Sejak Gus Baha muncul ke permukaan, Agamawan-flamboyan-kenes mulai mundur alon-alon. Lha gimana tidak, sosok Gus Baha dengan ilmu mumpuni saja berpenampilan sederhana, masak ilmu pas-pasan wani nggaya.
Wibawa dan pengaruh tentu perkara yang diidam-idamkan banyak orang. Apalagi, berorientasi sukses dunia akhirat. Semacam sukses yang tak menemui kata gagal. Tentu, hanya manusia kurang pengetahuan yang tak mau mendapatkannya.
Tapi, disadari atau tidak, saat ini pengaruh dan slogan sukses dunia akhirat telah menjadi langkah oportunis bagi oknum Agamawan untuk menjual bermacam barang dagangan. Mulai dari benda-benda hingga cara dan teknik.
Kini, banyak sekali Agamawan menggunakan kata kunci sukses dunia akhirat hanya demi meludeskan penjualan tiket workshop dan pelatihan-pelatihan bisnis, atau sekadar demi melariskan produk dagangan mereka.
Orientasi itu tak hanya berhenti sebagai tujuan hidup. Tapi, mawujud dalam fashion dan pakaian sehari-hari. Sehingga banyak Agamawan-pesolek-dandy yang amat memperhitungkan ke-borjuisan demi menjaga wibawa dan pengaruh feodalistik di depan masyarakat.
Ilustrasi sederhananya seperti ini: bukan lagi pesan yang disampaikan, tapi gaya berpakaian yang ia tampilkan. Sebab, dari gaya berpakaian itu tercermin orientasi yang teramat sakral: berwibawa, punya pengaruh, dan sukses dunia akhirat. Hmm
Agamawan terdorong untuk tampil sebagai sosok yang flamboyan (serba megah). Keserbamegahan yang tampak bahkan sejak dalam berbicara hingga berperilaku sehari-hari. Kondisi itu, tentu memicu dampak berupa mblesetnya orientasi dalam hal menuntut ilmu.
Banyak orang yang ingin pintar agama hanya agar menjadi Agamawan yang bisnisnya sukses, kaya raya, punya banyak istri, dihormati, punya pengaruh, dipuja-puja masyarakat dan hmm.
Segalanya dikapitalisasi. Kecerdasan dikapitalisasi. Kewibawaan dikapitalisasi. Kesalehan dikapitalisasi. Pengaruh dikapitalisasi. Apapun harus dikapitalisasi dengan nilai duniawi. Sehingga memproduksi manusia yang oportunis, bahkan terhadap ilmu dan cita-cita luhur ukhrowi.
Pertengahan 2016 di sebuah kontrakan kecil di Blora, kawan dekat saya, Amrullah Ali Moebin, pernah ngajak saya rasan-rasan perihal keanehan yang sempat kami berdua gelisahkan. Yakni, munculnya orientasi aneh yang sedang marak terjadi.
Orientasi aneh itu adalah keinginan membabi-buta orang-orang kiwari untuk menjadi super kaya-raya di dunia dan selamat di akhirat. Kami berdua menganggap fenomena itu sebagai sikap tomak dan kemaruk berbungkus kemuliaan ilahiah.
“Kok kemaruk tenan, kabeh-kabeh kenikmatan dipek,” kata Amrullah, kami pun tertawa sambil mendekap rasa miris tak beraturan.
Sikap kemaruk berbungkus kemuliaan, bagi Aam dan saya kala itu, tentu berdampak pada kecemasan akan proses pendangkalan cita-cita. Banyak orang ingin pintar ilmu agama, hanya agar berwibawa dan kaya raya dan punya pengaruh di dunia.
Sejak perbincangan bersama Aam, diam-diam saya sering merenungi makna doa Sapu Jagat. Entah sejak kapan, kalimat “kebaikan dunia dan akhirat” yang tertera dalam doa Sapu Jagat, bisa berubah wujud menjadi “kesuksesan dunia akhirat”, yang kini jadi slogan banyak oknum dalam berbisnis.
Padahal, kesuksesan dan kebaikan tentu punya makna berbeda. Sukses dan baik tentu punya makna yang tidak sama. Bukankah tidak semua kesuksesan itu baik? Dan bukankah tidak semua kebaikan itu berbuah sukses langsung di dunia?
Semua orang ingin kaya. Selama masih manusia dan masih bernyawa, menurut saya, keinginan itu wajar. Tapi, saat Tuhan menakdir tidak kaya, misalnya, apakah mereka akan mendemo Tuhan dengan momentum angka cantik? Tentu saja itu tidak benar.
Bagaimana nasib orang yang ditakdir miskin jika semua orang dimotivasi untuk menjadi kaya raya seperti yang ditampilkan — secara ucapan maupun penampilan— oleh oknum Agamawan kiwari tersebut? Bukankah kecenderungan itu memicu berkurangnya iman pada Qodho dan Qodhar?
Di tengah kondisi seperti itulah, Syaikhina KH. Bahaudin Nursalim atau Gus Baha hadir sebagai penentram hati orang awam seperti saya dan Aam, sekaligus memicu kembalinya sikap berani tampil sederhana. Secara tersirat, Gus Baha berpesan: sederhana dan bersahaja itu keren dan elegan.
Saat menyaksikan Gus Baha mulai muncul di permukaan, entah karena perkara apa, hati saya terasa begitu tenteram sekali. Rasanya, saya ingin segera menemui Aam dan berteriak di dekatnya: “Am, ikilo jawaban kegelisahane awak dewe mbiyen!”.
Gus Baha yang amat sederhana, seolah membungkam hegemoni agamawan-flamboyan-kenes yang kerap mengkapitalisasi wibawa dan pengaruh sebagai senjata pendulang untung pribadi.
Gus Baha, kerapkali berpesan tentang kesederhanaan. Tentang bahagia dengan cara yang sederhana. Tentang sesuatu yang sederhana tanpa kenes-kenesan, tapi selalu membuat hati bersyukur dan tenteram.
Bahkan, beliau implementasikan sikap dan pesan itu secara langsung dalam kesehariannya. Dalam tiap penampilannya.
Siapa yang tak terharu sekaligus gemetar melihat sosok alim alamah yang saat kemana-mana masih sering naik bis tanpa pengawalan, pergi belanja bersama anaknya dengan naik motor bebek tanpa dikawal.
Sementara di saat yang sama, banyak tokoh yang ilmunya pas-pasan sudah sok-sokan nggaya pakai pengawal beserta uborampe fashion pemicu puja-puji kewibawaan, hanya demi tampil di depan masyarakat awam. Hmm
Sejak Gus Baha muncul ke permukaan, Agamawan-flamboyan-kenes mulai mundur alon-alon. Lha gimana tidak, sosok Gus Baha dengan ilmu mumpuni saja berpenampilan sederhana, masak ilmu pas-pasan wani nggaya.
Kesederhanaan Gus Baha tak hanya mengagumkan, tapi mampu membuat orang awam tidak takut dan tidak malu untuk tampil sederhana dan apa adanya tanpa keinginan membabi-buta untuk terlihat punya pengaruh, berwibawa dan dipuja-puja.