Oleh: Hari Prasetia (Alumnus PP Haji Ya’qub dan PP Murottilil Qur’an Lirboyo)
Beberapa waktu terakhir, ruang digital kembali ramai oleh perdebatan seputar citra santri dan pesantren. Hal ini dipicu oleh salah satu tayangan di kanal Trans 7 yang dianggap menampilkan narasi tidak adil terhadap kehidupan santri. Tayangan itu menimbulkan gelombang protes dari kalangan pesantren. Namun, di tengah dinamika tersebut, muncul suara dari seorang konten kreator yang mencoba “menertibkan” kemarahan para santri dengan logika sederhana: “Kalau tidak merasa, ya tidak perlu sakit hati. Justru kalau marah, itu tandanya yang diceritakan memang benar.”
Pernyataan itu, meski terdengar tenang dan rasional, sejatinya mengandung kekeliruan berpikir yang serius. Ia berangkat dari anggapan bahwa karena dua hal terjadi bersamaan, maka yang satu menjadi sebab dari yang lain. Dalam hal ini, sang kreator menganggap bahwa kemarahan adalah bukti kebenaran tuduhan. Padahal, dalam logika argumentatif, emosi tidak pernah menjadi indikator validitas fakta. Seseorang bisa marah karena dituduh tanpa dasar, bukan karena ia bersalah.
Analogi sederhananya begini: jika seseorang dituduh mencuri, lalu ia marah karena merasa tidak melakukannya, apakah kemarahannya menandakan bahwa tuduhan itu benar? Tentu tidak. Kemarahan dalam konteks ini adalah reaksi moral terhadap ketidakadilan. Begitu pula dengan santri—mereka bukan marah karena “ketahuan” atau merasa cocok dengan stigma yang dilabelkan, melainkan karena merasa dikhianati oleh representasi media yang seharusnya netral dan menghormati nilai-nilai pesantren.
Protes sebagai Ekspresi Moral, Bukan Pengakuan Bersalah
Dalam ilmu komunikasi publik, protes adalah bagian dari wacana yang muncul ketika sekelompok orang menolak cara mereka dipresentasikan dalam ruang sosial. Santri, dalam hal ini, sedang menegaskan hak mereka untuk didefinisikan secara adil. Pesantren bukan sekadar institusi pendidikan agama; ia adalah dunia nilai, ruang asketisme, dan laboratorium moral yang telah berkontribusi besar terhadap sejarah bangsa.
Ketika media arus utama menggambarkan kehidupan santri secara karikatural—misalnya dengan menonjolkan sisi “kampungan”, “kuno”, atau “jorok”—maka yang terjadi bukan sekadar kesalahan informasi, melainkan cultural misrepresentation. Dan dalam banyak kasus, kelompok yang salah diwakili punya hak moral untuk marah.
Argumen bahwa “orang yang tidak merasa, tidak perlu marah” mengabaikan aspek ini sepenuhnya. Ia memandang kemarahan hanya sebagai bentuk defensif personal, bukan sebagai tindakan etis kolektif. Padahal, dalam kerangka etika Islam, marah bisa menjadi manifestasi dari ghirah—yakni kecemburuan moral terhadap sesuatu yang melecehkan nilai ilahiah atau kehormatan. Para nabi pun pernah marah ketika kehormatan agama atau kebenaran diinjak-injak, bukan karena beliau “terpukul” oleh tuduhan, tetapi karena beliau memiliki sensitivitas moral yang tinggi terhadap ketidakadilan.
Dengan demikian, reaksi emosional santri tidak menegaskan kebenaran tuduhan, melainkan menandai masih hidupnya kesadaran etis di tengah masyarakat pesantren. Mereka tidak ingin menjadi korban representasi sepihak yang menjadikan pesantren sebagai bahan hiburan atau stereotip sosial.
Kritik yang Disamarkan sebagai Netralitas
Yang menarik, argumen sang konten kreator seolah menggunakan logika rasionalitas modern—mengajak untuk “tidak baper”, “tidak terlalu merasa”, dan “menerima kritik dengan santai.” Namun jika ditelaah lebih dalam, logika itu sesungguhnya merupakan bentuk pembungkaman simbolik. Dengan mengatakan “kalau marah berarti benar,” ia pelan-pelan meniadakan ruang bagi pihak yang merasa disalahpahami untuk menjelaskan perspektifnya, dimulai dengan dilarang memberikan penekanan (salah satunya menggunakan emosi) pada argumennya. Segala bentuk pembelaan otomatis dianggap pembenaran terhadap kesalahan.
Ini adalah jebakan klasik dalam debat publik: menggunakan bahasa netral untuk melanggengkan bias. Hal seperti ini dapat membungkam kelompok tertentu dengan cara membuat mereka tampak emosional, irasional, atau terlalu sensitif. Padahal, dalam konteks pesantren, kepekaan terhadap nilai dan kehormatan bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari habitus moral yang terbentuk oleh pendidikan spiritual.
Oleh karena itu, argumen “kalau tidak merasa, jangan marah” tidak bisa diterima baik secara logis maupun etis. Ia mengabaikan dimensi kemanusiaan dari rasa terluka, dan gagal memahami bahwa dalam konteks sosial, kemarahan sering kali adalah bahasa terakhir dari mereka yang suaranya diabaikan.
Menimbang Kembali Etika Publik dan Keadilan Representasi
Media dan konten kreator memiliki tanggung jawab etis yang besar terhadap bagaimana mereka membingkai realitas sosial. Setiap narasi yang mereka ciptakan tidak hanya mempengaruhi persepsi publik, tetapi juga memproduksi makna tentang siapa yang layak dihormati dan siapa yang boleh ditertawakan.
Dalam konteks ini, protes santri bukanlah bentuk anti-kritik, melainkan panggilan untuk menegakkan keadilan representasi. Ketika seseorang marah karena disalahpahami, maka yang perlu dikaji bukan kemarahannya, tetapi alasan mengapa kesalahpahaman itu terjadi dan siapa yang diuntungkan darinya.
Oleh karena itu, alih-alih meremehkan kemarahan santri, seharusnya publik—termasuk para kreator—melihatnya sebagai peluang dialog. Sebab, di balik kemarahan itu ada keinginan untuk membangun ruang publik yang lebih jujur, beradab, dan menghargai kompleksitas dunia pesantren. Reaksi marah tidak selalu berarti pengakuan bersalah, tetapi bisa jadi bentuk kesadaran moral terhadap ketidakadilan. Di titik inilah, santri bukan sedang kehilangan akal sehatnya, tetapi justru sedang mempertahankan akal budinya.
Pengurus LTN MWCNU Diwek Jombang








