KETENANGAN Gus Baha dalam menghadapi setiap persoalan hidup sudah masyhur kita dengar. Di tangan Gus Baha semua terasa ringan, mudah, dan solutip. Tak ada kerumitan dalam mengurai persoalan. Tak ada kesusahan dalam menghadapi permasalahan.
Gus Baha adalah potret NU yang sesungguhnya. NU yang selalu santui. NU yang tidak gupuhan. Dan NU yang cerdas, tapi tidak ngegas. NU yang ngayomi, nyenengke, tidak rewel, dan NU yang memiliki slogan Gitu Aja Kok Repot ala Gus Dur.
Tapi entah kenapa, dewasa ini–menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) banyak orang sesama NU yang seakan membuat hidup ini terasa rumit. Beda pilihan politik seperti menjadi masalah tahunan. Masing-masing mengklaim yang paling benar. Debat kusir dan saling intrik menjadi sesuatu paling menarik ketimbang memilih jalan solutip.
Seakan jika paslon yang didukung tidak menang, maka tatanan rizki tidak bisa berjalan normal. Seakan rizki baru akan ditentukan setelah pilkada. Jika paslon A yang menang, nanti GTT-PTT akan sejahtera; jika paslon B yang menang, giliran pengusaha yang sejahtera; dan jika paslon C yang menang, maka petani yang akan terangkat kesejahteraannya. Bahkan NU pun terkadang dikambing hitamkan–kalau tidak paslon dari NU yang menang, nanti NU akan sulit berkembang. Wadauh… Yang sulit berkembang itu bukan NU, tapi oknum yang nunut urip nang NU.
Hambok dadi wong iku seng solutip…
Di antara pesan Gus Baha yang selalu diulang untuk mengingatkan santri-santrinya adalah melatih diri untuk mensifati sifat Allah. Sebab, Allah adalah maha memberi rizki. Allah tidak perlu syarat pilkada untuk melimpahkan rizki pada hambanya. Begitu juga dengan NU, untuk berkembang tidak harus menunggu pilkada, melainkan berangkat dari kesadaran bersama. Kesadaran untuk berlomba menjadi santrinya Mbah Hasyim Asy’ari.
“Allah itu Al-Qowi dzat yang kuat, Allah yang mengurusi kehidupan kita,” tutur Gus Baha. Karena itulah Gus Baha dan santri-santrinya terlatih menghadapi setiap persoalan hidup yang menurut orang awam rumit.
Disampaikan Gua Baha, jika kita yakin yang memberi rizki itu Allah, dunia diatur Allah, maka kita akan menganggap urusan pilkada itu tidak terlalu serius, sehingga tidak perlu bertengkar karena beda pilihan. Sebab, pada akhirnya kita akan sadar, bahwa presiden, gubernur, bupati, wali kota itu bukan Tuhan.
Sehingga, tidak ada jaminan—kalau presidennya/gubernurnya/bupatinya/wali kotanya adalah si A, maka rakyat pasti akan makmur. Dan sebaliknya juga, tidak ada kepastian apabila yang terpilih adalah presiden/gubernur/bupati/wali kota B, maka rakyat akan melarat.
Menurut Gus Baha, sebagai mukmin kita harus menyakini bahwa yang memberi rizki itu Allah, yang maha memberi anugerah itu juga Allah, yang maha memberi nikmat juga Allah. “Jadi, perkara dunia itu hanya lucu-lucuan belaka, biasa saja, tidak usah ribut,” tutur Gus Baha dari salah satu fragmen pengajiannya.
Ya, Gus Baha adalah ketenangan dan kesantuinan itu sendiri dalam menghadapi setiap persoalan. Memilih presiden/gubernur/bupati/wali kota adalah tanggung jawab sebagai warga negera yang baik. Tetapi, kata Gus Baha, semua itu harus disikapi dengan biasa saja. Tetap menempatkan Allah di atas segalanya—yang mengatur sekaligus sebagai pemberi rizki—Ar razzaq, Al-Mu’min, Al-Mutakabbir.
Jika bingung dalam menentutkan pilihan, saran Gus Baha—memilihlah dengan standar ijtihad fiqih, jika tidak mampu cukup ikut kiai atau guru.(*)
Pengurus Aswaja Center NU Tuban