Kabar itu datang secara tiba-tiba. Hati saya mak tratap. Sebuah pesan di grup whatsapp mengabarkan Kiai Maimun Zubair atau Mbah Moen meninggal dunia. Beliau berada di Mekah. Saya langsung bergerak memastikan benarkah kabar itu.
Seorang guru di Jombang yang termasuk alumni Pesantren Sarang saya tanya tentang kabar kepulangan Mbah Moen. Dia menjawab dengan tenang jika Mbah Moen masih haji di Mekkah. Saya belum puas.
Setelah memastian ke beberapa kawan akhirnya kabar itu benar. Mbah Moen telah meninggal di Mekkah. Jawaban itu membuat air mata keluar dengan sendirinya. Saya menyeka, lantas keluar dari ruangan. Setengah jam saya mengingat momentum itu. Momentum pertama kali bertemu Mbah Moen.
Saya memang bukan seorang santri sarang. Hanya, seorang guru ngaji saya alumni saya. Jadi, apapun yang keluar dari guru ngaji saya referensinya pasti Mbah Moen.
‘’Dawuhe Mba Moen iku….,’’ selalu saja demikian.
Kiai yang saya kenal saat kecil. Selain Gus Dur ya Mbah Moen. Maklum, di kamar guru saya hanya ada poster bergambar Mbah Moen mengenakan sorban hijau dengan pose yang sangat khas.
Saat masih SMP. Saya pernah diajak ke ndalem Mbah Moen oleh guru saya. Seperti pada umumnya sowan ke ndalem kiai. Mengantre untuk masuk dan duduk mendengar dawuh-dawuhnya. Saya yang masih unyu-unyu terus memandang Mbah Moen yang duduk di kuri. Semua tamu duduk di bawah.
Kami duduk melingkar dan menunggu kesempatan untuk bersalaman. Saat saya bersalaman, Mbah Moen bertanya asal kami. Saya menjawab dari Tuban yang sedang berada di Pesantren Jombang. Setelah itu berlalu.
Usai salaman selesai. Mbah Moen memberikan tausiyah. Singkat padat dan sangat berisi. Wejangan tentang pesantren dan peran kiai. Seingat saya, Mbah Moen pesan tentang kiai yang ngopeni pesantren harus tetap turun tangan mengajar ngaji.
Sebagai kiai besar, Mbah Moen tetap saja punya waktu untuk ngaji bersama santri. Bahkan saat ramadan, sebulan penuh beliau menjadi mengampu sendiri untuk membahas satu kitab. Ngaji pasan menjadi agenda tersendiri bagi pesantren yang dipimpin Mbah Moen.
Para santri dari luar daerah akan berbondong-bondong mendaftar. Saya termasuk orang yang kebejan saat itu. Karena jadwal sidang skripsi tak kunjung muncul. Saya memutuskan untuk itu ngaji pasan ke pesantren yang berbatasan dengan pantai itu.
Saya yang awam hanya berbekal nekad saja. Bekal Ilmu Nahwu hanya sak crit. Apalagi, maknani kitab. Sungguh tidak mungkin. Tapi, Gusti Allah menggerakkan saya untuk datang ke pesantren itu. Datang mendaftarkan diri. Lantas diberikan segala macam peraturan untuk menjadi santri pasan saat itu. Saya mengiyakan dan bermalam di sana.
Kamar berukuran tak besar dan sudah penuh kotak milik santri menjadi tempat saya menaruh barang. Persis di atas musala yang ada di depan ndalem Mbah Moen.
‘’Saking pundi kang,’’ sapa salah satu santri saat itu.
Saya pun menjawab. Dari Tuban. Mereka tidak heran sebab Tuban dan sarang relatif dekat. Kami berkenalan satu sama lain. Ada santri Al-anwar sendiri hingga ada santri Ploso Kediri yang rela ngaji di tempat Mbah Moen.
‘’Ngalap berkah di sini kang. Banyak konco dari Ploso,’’ ujar seorang santri Ploso.
Saya yang hanya lulusan SMA harus banyak beradaptasi dengan kondisi itu semua. Tapi, bungahnya hati saya saat melihat Mbah Moen yang sudah sepuh melangkah menuju musala. Itu pertanda salat jamaah akan dimulai.
Dari ndalem menuju ke musala cukup dekat. Mbah Moen menjadi imam salat lima waktu kala itu. Usai salat, ngaji kita pun dimulai.
Ini yang saya saksikan, Mbah Moen begitu kuat dan istiqomah dalam mengajar santrinya. Saat para santri terkantuk-kantuk Mbah Moen biasa saja. Dengan tenang terus melanjutkan menjelaskan kitab yang ada di depannya.
Saya hanya duduk paling belakang. Dengan terus melontar doa agar apa yang saya dapat di hari itu menjadi keberkahan. Saya tidak bisa berbuat banyak. Sebab, orang awam seperti saya hanya berharap berkah saja. Memaknai kitab saja saya tak mampu. Jadi, cukup menjadi pendengar setiap Mbah Moen saat mengaji itu adalah kebahagiaan.
Jadi, selama 24 jam hanya sekian persen Mbah Moen melakukan istirahat. Selebihnya, ngaji bersama santri.
Saya menyesal tidak sampai selesai ikut pasan di pesantren Sarang. Sebab, jadwal skripsipun telah muncul. Saya harus melanjutkan sisa perjuangan itu. Bisa jadi, berkat ikut di pesantren Sarang yang sesaat menjadi mudahnya ujian skripsi saya.
Kini, telah memasuki hari ketujuh Mbah Moen meninggal dunia. Semua orang mendokan. Semua orang merindukan petuahnya.
Seperti dawuh Gus Mus, siapapun akan diistimewakan oleh Mbah Moen. Mulai orang biasa hingga pejabat papan atas akan dijamu layaknya tamu agung di ndalem Mbah Moen. Inilah keistemawaan seorang kiai kharismatik dalam menjamu tamunya. Sugeng tindak Mbah Moen. Alfatehah.
Redaktur suluk.id