PROBOLINGGO, Suluk.id – Malam pitulikuran atau petoklekoran syarat akan tradisi yang kuat dari masyarakat Probolinggo. Yakni BIBIBI atau tradisi saling bertukar makanan.
Menurut salah satu sumber tradisi unik ini sudah jadi warisan turun temurun sejak masa pemerintahan bupati pertama Probolinggo, yaitu Bupati Joyolelono.
Tardisi ini dilakukan oleh sebagian besar warga Nahdlyin dengan anggapan puasa mereka kurang lengkap tanpa adanya tasyakuran. Hal ini juga memiliki esensi berbagi dan memuliakan tetangga adalah hal yang dianjurkan dalam islam.
Mari mengenal BIBIBI lebih jauh dari sudut pandang anak anak tahun 90 an. Sebagai anak kampong, di hari pitulikuran ini saya biasanya sudah mandi di pagi hari. Biasanya dua atau tiga teman sudah menunggu di teras rumah. Ada yang membawa tas slempang kecil, dompet bekas ibunya, atau dompet buatan sendiri dari kertas buku gambar A4.
Saya cukup memakai celana pendek yang memiliki saku besar. Akhirnya kami menyusuri rumah di perkampungan bahkan hingga kampong sebelah. Tidak sembarang rumah yang kami datangi. Kami memetakan rumah rumah warga sebelum berangkat, hanya rumah yang bagus dan dirasa kaya atau memiliki jabatan seperti bu RT dan Bu RW yang akan kami datangi.
“Lek BIBIBI lek!” dengan modal teriak saja kami sudah bisa mengantongi Rp 2000 hingga Rp 5000 untuk satu rumah. Jika rumah yang kami datangi tidak memberikan kami sepeser uang, maka pada malam hari seusai taraweh akan kami kagetkan rumahnya dengan petasan.
Ketika Ibu sibuk membuat kue untuk saling bertukar masakan ke tetangga di pagi hari. Sore harinya tugas kami mengantarkan makanan itu. Biasanya kami berbagi untuk lima hingga sepuluh orang, hanya tetangga dekat rumah saja.
Sebagai anak 90an saya sanggat bangga menjadi kurir bagi keluarga. Meski ada kakak perempuan tertua, saya selalu tidak mau kalah untuk membantu mengantarkan makanan. Bahkan ibu memiliki nampan khusus berwarna merah untuk saya.
Sekali antar saya bisa membawa dua sampai tiga piring. Lagi lagi saya mengantar ke tetangga berpotensi yang memberikan saya uang.
Sebagai anak 90an, Ramadan adalah waktu yang padat bagi kami pada masa itu. Bagaimana tidak, 10 hari terakhir Ramadan adalah hal yang kami tunggu tunggu.
Masjid-masjid akan diramaikan dengan orangtua yang beriktikaf, makanan dari setiap jamaah selalu berganti setiap hari, sejuk suasana Ramadan malam hari sangat indah.
Kami sebagai anak hanya bertugas menyusun strategi agar tidak merasakan bosan. Kami akan melempar petasan kepada rumah yang pada pagi hari sudah kami tandai tidak memberikan BIBIBI. Setelah itu kami mengambil mangga tetangga yang pohonnya sudah berbuah.
Kegiatan terakhir kami adalah membangunkan sahur para warga di kampung kami. Kami kuat jalan keliling berkilometer dengan membawa alat musik buatan kami dari gallon, dan toples kong guan. Berakhirlah rangkaian kegiatan 10 hari terakhir Ramadan kami. Lelah tapi besok akan kami ulangi lagi. (*)
———————————————–
Naskah ini ditulis Ebiet Mubarok, seorang kelahiran Probolinggo yang kini menjadi konten kreator Jawa Pos Radar Bojonegoro. Dia juga aktif di Kelas Inspirasi.
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan