu memperdalamnya. Dengan nalar, seorang hamba mampu beragama secara lebih dewasa, tenang dalam keyakinan, luas dalam pandangan, dan lembut dalam sikap. Itulah wajah beragama yang tidak hanya menguatkan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama maupun dengan alam sekitarnya.








