Dalam suatu kesempatan, Kanjeng Nabi Muhammad pernah memohon empat perkara kepada Allah untuk kebaikan umatnya. Dua permintaan dikabulkan, sedangkan dua yang lain ditolak oleh Allah.
Pertama, Nabi memohon agar tidak membinasakan umatnya dengan musim susah (paceklik) yang berkepanjangan dan menghindarkan umatnya dari musibah besar yang membinasakan, sebagaimana umat terdahulu. Kedua permohonan ini dikabulkan oleh Allah SWT.
Ke dua, Nabi memohon kepada Allah SWT agar umatnya terbebas dari perpecahan dan terhindarkan dari saling bermusuhan (peperangan, percekcokan antara sesama umat Islam). Akan tetapi, kedua permohonan yang ini tidak dikabulkan (telah ditolak) oleh Allah.
Sejatinya, ikhtilaf adalah rahmat. Dengan syarat jika terjadi di antara ulama’. Berbagai perbedaan sudut pandang akan saling memperkaya dan menciptakan harmoni. Basis keilmuan yang kokoh ditunjang akhlak yang luhur di kalangan ulama membuat mereka semua saling menghormati dan menghargai, alih-alih saling menghujat.
Berbeda jika yang ikhtilaf adalah orang awam, sudah bodoh tapi sok tahu. Guru biologi bicara tafsir, guru ngaji ngomong nuklir. Gak pernah mondok, tapi bicara agama sampai mulutnya nglonthok.
Akibatnya, ulama dibilang sesat, padahal penuduhnya nggak tahu syarat rukun shalat. Karena ilmunya hanya sebutir, pakar tafsir dituduh kafir. Lalu bakul pithik ngomong strategi geopolitik, tukang cukur dan sayur debat pembangunan infrastruktur. Karena logikanya kacau, akhirnya beda sedikit saja menghujat. Ujung-ujungnya kebenaran ditentukan oleh seleranya sendiri.
Padahal ikhtilaf (perbedaan) dan firaq (perpecahan) adalah sebuah keniscayaan (sunatullah), bahkan bibitnya telah tumbuh sejak zaman Nabi. Bagaimana sahabat Dzul Quwaisyirah menuduh Nabi tidak adil dalam membagi harta ghanimah perang Hunain, yang berujung pada murkanya Nabi dan menyebutnya sebagai orang yang imannya mudah lepas sebagaimana anak panah lepas dari busurnya.
Ikhtilaf juga terjadi ketika Sahabat Abu Bakar menunjuk Usamah bin Zaid sebagai panglima perang karena dianggap masih muda dan belum berpengalaman. Padahal Usamah adalah lelaki pilihan Nabi, meskipun pada saat itu Nabi sudah wafat.
Setelah Nabi wafat, umat dilanda perpecahan. Ada yang murtad total karena logikanya menolak bahwa Nabi kok meninggal, sehingga wafatnya Nabi membuatnya terbebas dari kewajiban taat. Tetapi ada juga yang masih beriman, walaupun tidak mau membayar zakat.
Puncak perpecahan yang menjadi noda hitam sejarah adalah terbunuhnya Cucu Nabi Hasan dan Husein di medan Karbala, hingga berlanjut pada pertikaian dan intrik-intrik kekuasaan di zaman kekhalifahan setelah periode Khulafaur Rasyidin.
Sesuai informasi dan prediksi yang disampaikan Kanjeng Nabi bahwa umat Islam akan pecah menjadi 73 golongan, paling banyak dibanding umat yahudi dan nasrani. Menurut mayoritas hadits, dari 37 golongan itu hanya ada satu yang selamat (firqah an najiyah) yaitu kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah.
Masalahnya semua kelompok mengaku Ahlussunnah wal Jama’ah. Jika demikian, mana yang harus diikuti? Untungnya Nabi masih memberikan petunjuk, yaitu ikutilah golongan mayoritas (As-sawadul a’dzam).
Di Indonesia, yang termasuk mayoritas adalah NU, disusul Muhammadiyah. Secara jam’iyyah (organisasi) NU memang hanya ada di Indonesia. Akan tetapi tradisi dan amaliyah NU nyatanya ditemukan di berbagai belahan dunia.
Menurut catatan peneliti Perancis Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, tradisi ziarah kubur, dzikir berjama’ah, maulid, dan sejenisnya juga banyak ditemukan di beberapa negara di Asia dan Afrika, bahkan sebagian kecil Eropa.
Jamak diketahui bahwa malaikat Isrofil akan membatalkan meniup terompetnya alias kiamat tidak akan terjadi selama di dunia masih ada orang yang berdzikir, menyebut nama Allah, meskipun hanya seorang.
Nah, NU adalah gudangnya majelis dzikir. Jika majelis dzikir, maulid dan sejenisnya dituduh bid’ah dan disestkan sehingga harus diberangus, berarti penuduhnya ingin mempercepat terjadinya kiamat. Wallahu a’lam.
Disarikan dari ngaji mingguan KISWAH pengurus MWC NU dan Banom Kecamatan Widang.
Pembicara: Dr. KH. Ahsan Ghozali, MA (Pengasuh Ponpes Langitan Widang)
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban