“Wes gak usah sedih nduk, ayah ning kene wes ketemu konco-koncone ayah. Ayah wes kumpul karo Mbah Yai Faqih (Pengasuh ponpes Langitan) karo Mbah Yai Maimun (pengasuh ponpes Pethak Padangan),”
Begitulah pesan salah satu mimpi yang pernah terjadi dengan kakak perempuanku. Tak dapat dipungkiri dia memang yang terlihat paling rapuh di antara kita semua. Dia yang sampai pingsan ketika mengetahui ayah telah tiada. Ayahku, beliau adalah K.M. Yahya Maskur.
Bukan berarti selain dia, kita nggak sesedih dan seterpukul itu. Sama, kita semua sedih luar biasa mengetahui ayah telah meninggalkan kita untuk selamanya. Tapi mungkin karena dia anak tertua, dan yang mengetahui dan merasakan bagaimana perjuangan ayah benar-benar dulu yang dari nol sekali.
Mengontrak dari satu rumah ke rumah yang lain. Memulai perjuangan Ayah yang baru pertama mengisi pengajian-pengajian dari satu desa ke desa lain. Tak jarang menyeberangi sungai deras malam-malam dan itu semua dilalui dengan berjalan kaki.
Dialah yang terlihat paling sedih dan terpukul dari kita semua. Ia masih sering menangis sampai jatuh sakit selama berhari-hari. Dan mungkin jiwa orang tua yang merasakan kesedihan anaknya, maka didatangilah kakakku lewat mimpi dan berpesan seperti tadi.
Tidak hanya itu, kakakku juga pernah bermimipi kalau ayah dihadiahi permadani warna hijau yang begitu indah oleh Mbah Yai Maimun Zubair, Pengasuh Ponpes Al-Anwar Sarang, yang sebelumnya, beliau pernah menanyakan kabar ayah lewat seorang tetangga yang kebetulan sowan kepada beliau. Sekitar tahun 2017 sebelum mbah Yai sedo.
“Piye kabare Yahya?” tanya mbah Mun, panggilan akrab Mbah Maimun Zubair. Seolah beliau sudah mengerti, karena beliau memang terkenal Kiai yang Marifat.
“Nembe mawon kapundhut Mbah, antawis kaleh mingguan,” jawab tetanggaku.
“Kok aku didisii to?”
Ayah adalah salah satu santri Mbah Moen. Ayah masih sering sowan ke beliau dulu ketika masih gesang. Tidak hanya Mbah Mun, Ayah sering tindak sowan ke banyak-banyak Kiai. Ngalap barokah, katanya.
Sama halnya ke Mbah Mun, Ayah juga sering silaturahim ke Mbah Yai Faqih dan Mbah Yai Mun petak yang ada di mimpi tadi. Apalagi ketika Ayah menjadi Ketua pengurus Haul di Mbah Buyut Abdul Djabbar, salah satu wali di desa tempat tinggalku. Ayah selalu mengundang dan ngaturi langsung ke ndalem keduanya untuh rawuh.
Pernah juga ketika ayah diminta untuk mengisi ngaji di koperasi salah satu binaannya, Ayah ijin tidak bisa dan meminta Pak Lek untuk menggantikannya. Karena waktunya bertepatan dengan menjemputku di pesantren. “Aku pengen kenal sama Kiai Hamid, Pengasuh Pesantren Bandar Kidul Kediri,” ujarnya kala itu.
Di lain waktu, ketika kondisi beliau kurang fit. Disempatkannya datang ke acara pernikahan cucunya Kiai Faqih
“Aku seneng kumpul-kumpul karo Kiai, mumpung iseh iso,” tuturnya.
Ketika ada undangan dari bupati kita yang juga kiai, waktu itu ayah kondisinya masih lemah karena habis gerah lagi-lagi beralasan.
“Pak Bupati nanyain Ayah kalau nggak ada. Biasanya Ayah yang diminta bagian doa kalau ada kumpulan-kumpulan kiai seperti ini. Karena Ayah paling tua. Undangan kemarin Ayah sudah nggak datang, masak sekarang nggak datang lagi,” dawuh Ayah saat itu. Jadilah kami semua mengalah mendengar penjelasan ayah.
Begitulah ayah. Cintanya kepada ulama. Takdhimnya kepada mereka. Bahkan ketika mbak dilamar oleh seorang lelaki dulu, ayah juga minta pendapat Kyai.
“Mboten diistikhorohi riyen pak? tanya Mbah Faqih.
“Istikhoroh kulo niku njenengan Mbah Yai jawab Ayah.
Aku kalau disuruh jalan sampai ngesot-ngesot pasti aku lakukan kalau memang yang nyuruh itu Kiai,” kata beliau kala itu. Petuah yang selalu tak pernah terlupa untuk anak-anaknya
“Nak, nurut saja ya sama kiai, apapun itu. Urusan apapun tanya dulu sama mereka, minta pendapat meraka bagaimana bagusnya,” ujarnya. Pesan itu pun masih terus kami ingat bahkan ketika beliau sudah tidak ada.
Masyaallah Ayah, betapa luar biasanya engkau dalam mencintai ulama, kekasih Allah, warotsatul anbiya. Dan semoga saja di sana engkau benar-benar dikumpulkan bersama beliau-beliau semua. Teringat hadits nabi Muhammad SAW “Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.”
Engkau sangat mencintai para ulama dan insyaallah sekarang pun engkau dikumpulkan bersama mereka di surganya.
Selamat jalan Ayah semoga engkau bahagia di sana. Semoga anak cucumu bisa seperti engkau dalam memuliakan dan mencintai para kiai dan ulama. Amin.
Seseorang itu mengikuti agama teman dekatnya. Karenanya, hendaklah salah seorang diantara kalian mencermati kepada siapa ia berteman (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Fithriyatul Khoiriyah atau Vety suka menulis sejak bisa baca tulis. Karyanya telah banyak dimuat di beberapa buku antologi cerpen. Cewek yang telah “dibuang” orang tuanya di ponpes sejak menginjak SMA ini sekarang disibukkan mengajar anak-anak. Liat bang! Anak orang aja disayang dan dididik apalagi anak sendiri? #Eh