Saya harus mengakui jika bersama Gus Baha membuat hati ini teduh. Ini perjalanan kedua di ndalem beliau. Ikut di tengah-tengah pengajiannya.
Siapa yang sekarang tidak mengenalnya. Nama KH. Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) menjadi nama yang cukup “dicari” di ranah digital akhir-akhir ini. Sebagai ulama kharismatik, beliau menawarkan konsep tidak kaku dan tidak kagetan dalam beragama.
Kehadiran Gus Baha — melalui konten-konten YouTube — serupa beledek bagi Agamawan kiwari yang cethek dan kagetan dalam memahami agama. Gus Baha, menjadi oase di tengah fenomena simbolisasi beragama yang kian membabi-buta.
Sebagai ulama muda dengan kapasitas ilmu mumpuni sekaligus memiliki kedalaman ilmu tafsir, sesungguhnya mudah bagi Gus Baha untuk menjadi populer. Tapi, Gus Baha justru sangat menjauhi sorotan popularitas.
Di situlah keistimewaan Gus Baha, di saat banyak tokoh dengan keilmuan agama standard kian memompa popularitas, Gus Baha yang punya ilmu di atas rata-rata justru menarik diri dari sorot panggung. Beliau sederhana. Dan tidak neko-neko.
Meski namanya kian sering muncul di berbagai quote-quote bergambar, kesederhanaan dan kezuhudan Gus Baha seolah tak pernah bergeser. Beliau tak mencari panggung dan tetap Istiqomah mengasuh pondok pesantren di Narukan, Kragan, Kabupaten Rembang.
Dalam rutinan ngaji Tafsir Jalalain yang dilaksanakan dua Rabu sekali di pondok pesantren yang beliau asuh, Gus Baha tak hanya membahas apa yang ada di dalam kitab. Namun, sering memberi pesan-pesan penting pada para santri yang hadir.
“Iki penting, ileng-ileng ya, Iki penting,” kata beliau mengawali sebuah pesan pada para santri yang datang tak hanya dari Rembang, tapi juga Tuban dan Bojonegoro pada (17/7) lalu.
“Jangan menolak seseorang yang ingin mencari hidayah,” tegas Gus Baha.
Di era kapitalisasi pendidikan, banyak pondok atau sekolahan yang menolak santri hanya karena label buruk yang pernah disandang siswa, demi menjaga nama baik sekolah. Menurut Gus Baha, itu fenomena yang sangat dilematis bagi pengelola sekolah.
Sebab, jika ditolak tidak baik. Tapi, jika diterima, takut nulari virus buruk ke murid lainnya. Meski begitu, Gus Baha menganjurkan agar tak menolaknya secara sia-sia. Kalaupun ditolak, harus ada solusi.
Misalnya, dicarikan pondok yang sesuai. Intinya, jangan sampai menolak begitu saja. Karena menolak secara sia-sia tanpa mencarikan solusi, serupa menolak seorang yang ingin mencari hidayah. Sehingga, kalau bisa, harus tetap memberikan solusi. Setidaknya, mencarikan tempat yang sesuai.
Selain itu, Gus Baha juga bercerita bahwa tidak selamanya keburukan itu buruk. Ada hal-hal di balik keburukan yang kadang mata manusia tak memahaminya secara jelas.
Secara umum, Gus Baha berpesan bahwa segala yang saat ini tampak buruk, bukan berarti akan buruk selamanya. Ada potensi perubahan pada tiap manusia. Mereka yang saat ini tampak buruk, bisa jadi, hanya proses menuju sesuatu yang baik.
“Banyak kisah tentang wali (dalam kitab Tobaqot Auliya) yang awalnya terkesan buruk, tapi sesungguhnya tidak.” Kata beliau.
Gus Baha bahkan menceritakan tentang khasanah wali. Dulu, kata Gus Baha, ada seseorang yang diangkat menjadi wali hanya karena suka membeli arak. Seseorang yang menghabiskan banyak uang untuk membeli arak. Dia membeli arak. Terus membeli arak.
Hingga dia yang semula kaya raya, uangnya habis dan usahanya bangkrut karena terus-menerus digunakan untuk membeli arak. Namun, lantaran kelakuannya itu, si Fulan justru diangkat sebagai wali.
Orang-orang mengira jika si Fulan pembeli arak ini adalah orang yang buruk dan ahli neraka. Sebab, suka membeli arak. Tapi, saat meninggal dunia, yang menyalati justru para wali. Orang-orang kekasih Allah. Orang-orang yang sangat dekat dengan Allah.
Tak ada yang tahu jika Fulan pembeli arak ini membeli arak untuk sebuah misi keselamatan. Dia punya niat yang tak terbaca oleh orang lain. Arak yang dia beli tidak dikonsumsi. Si Fulan justru membeli arak untuk mengamankan desanya.
Si Fulan tidak mengizinkan ada arak beredar di desanya. Karena itu, dia selalu membeli arak yang tampak di desa. Orang-orang melihatnya sebagai penadah arak. Padahal, setelah dibeli, arak itu dibuang begitu saja. Karena lelakon itu, si Fulan diangkat sebagai wali.
Gus Baha juga bercerita tentang sosok wali, Abdul Wahab Asy-Sya’roni. Suatu hari, Imam Sya’roni bertemu seorang ahli fiqh yang menggunakan celana pendek. Beliau dengan santai sedang berbincang dan bermain bola bersama masyarakat.
Saat pulang, di dalam hati, Imam Sya’roni membatin: “Ahli fiqh dan ulama kok pakai celana pendek”, begitu batinnya.
Di perjalanan, sebelum sampai rumah, ahli fiqh tersebut mendatangi Imam Sya’roni. Si ahli fiqh berada di awang-awang (kakinya tidak menempel tanah) sambil berkata:
“He, cangkemu sing apik.” Ucap si ahli fiqh, “wong-wong iku gelem kumpule ya wayah dolanan, awakmu gelem ndakwahi to piye?”.
Imam Sya’roni pun langsung paham.
Gus Baha berpesan agar kita tidak kagetan. Sekaligus tidak mudah menghukumi. Terutama dalam melihat fenomena sosial di masyarakat. Sebab, perkara yang tampaknya buruk, bisa jadi sekadar wasilah menuju kebaikan. (*)