Dakwah artinya menyeru atau mengajak. Dakwah (Islam) berarti mengajak kepada seseorang untuk mengikuti ajaran Islam. Agar seseorang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada berbagai macam cara dan model dakwah yang sudah berjalan dalam sejarah penyebaran Islam sejak zaman Nabi hingga zaman now.
Di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam etnis, suku dan budaya ini, dakwah seharusnya disesuaikan dengan keadaan kultur yang ada pada masyarakat tertentu yang ada di Indonesia. Antar satu daerah dengan daerah lain mestinya berbeda, jika kulturnya berbeda. Karena kultur masyarakat Jawa beda dengan Sunda. Sunda berbeda dengan Batak. Batak berbeda dengan Bugis. Dan seterusnya.
Dalam hal ini, salah satu dakwah inkulturasi yang bisa kita jadikan contoh yaitu dakwah yang dilakukan oleh KH. Zaim Ahmad Ma’shum di Lasem Rembang. Beliau berhasil mengkompromikan ajaran Islam dengan kultur etnis Tionghoa yang notabene non muslim. Dikatakan olehnya, bahwa pada mulanya di kampungnya hanya terdapat segelintir orang Jawa muslim. Hanya sekitar empat orang. Lainnya yaitu etnis Tionghoa non muslim. Bahkan kakek buyut Gus Zaim (panggilan populer KH. Zaim Ahmad Ma’shum) yang bernama Mbah Zaid menikah dengan perempuan keturunan Tionghoa.
Maka dalam kondisi lingkungan seperti itu, yang diperlukan adalah saling menghormati dan menjaga keharmonisan hubungan dalam masyarakat. Hal itu terutama harus dilakukan oleh minoritas yang ada di sana, yaitu orang Islam. Bahkan Gus Zaim hingga memasukkan budaya Tionghoa ke dalam pesantren. Misalnya, ia membuat salah satu bangunan yang ada di pesantren yang arsitekturnya mirip dengan bangunan kelenteng, sekaligus dengan warna khasnya, merah dan kuning.
Tidak cuma itu, kegiatan muamalah juga dilakukan oleh Gus Zaim dengan cara-cara yang dinamis dan elegan. Ia melakukan kegiatan takziyah (sudah tahu tasrifnya kan?) kepada non muslim. Doa takziyah ini dilakukan dengan cara yang sangat dinamis. Contohnya, ia mendoakan kepada orang yang mati dengan mengatakan; “semoga ia ditempatkan di tempat yang layak di sisi-Nya”. (Kalau layak di surga biar masuk surga, sebaliknya kalau layak di neraka berarti ya masuk neraka. Hehe.)
Suatu ketika ada anak orang Tionghoa meninggal dunia, anak itu berusia sekitar 11 tahun. Padahal anak itu sangat cerdas dan diharapkan bisa mengharumkan nama keluarganya. Orang tuanya merasa sangat kehilangan dan sangat terpukul. Gus Zaim pun melayat ke rumah duka. Ia datang dan menyatakan kalau anak yang meninggal itu akan masuk surga. Ia membatin, kalau dalam Islam, anak yang belum baligh berarti belum terkena kewajiban syariat, alias belum berdosa dan nanti akan masuk surga.
Saking senangnya mendapat kunjungan takziyah dari Gus Zaim, selang beberapa hari setelah itu, orang tua si mayit itu datang ke rumah Gus Zaim untuk menyampaikan terima kasih atas kedatangannya tempo hari. Orang China itu tidak datang dengan tangan kosong, tapi dengan membawa beberapa kursi mebel untuk diberikan kepada Gus Zaim. Alhamdulillah, lumayan. Begitu pikir Gus Zaim. Hehe.
Itu semua dilakukan Gus Zaim untuk menjaga hubungan baik antara dirinya yang muslim dengan tetangga dan masyarakat yang non muslim. HubunganHubungan saling menghormati yang sudah terjalin dengan baik itu jangan sampai tercederai hanya gara-gara ia tidak mengunjungi tetangga yang sedang berduka, misalnya.
Dengan melakukan inkulturasi kebudayaan antara Islam dan Tionghoa, masyarakat Tionghoa daerah setempat sangat simpati dengan ajaran Islam yang dijalankan oleh Gus Zaim. Hingga akhirnya, sebagian dari mereka datang kepada Gus Zaim dan menyatakan akan mengikuti langkah Gus Zaim dengan masuk agama Islam. Mereka datang kepada Islam sama sekali tanpa paksaan dan kekerasan. Jumlah mereka yang muallaf hingga kini totalnya berjumlah 26 orang dan masih mungkin bertambah lagi.
Begitulah dahsyatnya dakwah inkulturasi yang dipraktikkan oleh sosok Gus Zaim, cucu KH. Ma’shoem Lasem itu. Tanpa banyak kata untuk memaksa dan menyuruh mereka agar mengikuti ajaran Islam, tapi mereka bisa takluk oleh Gus Zaim. Kata pepatah Arab, لسان الحال أفصح من لسان المقال. Perbuatan lebih mengena daripada ucapan.
Wallahu a’lam.
Penulis: Terompah Kiai, Pendidik dan Anggota LTN PC. NU Kab. Tuban