Menjadi anak-anak memang punya kebebasan. Los tapi kadang rewel. Seperti saat saya jadi anak-anak. Pasti los sekali dalam bersikap dan rewel kalau dipenggak (dilarang). Begitulah anak-anak.
Menjelang terawih saya dan kawan-kawan waktu kecil sudah berlarian ke musala. Musala kami cukup dekat dari rumah. Jadi, musala memang menjadi jujukan saat buka puasa selesai.
Saling berbagi cerita dengan teman sebaya adalah kebahagian. Sebab, saya dengan kawan-kawan seumuran di lingkungan dekat musala itu beda sekolah. Dengan, begitu kita akan bercerita tentang apa yang sudah kita lalui di sekolah.
Iqomah telah berbunyi. Kami pun masuk ke musala. Sadar sebagai anak kecil saya dan kawan-kawan tidak mau mendekat ke saf depan. Bukan kesadaran ding. Tapi, kami memilih agar bisa bermain saat berada di saf belakan. Ha ha ha.
Terawih di musala kami 20 rakaat. Kemudian dilanjut dengan salat witir 3 rakaat. Saya yang masih awam bingung betul dengan kecepatan imam salat yang berbeda dengan salat wajib pada umumnya.
Sebagai anak kecil yang alfatehah saja belum bisa cepat. Maka saya sering ketinggalan gerakan salat. Karena sebuah kegoblokan, saya nekad menyelesaikan bacaan alfatehah meski imam sudah masuk ke gerakan sujud. Saya berusaha mengejar. Tetap dengan membaca bacaan sujud dan rukuk tiga kali. Yongalah. Saya pun ketinggalan kloter rakaat tersebut. Sebab, saat membaca tasyahud meski dengan kecapata penuh rakaat tarawih berikutnya telah melaju.
Perbuatan ini bukan saya saja. Tetapi kawan-kawan saya yang seumuran pun sama. Saat memasuki rakaat ke 10 suara di luar musala mulai ramai. Masjid sebelah kampung kami sudah selesai. Kabarnya, di sana delapan rakaat.
Melihat itu kami mulai gelisah. Rasa malas menyerang. Saya pun memutuskan pokok ikut gerakan saja. Ndak perlu ikut apa yang dibaca. Bahkan, yang paling keren saya lakukan adalah. Kami duduk-duduk santai saat orang-orang mulai takbirotulihrom. Nah, saat tasyahud akhir kami pura-pura duduk dan mengacungkan telunjuk lantas ikut salam.
Dalam batin, semacam muncul kebanggan kami tidak ketahuan karena kami hanya pura-pura salat. Saya ternyata bukan anak yang baik saat masih kecil.
Peristiwa terawih saat sudah mulai jenuh memang akan ada keusilan dari kawan-kawan kami. Saya pernah kena sikut pungguh. Ya, saat saya bangun dari sujud dia sudah menyiapkan sikutnya di atas punggung. Kadang, saya membalas dengan gerkan yang sama. Pun tak ketinggalan saling injak kaki menjadi sebuah keniscayaan. Bandel betul kami saat itu.
Terawih bagi anak-anak bukan soal ibadah sepertinya. Kami menjadi ajang itu sebagai sebuah pertemuan besar. Saling bersahut amin dengan suara lantang juga telah menjadi bagian dari ritual tarawih anak-anak. Cengengesan di belakang adalah sebuah kenikmatan.
Setelah jamaah terawih usah saat itu berakhir sudah karir bandel saya di musala. Bapak saya, yang ada di saf depan, usai semua wirid dan doa dibaca mendekati saya. Dibentaklah saya. Betul-betul makdek kala itu.
“Nek mbribeni musala. Rasah melu salat. Neng umah wae,” katanya.
Saya yang mendengar itu berjanji tak akan mengulang lagi. Ke esokan harinya. Teman saya saling lirik jika melihat bapak saya melintas. Mereka khawatir nanti kena semprot.
Kami memutuskan seolah-olah diam. Menahan tawa mati-matian. Meluapkannya saat lafal amin dibunyikan.
Anak-anak selalu punya imajinasi sendiri-sendiri. Terawih bisa menjadi ajang apapun bagi anak-anak. Pamer hafalan hingga pamer mercon terbaru yang mereka beli di luar pagar sekolah.
Kadang dunia orang dewasa tak memahami anak-anak yang rela mati-matian ikut tarawih. Meski setelah di musala mereka hanya beramai ria.
Kita sebagai orang tua tidak perlu memarahi anak-anak. Siapa tahu, saat kecil kita lebih brutal dari mereka atau jangan-jangan kita justru tidak pernah ke musala waktu kanak-kanak. (*)
Sumber Foto : Antara

Redaktur suluk.id