Prolog
Sebagaimana kita tahu, Islam hadir di muka bumi membawa misi kemanusiaan yang sangat luhur bagi sekian peradaban manusia yang terpuruk dan jahil. Sebagai agama dengan misi Teologi pembebasan — Di awal dakwahnya, Islam di elu-elukan oleh kaum-kaum minoritas sebagai pembebas dan penyelamat jiwa mereka dari tirani kekuasaan yang dhalim.
Hal ini tergambar dari sekian misi para nabi Allah yang berpihak pada kaum papa tadi. Istilah Islam sendiri berasal dari bahasa arab dan merupakan kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan, ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah).
Secara bahasa, kata Islam berasal dari aslama-yuslimu-islaaman artinya patuh atau menerima dan memeluk Islam; kata dasarnya adalah salima yang berarti selamat dan sejahtera (Warson munawir, Kamus Al-Munawir 1997). Maka fungsi agama sejatinya adalah penuntun hidup kearah jalan yang lurus menuju keridhoan sang pencipta (khaliq) secara damai dan selamat.
Tepat 15 tahunan terakhir, kita sering di suguhkan citra islam lebih berani dan menonjol jika di bandingkan 15 tahun kebelakang. Stasiun Tv, media masa, lingkungan elit, dan medsos saat ini disesaki oleh konten-konten yang bernuansa religi terlebih di bulan Ramadhan. Segala arena entertaiment mendadak religi pula.
Seakan telah menemukan kerannya, kini ekspresi beragama masyarakat muslim indonesia serasa tersalurkan dengan bebas. Program dakwah terus di gelorakan lewat kecanggihan tekhnologi informasi dengan beragam konten.
Segendang sepenaraian, fenomena tadi di perankan oleh artis-artis yang berbondong-bondong melakukan hijrah dari berpakaian ala selebnya ke arah fashion yang lebih syari. Gaung islam kaffah adalah slogan yang terus di dengungkan lewat gaya hidup mereka yang kebetulan memang jadi konten bagi sekian rumah hiburan TV swasta.
Mendadak, segenap artis tadi rutin mengadakan pengajian yang diliput secara live oleh beberapa Tv swasta. Memeluk Islam bagi para seleb tadi artinya bertransformasi pula style fashionnya kearah tuntunan sunnah. Mungkinkah ini pertanda kebangkitan islam?
Sejatinya, fenomena di atas tadi merupakan efek dari era globalisasi yang kebetulan berkembang pada iklim negara dengan corak demokrasi belaka. Tentunya masih amat minim dan permukaan sekali jika ukuran kebangkitan hanya ditandai dengan sekelumit fenomena di atas.
Di era serba virtual saat ini kebebasan berekspresi dalam beragama memang hampir tak terbendung. Hal ini di manfaatkan betul oleh para pegiat industri media lewat produksi-produksinya yang menghipnotis massa.
Trend fashion berhijab bagi wanita dan berbusana kaafah untuk pria, wisata umroh yang menjamur, yang setiap harinya di iklankan lewat tv, media masa dan medsos adalah bukti jika perayaan agama yang seharusnya bersifat luhur kini mampu di santap dan dinikmati oleh pasar secara profan. Lewat fenomena seperti di atas islam terkesan sesuatu prodak yang baru.
Jika diibaratkan sebagai hasil produksi industrialisasi, Islam beserta asesorisnya — oleh para sales industri terus dipasarkan dan diiklankan agar massa terhipnotis. Bukankah islam sudah mengakar lama di negeri ini sejak abad ke 13 masehi? Kemana peran para pendakwah yang mengemban tugas syiar, mengapa islam tidak poluper.
Paradoksnya saat ini justru Islam dengan segala asesorisnya di populerkan oleh kaum penghibur layar kaca atau sering kita sebut dengan istilah entertaiment. Mengapa harus para selebritis yang menjadi pionering pengenal islam bagi kaum millenial saat ini ? ada apa dengan mereka ?
Islam Vis a Vis Budaya Populer
Telah banyak kajian mengenai islam dan budaya atau kebudayaan. Budaya sendiri memiliki arti sebagai hasil cipta, rasa, karsa manusia. Pada prinsipnya, islam selalu mampu beradaptasi dengan budaya setempat di mana ia berkembang.
Sejak jaman kelahirannya, nabi Muhammad mengajarkan bagaimana Islam mampu meresap kepada budaya-budaya pra islam yang di rasa baik. Contoh paling nyata adalah praktek berhaji. Ritual ini tidak seratus persen utuh praktiknya diremark oleh nabi secara pribadi.
Beliau hanya melakukan modifikasi-modifikasi kecil untuk menghilangkan nilai jahili yang sebelumnya merubah bentuk asli prakteknya sejak jaman nabi Ibrahim. Dengan kata lain Islam sangat terbuka terhadap budaya yang tidak menimbulkan perusakan akidah, bahaya atau dhoror.
Setelah sekian abad berlangsung, di sebuah peradaban yang telah lama mati suri melahirkan sebuah revolusi baru bagi peradaban manusia. Mereka (bangsa Eropa) melakukan lompatan selanjutnya dari revolusi agrikultur menuju revolusi industri ( Harari, 2017)
Ketika Eropa melahirkan revolusi industri, saat itu pula dunia harus bersiap dengan segala resiko sosial yang dilahirkan. Harari mencatat itu dalam karyanya yang berjudul sapiens, Revolusi Industri membuka jalan bagi satu garis panjang eksperimen-eksperimen dalam rekayasa sosial dan bahkan rangkaian yang lebih panjang perubahan-perubahan tak terencana dalam kehidupan sehari-hari dan mentalitas manusia. Satu di antara banyaknya contoh adalah penggantian ritme pertanian tradisional. Dengan seragam dan jadwal tepat industri (Harari, 2017).
Ini artinya industri efek mampu mengatur sosial para pelakunya bahkan merekayasa. Saat ini ruang agama pun menjadi komoditi dari keganasan industri tadi. Mari kita simak fenomena yang lahir akibat liarnya industrialisasi menabrak ruang-ruang kemanusiaan di paragraf selanjutnya.
Mendadak ustad-ustad muda yang masih diragukan keilmunnya viral bermunculan mengisi beberapa program dakwah di televisi swasta tanah air, menjamurnya para selebritis melakukan hijrah lewat merubah fashion yang mereka anggap lebih syari, ramainya para artis berbisnis umroh atau sekedar diendorse oleh para rekannya untuk mempromosikan bisnis wisata religinya, tidak sedikit pula artis yang mendadak alih profesi menjadi ustad. Serta masih banyak lagi fenomena-fenomena genit dalam beragama yang sering kita jumpai di media.
Menyaksikan hal tersebut bukanlah kita bermaksud menafikkan qodarnya Allah dalam merubah garis jalan seseorang. Terlebih islam sebagai agama pun tidak membatasi umatnya untuk berdakwah. Meminjam argument Nurcholis Majid, agama ini free, tidak ada syarat mutlak bagi para umatnya untuk berdakwah mengirim pesan agama kesesama. Deretan fenomena ini tidak lahir dari ruang yang kosong. Ada pembentuk tunggal yang mencetaknya.
Mungkin tidak hanya saya, awalnya kita semua mengelu-elukan predikat populer. Seseorang jika mendapati predikat populer pastilah bangga karena ia memiliki penggemar dan dijadikan pusat perhatian massa.
Kata populer di ciptakan dari budaya massa, budaya massa dilahirkan dari rahim industri. Industri sendiri merupakan perangkat dari ideologi kapitalis. Theodor Adorno dalam bukunya The Culture Industri berpendapat budaya massa merupakan budaya jamak atau ambivalen yang di senangi kebanyakan orang (selera pasar). Budaya ini di berpola secara top down (Adorno, 1994).
Dengan kata lain “dikendalikan dari elit ke bawah”. Artinya selera pasar akan di tentukan oleh industri. Maka tak heran kita sering mendengar istilah trend Bagi segala pernak-pernik kebutuhan sekunder dan tersier.
Tv, media massa, medos adalah pioner terdepan yang memperkenalkan budaya popular ke rumah-rumah kita. Budaya populer adalah budaya massa atau dengan kata yang lebih sederhana budaya yang di elu-elukan oleh banyak orang karena pencitraannya yang terus di buat dan di mark up oleh sekelompok elit demi kebutuhan industrialisasi.
Budaya populer atau budaya massa sangat berlawanan dengan budaya luhur/tinggi. Budaya luhur atau tinggi adalah budaya yang memiliki standar kulitas, estetik, selera yang tinggi pula. Budaya ini lahir dari kreaativitas dan daya inovasi yang tinggi sehingga selalu menghasilkan yang baru (newnees).
Saat ini pelaku agama pun tak luput dari genitnya budaya populer. Praktik keberagamaan pun tak bisa dipisahkan dari binalnya perangkap kapitalis. Seperti yang di ungkap di atas. Budaya populer merupakan bentukan dari industrialisasi kapitalisme dan konsumerisme. Biasanya disebut juga dengan istilah budaya massa (mass culture).
Yakni budaya yang di produksi untuk massa yang luas mengikuti selera pasar dan orang banyak. Hal ini tentu berbenturan dengan budaya nonpopuler. Budaya populer membentuk pengikutnya untuk berfikir populer juga. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi menjelaskan bahwa imajinasi popular semacam ini dibangun setidaknya ada empat ranah.
Pertama, cara berpikir popular, yaitu cara berpikir jalan pintas yang penting mendapatkan kesenangan, kalau perlu tanpa berpikir. Itulah cara berpikir yang mengutamakan penampilan ketimbang kualitas, popularitas ketimbang spiritualitas.
Hal ini bisa kita lihat misalnya, banyaknya buku atau forum seminar how to yang menawarkan cara cepat menjadi milyarder, cepat menjadi pintar, dan bahkan instan mempelajari Islam. Masyarakat Islam yang terperangkap cara berpikir popular ini akan menjadi masyarakat yang malas berpikir, cari enak dan jalan pintas.
Kedua, komunikasi popular. Komunikasi popular ini dicirikan dakwah yang dihiasi oleh imajinasi dan fantasi-fantasi yang biasa hidup di dalam budaya popular, berupa bahasa, tindakan, dan penampilan populer. Misalnya dakwah Islam yang mengandung unsur komedi, lawakan, banyolan yang kerap muncul di TV.
Tidak hanya itu, para dai, ustadz, kiai pun berperan sebagai bintang iklan atau superstar di hadapan massa penggemar. Massa pada akhirnya secara pasif meniru kebiasaan, penampilan, dan gaya dai superstar mereka (busana, peci, model rambut) bahkan sampai memburu tanda tangannya. Dai bagaikan seorang selebritis yang diidolakan.
Ketiga, ritual popular. Ritual ini biasanya dilakukan dengan mengikuti paradigma budaya poluler bermotif komoditas. Ritual-ritual itu ditata sedemikian rupa sesuai dengan prinsip perbedaan sosial dan pencapaian prestise, kelas dan status.
Misalnya umrah bareng artis idola, ritual ini diasosiasikan berdasarkan kelas sosial, demikian halnya dengan zikir akbar yang diselenggarakan oleh Pemerintah daerah atau kota dengan tema-tema khusus, berbuka puasa bersama yang diorganisasikan berdasarkan kelas-kelas sosial di dalam masyarakat.
Seperti paket-paket berbuka yang diadakan di hotel-hotel berbintang dengan menghadirkan selebritas dalam acara tersebut. Ada pergeseran nilai kesucian ibadah dengan hadirnya selebrasi ritual. Akhirnya, bukan kedalaman spiritual yang didapat, justru selebrasi keagamaan yang dekat dengan logika komoditi.
Keempat, simbol populer. Simbol atau penampilan populer ini mengarahkan pada penampilan yang mencakup nilai dari pakaian atau aksesoris yang menekankan efek kesenangan, simbol, status, tema, prestise, daya pesona dan berbagai selera populer lainnya. misalnya menjadi pengikut atau peniru dari model penampilan para elite agama (ustaz, kiai, dai), di mana model-model baju yang dikenakan oleh pak ustadz menjadi trend setter dan menciptakan gaya hidup baru.
Memasuki era kontemporer saat ini, agama merupakan bagian tak terpisahkan dalam dunia media dan budaya massa atau populer. Pernak pernik bagi ritual keagamaan saat ini di produksi oleh industri secara massal. Artis dan selebritis adalah pioner dari kepentingan industri kapitalis. Sontak fenomena yang mereka hadirkan menjadi warna baru beragama bagi kaum milenial saat ini.
Konsekwensinya adalah realitas beragama menuju kearah hiperrealitas. Masih menurut Yasraf Amir Piliang, hiper-realitas adalah realitas artifisial yang nilainya tidak lagi mencerminkan realitas asasi dan hakiki. Hiper-realitas menciptakan kondisi semu atau kita sebut juga dengan citra.
Menurut KBBI citra sendiri bermakna gambaran/bayangan yang lahir dari sebuah eksistensi. Maka citra adalah sesuatu yang palsu dan bersifat permukaan bukan yang inti apalagi substansi. Lewat semarak hiperrealitas tadi, agama dan pelakunya dalam bingkai praktik keberagamaan kini ditempatkan dalam mekanisme logika pasar dan gaya hidup yang di kontrol penuh oleh industrialisasi kapitalis.
Celakanya, ada saja sebagian kelompok masyarakat yang memanfaatkan fenomena ini untuk dijadikan kekuatan massa baru. Dengan lahirnya komunitas baru dengan style berislam yang lebih nge-pop ini sangat beresiko untuk mudah di akomodasikan demi kepentingan-kepentingan sesaat oleh sebagian pihak tidak terkecuali kepentingan politik.
Tamsilan terbaru bisa kita lihat lahirnya fenomena bani serbet dan kaum cebong yang dari salah satu dua golongan yang berseteru tadi di penuhi komunitas Islam nge-pop tadi. Awalanya komunitas ini terbentuk karena motif ekonomi dan industrialisasi, namun saat ini mereka pun diseret ke ruang politik Oleh beberapa oknum. Bukankah keadaan ini mengancam hilangnya definisi islam dan berislam bagi generasi muda islam kelak ? Dengan keadaan seperti ini maka, adakah alasan kita memeluk Islam untuk tidak belajar dan mempelajarinya?
Wallahu alam bi sshowab
Referensi
Munawir, A.Warson,Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
Harari, Youval Noah Sapiens Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga Perkiraan Kepunahannya Jakarta ,Pustaka Alfabet, 2017.
Adorno, Theodor J.M. Bernstein, The Culture Industri terjemahan di buku Teori Budaya kontemporer Yasraf Amir Piliang, Jejen Jaelani, Condongcatur Jogjakarta, Januari 2018,
Dosen IAIN Tulungagung.