Disadari atau tidak, kita sering salah kaprah mengatakan sesuatu. Jika ditelaah lebih dalam penggunaan tersebut akan terlihat kesalahannya. Bisa dalam salah kaprah dalam penggunaan kata, bisa salah dalam penggunaan istilah (pemahaman).
Dalam penggunaan kata, Ahmad Dhani menciptakan lagu “Roman Picisan” dengan kesalahan kata yang sering tidak disadari dan pada akhirnya tetap dinikmati. Ahmad Dhani menulis liriknya dengan “Tatap matamu bagai busur panah. Yang kau lepaskan ke jantung hatiku”. Yang lebih tepat dilepaskan ke jantung hatiku itu tentu adalah “anak panah”, bukan “busur panah”.
Pertama, kesalahan kata-kata itu tidak akan menjadi masalah jika tidak menyadarinya dan tidak menimbulkan salah paham. Sebab pada kata tertentu, terlalu sering menggunakan kata yang salah akan berefek pada interpretasi yang beragam.
Misalnya kalimat, “jangan jadi anak yang suka mengacuhkan sesuatu.” Kata acuh sering diartikan dengan “tidak peduli”, padahal maknanya adalah sebaliknya (peduli; mengindahkan). Jika kalimat tersebut diterima dengan benar, maka akan berakibat salah. Tapi jika diterima dengan salah, maka akan berakibat benar. Lak nggeh malah jadi sangat rancu.
Kedua, jika kesalahan itu disadari maka tentu harus ada sikap yang diambil. Bisa membiarkannya, membenarkannya, atau memakluminya. Memakluminya sebab dalam perkara bahasa, sikap ini digunakan untuk melihat lebih dalam makna yang sebenarnya terkandung di dalamnya.
Misalnya, Sayyidina Ali bin Ali Thalib kw. Ketika ditanya mengenai lebih utama ilmu dan harta? Dari 10 kali pertanyaan yang diajukan, salah satunya beliau menjawab alasannya dengan, “Lebih utama ilmu. Sebab harta akan berkurang jika dibagi. Sedangkan ilmu akan bertambah jika dibagi.”
Padahal Rosululloh saw. bersabda, “Sedekah tidak mengurangi harta”. (Hr.Tirmidzi).
Atau pada hadis yang lain. Rosululloh saw. bertanya kepada Ibunda A’isyah “Apakah ada yang tersisa darinya?” Ibunda A’isyah menjawab, “Tidak ada yang tersisa, kecuali bagian bahunya.” Kanjeng Nabi Muhammad saw. lantas bersabda, “Tersisa seluruhnya kecuali bagian bahunya.” (Hr.Muslim)
Apakah dawuh dari Sayyidina Ali dan Kanjeng Nabi tersebut kontradiktif? Tentu tidak!
Bahasa punya makna lahiriyah dan makna hakiki. Makna lahiriyah adalah apa yang disampaikan oleh Sayyidina Ali sebab kalimat tersebut merupakan implikasi dari pemahaman orang secara umum. Sedangkan dawuh dari Rosululloh saw. adalah kata hakiki yang bermuara pada urusan kebenaran yang sesungguhnya. Keduanya sama sekali tidak berlawanan, hanya berada di ruang bahasa yang berbeda.
Nyatanya, dalam bahasa Indonesia, kita juga sering menggunakannya. Bukankah kita juga sering mengatakan bahwa matahari terbit dari timur? Tapi apakah hakikatnya matahari benar-benar terbit dari timur?
Dalam ilmu peristiwa geosentris, yang bergerak dan berotasi adalah bumi. Kalau kita masih ingat dengan pelajaran di sekolah, matahari itu pusat tata surya. Seluruh planet, asteroid dan seluruh benda-benda langitlah yang mengitari matahari. Bagaimana mungkin matahari yang diam dan menjadi pusat rotasi malah diistilahkan dengan kata “terbit” yang sifatnya adalah aktif?
Jadi benarkah matahari terbit dari timur? Yang benar tentu arah edar bumi yang menjadikan matahari tampak terlebih dahulu dari arah timur. Tapi mengistilahkan seperti itu jelas tidak ringkas dan ribet. Maka, dalam beberapa hal, kita tidak perlu ngeyel mengkritik dan membenarkan penggunaan kata-kata lahiriyah yang -meski- memang kurang benar jika dihadapkan dengan makna hakikat. Jadi, mohon dimaklumi dan dimengerti.
Jika masih ngeyel, kalimat lahiriyah berupa “aku milikmu dan kamu milikku” menjadi tidak lagi romantis, bahkan tidak lagi berguna sebab hakikatnya “segala sesuatu adalah milik Allah”. Lak nggeh jadi ampas rayuan sampean.
Ditulis oleh: Ahmad Yusuf Tamami. Founder Percik.id & Pemimpin Redaksi Majalah Mayara, Surabaya.
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan