Belum dipastikan kebenarannya tentang lulusan UI yang nolak gaji Rp 8 juta. Namun, semua orang sudah berisik. Tentang kabar ini, saya jadi ingat di sebuah pelatihan, ada seorang mahasiswa bertanya.
Dia bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh kaum intelektual saat ini. Saya tak terburu-buru menjawab. Justru saya berbalik bertanya tentang aktivitasnya saat sebelum menjadi mahasiswa.
Dia mengaku dirinya anak petani. Namun, setelah menginjakkan kaki di kampus. Ke sawah sudah mulai jarang. Meski sekedar hanya untuk mengantar makan bagi para perawat sawah.
Lantas saya mencoba menjawab tentang seharusnya peran seorang intelektual atau sarjana saat ini adalah tidak menjauhkan dirinya dari habitat sebelumnya.
Jujur saja, ada pekerjaan-pekerjaan mudah di rumah. Namun, setelah kita menjadi mahasiswa enggan untuk melakukan. Apalagi setelah lulus. Menyandang gelar sarjana yang otaknya dipehuni teori itu kadang menuntaskan pekerjaan sepele tidak beres.
Kasus menarik lagi. Ini bagi mereka yang memilih jurusan keislaman di kampus Islam. Mereka yang konon mahasiswa pemikir Islam saat menjadi mahasiswa lantas menjadi sarjana jiwa merawat musala perlahan hilang.
Ada cerita kawan saya yang kehilangan giroh rumat-rumat musala. Dulu, saat masih unyu-unyu nyaris setiap hari musala menjadi tempat dia berteduh. Bahkan, azan menjadi ritual wajib saat magrib. Setelah salat jamaah, mengajar ngaji anak-anak kecil menjadi kebahagian tersendiri. Dilanjut salat isya’. Kemudian pulang dari musala.
Kebiasaan ini tiba-tiba luntur saat sudah berada di kampus. Sebab, di kampus bukan digodok menjadi manusia untuk manusia. Melainkan manusia untuk perusahaan.
Ini persoalan penting di kurikulum kampus. Sebab, manusia yang telah mengenyam pendidikan di kampus justru saat kembali ke rumah jauh dengan rihuk pikuk musala.
Bukan saja kampus. Organisasi pergerakan sekalipun telah menggeser mental musalaisme. Mereka cenderung ‘isin’ saat lulus sarjana hanya menjadi imam musala atau jamaah di musala. Padahal, dulu dia adalah aktivis musala.
Ini memang ironis. Tapi, fakta ini sudah ada di mana-mana.
Menjadi sarjana memang berat. Apalagi dianggap tak memiliki pekerjaan. Tapi, sejatinya itu bukan persoalan. Sebab, sebagai sarjana bukan harus bekerja. Melainkan menjadi orang yang bermanfaat jauh lebih penting ketimbang bekerja pada industri perusak lingkungan. Silakan saja diprotes tidak masalah.
Bagi saya, lebih terhormat seorang sarjana yang membuat rumah baca di rumah lantas ngopeni musala. Ketimbang menjadi buruh kapitalisme. Maaf kalau saya terlalu menggebu-gebu.
Mari sekarang berpindah ke sarjana NU. Ini menjadi persoalan lain. Saya belum pernah survei seorang sarjana NU yang berani kembali ke kampung halamannya. Namun, bisa saja di cek di sekeliling anda. Ada tidak sarjana NU yang pulang ke rumah lantas berbuat untuk kampungnya.
Apalagi, ngramut musala. Jelas ini minim sekali. Sekali lagi, saya belum pernah melakukan survei. Rerata, semua sedang heboh dengan dunia politik dan hiruk pikuk bisnisnya. Tidak dibisa disalahkan. Menjadi sarjana memang tolak ukurnya adalah kerja di perusahaan apa?.
Hadirnya organisasi Ikatan Sarjana NU perlu menjawab tantangan ini. Bukan berarti sarjana harus berpikir sundul langit tapi tidak pernah menginjak bumi. Seharusnya, mereka membumi untuk bisa membawa bersama-sama ke langit.
Jika konsep berpikir seorang intelektual justru menjauhkan dari masyarakat sekitarnya. Lebih baik tidak usah menjadi intelektual itu sendiri.
Saya berpikir, sarjana NU bukan untuk menjadi pengamin setiap kebijakan penguasa. Atau sebagai pengembek pada perusahaan raksasa. Melainkan, jadilah sarjana NU yang tetap bisa berdampingan dengan Mbok Rah, Mak Kami, Lek Dekon, dan Pakde Rudi yang ada di desa-desa.
Sejatinya, ini bukan harapan yang muluk-muluk. Jika dilihat dari sejarah NU berdiri dengan semangat para petani. Di tengah-tengah kaum tani. Dengan nafas para petani. Dan, ekonomi para petani.
Apakah sarjana NU mampu hidup berdampingan dengan mereka? Semua tinggal dilihat saja. Sekali lagi hidup berdampingan. Bukan bermaksud mengekaploitir mereka.
Saya pernah mendapat cerita dari seorang kawan yang terlibat langsung dalam kongres pertama ISNU di Lamongan. Sejak awal para ilmuan NU ingin mensterilkan ISNU dari para aktivis politik. Namun, tampaknya gagal. Munculnya AMM sebagai ketua bukti jika intelektual masih saja kalah licin oleh para politisi.
Terlebih saat ini ketua ISNU Jatim cukup dekat dengan gubernur terpilih. Semoga ISNU bukan menjadi gerbong pengawalan saja. Melainkan, tetap menjadi mitra kritis agar kelak organisasi ini tetap mendapatkan ruang untuk menungkan gagasan. Bukan hanya mendapat intruksi saja.
Sekali lagi, berISNU bukan hanya iseng-iseng NU. Namun, seorang ilmuan punya tanggung jawab terhadap ilmu dan masyarakat di sekitarnya.
Jadi, berISNUlah dengan seperti para kiai merawat jamaahnya di musala. Dan, berjiwa petarung seperti Bung Mahbub pada masanya. Dan, bersikap pluralis seperti Gus Dur untuk merawat bangsanya. (*)
Redaktur suluk.id