Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau era digital yang begitu marak dewasa ini tak bisa terhindari oleh masyarakat. Bagi masyarakat yang pengguna layanan internet lazim disebut warganet/netizen. Berbagai kalangan mulai dari anak kecil hingga dewasa tiap harinya kecanduan dengan internet.
Baik sebagai alat komunikasi kerja, pelampiasan hobi, menunaikan hasrat informasi dan gaya hidup, sampai bisnis online shop yang tengah menjamur. Semua bisa diakses kapanpun dan dimanapun tergantung waktu dan kondisi warganet atau netizen.
Dalam beberapa riset yang telah dilakukan, salah satunya lembaga riset pasar e-Marketer, populasi netizen di Indonesia mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Sedangkan di tahun 2017, e-Marketer memperkirakan netizen di tanah air bakal mencapai 112 juta orang.
Dalam “Wanita Bicara: Digital Sisterhood” diungkapkan bahwa hampir 75 juta pengguna internet di Indonesia dan usia anak-anak, yakni 12 sampai 18 tahun tercatat sebagai kelompok yang paling sering menggunakan internet. Sungguh angka yang fantastis bukan?
Masih butuh data lagi? Oke saya sajikan. Laporan Tetra Pak Index 2017 yang belum lama ini diluncurkan, mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. Sementara hampir setengahnya adalah penggila media sosial (medsos), atau berkisar di angka 40%. Ada lebih dari 106 juta orang Indonesia menggunakan medsos tiap bulannya. Di mana 85% di antaranya mengakses medsos melalui perangkat seluler. Sadis jum!!
Bisa kita bayangin, betapa sibuknya Penyelenggara jasa Internet (PJI) atau Internet service provider (ISP) dalam melayani netizen tanah air. Mungkin mereka sampai lembur-lembur kali ya, melayani dengan sepenuh hati-katanya. Dan, bisa kita jumpai ketika ada netizen yang handphone-nya lemot dikit saja sudah rontok bulu hidungnya. Gampang banget marah.
Nah, dari fakta di atas, kerap kita jumpai kejadian yang hilir mudik ada di medsos. Mulai dari bullying, hoax, ujaran kebencian, jualan online, berita duka, konten porno, hingga promo masuk surga dengan iming-iming hanya mengetik kata “Amin”. Emang Amin punya kavling surga ya? Hihi..
Ada enam hal yang perlu saya sampaikan dak kiranya dihindari saat bermedsos agar tidak sampai tersandung kasus hukum. Aturan itu berada di UU ITE nomor 19 tahun 2016 yang merupakan perubahan dari UU nomor 11 tahun 2008. Undang-undang yang disahkan pada Oktober 2016, itu dinilai tak jauh beda dengan UU sebelumnya.
Soalnya, salah satu hasil revisi adalah menyatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dapat melakukan pemblokiran terhadap situs-situs tertentu. Berikut penjelasannya:
Pertama, Melanggar kesusilaan; Pasal 45 ayat 1: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kedua, Perjudian; Pasal 45 ayat 2: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketiga, Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; Pasal 45 ayat 3: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Keempat, Pemerasan dan/atau pengancaman; Pasal 45 ayat 4: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kelima, Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen; Pasal 45A ayat 1: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Keenam, Menyebarkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); Pasal 45A ayat 2: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sebagai Negara yang berlandasan hukum, perlu kiranya untuk mengatur segala aspek berbangsa yang memuat tingkah laku, perbuatan, dan proses menuju seseatu diatur dalam UU. Dan, adanya jikalau ada perubahan UU (revisi) merupakan suatu keniscayaan yang patut kita sikapi. Asal revisi tersebut memberikan kebaikan bagi umum dan tidak mewakili kepentingan golongan tertentu melainkan demi kebaikan bersama dalam Negara.
Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi, berpendapat perubahan UU ITE sangat membantu masyarakat yang menggunakan media sosial. Menurutnya, di dalam UU ITE yang baru telah dijelaskan bagaimana cara menggunakan media sosial yang benar.
Dengan adanya UU ITE yang baru, kata Teguh, sudah sepatutnya masyarakat memahami hal apa saja yang tidak boleh ditulis dan dibagikan (share) melalui media sosial. Masyarakat juga harus bijak dalam menggunakan media sosial dengan berpikir ulang atas informasi apa yang ingin dibagikan ke orang lain yang nantinya akan dibagikan juga oleh orang lain tersebut.
Saya sarankan berbijaksanalah dalam bermedsos, agar tidak berurusan dengan hokum (melanggar UU ITE) kita perlu pahami regulasi yang ada, menegakan etika ber-media sosial, mengecek terlebih dahulu kebenaran informasi yang akan dibagikan (share) ke public, lebih berhati-hati bila ingin memposting hal-hal atau data yang bersifat pribadi, dan belajar dari penyedia jasa, seperti google untuk menjalani peran menjadi intermediary liability.
Salah satu yang menjadi fokus dalam tulisan ini yakni fenomena bullying yang sudah mencapai titik keprihatinan. Terutama bullying yang dilakukan oleh netizen kepada oknum publik figur, tokoh agama, pemerintahan, institusi negara, hingga teman karib yang dianggap pantas untuk di-bully.
Joel Stein pernah berkata, internet telah menjadi tempat bagi seseorang menjadi monster dan menghancurkan hidup orang lain hanya untuk bersenang-senang. Terutama di medsos yang merupakan pengguna yang besar.
Istilah Trolls disematkan bagi netizen yang kerap melakukan tindakan seperti menghina, membuat lelucon, melakukan pelecehan. trolling di internet itu terjadi karena online disinhibition effect, di mana faktor seperti anonimitas, ketidaktampakan, minimnya otoritas, dan tak harus bertemu seseorang melahirkan budaya kebencian. Seseorang bisa berkomentar semaunya, memaki, menghina, dan tidak punya adab. Padahal ini sungguh diluar etika kemanusian yang beradab, bukan?
Istilah lain yakni Cyber bullying adalah tindak intimidasi, penganiayaan atau pelecehan disengaja yang anak-anak dan remaja alami di internet. Akibatnya cyber bullying menjadi ancaman yang jauh lebih berbahaya bagi anak-anak daripada yang banyak orangtua perkirakan. Ada juga haters yakni golongan pembenci kepada sekelompok atau oknum tertentu yang tidak sependapat dengan dirinya. Haters lebih sering berkomentar nyinyir tentang suatu hal yang tengah hangat diperbincangkan. Mereka akan merasa benar sendiri, berkata sesuka udel-e dewe, dan serampangan. Lalu apakah ini tujuan berinternet?
Lantas apa yang perlu kita lakukan untuk menjadi netizen yang rahmatan lil alamin? Berikutnya kiat-kiatnya:
Pertama, Tidak perlu merespon komentar yang bersifat intimidatif, cacian, hinaan, ejekan atau celaan. Cuekin saja guys!
Kedua, menahan diri tak membalas perilaku bullying. Awasi dan pantau saja dahulu. Jika dibalas, tidak akan menyelesaikan masalah, justru tanpa disadari akan membuat target menjadi pem-bully yang baru. Westalah rausah aneh-aneh yo dadi wong. Sing apik-apik bae!
Ketiga, Simpanlah bukti bullying, baik itu berupa foto, pesan atau komentar-komentar sebagai bukti yang nantinya bisa ditunjukkan kepada pihak yang berwenang. Ben kapok dia!
Keempat, Selektiflah memilih pertemanan dan dalam memposting tulisan atau mengupload foto di medsos.
Kelima, Hindari mengunggah gambar atau foto dengan pose yang dapat menarik perhatian yang bisa menimbulkan terjadinya kejahatan seksual.
Mari memberikan warna putih di medsos dengan memposting nuansa yang sejuk mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan. Tidak mengujar kebencian, rasis, fasis, hoax karena jemarimu, harimaumu!
Masyarakat Sipil Pendamping Sosial Pemberdayaan