“Kita Bukber ya” salah satu teman melemparkan ajakan buka bersama pada sebuah grup Whatsapp pertemanan kami yang saya kira ada beberapa yang cukup lama tidak bertemu dan berkabar. “Wokei mencari pasukan” dengan gercap salah satu teman menyahut. “Oke gass, Pokok tidak hari Senin karena sudah ada janjian” sahut teman yang lain. Akhirnya kami memutuskan segera untuk memilih hari. “Sabtu saja pas Weekend”, “Oke sipp”, “Siap”,” Berangkat “, kami saling membalas untuk mengonfirmasi kesediaan.
Berhubung bukber diadakan di salah satu rumah teman, kami harus segera menyiapkan tempat termasuk menu berbuka sendiri. Sengaja kami tidak memesan makanan, karena menurut tuan rumah persediaan bahan makanan masih terhitung cukup banyak. Akan tetapi sebentar lagi rumah akan ditinggal mudik ke kampung halaman. Sehingga terpaksa segera harus “dihabisi” agar tidak mubadzir. Segera kami mengolah sembari menunggu adzan magrib.
Sengaja tidak saya tuliskan proses memasak, karena ini bukan tulisan tentang tutorial memasak. Akan tetapi, keseruan dimulai saat semua sudah berkumpul, membagi tugas, mengerjakan tugas masing-masing, hingga masakan sudah matang, makanan siap dihidangkan, dan adzan dikumandangkan. Di sela-sela mempersiapkan, kami saling berbincang untuk menanyakan kabar. Tentu diantara kami secara karir ada yang cukup moncer dengan bekerja di salah satu Bank, ada yang mengajar sebagai guru, sebagai pegawai negeri, juga sebagai pengusaha, seorang freelancer (serabutan dengan gaya) ada pula yang masih menjadi job seeker. Jika dalam konteks tren melalui media sosial, maka buka bersama (bukber) bisa menjadi “bukber sebagai ajang adu pencapaian”.
***
Melihat media sosial yang dicatatkan oleh beberapa media online, bahwa dalam beberapa tahun ke belakang muncul tren konten bahwa kegiatan bukber menjadi salah satu ajang adu pencapaian kesuksesan. Dengan indikator diantaranya, mengikuti bukber setelah pulang dari kantor sengaja tidak berganti seragam bahkan menunjuk-nunjukan lanyard tempat kerjanya. Akhirnya menimbulkan “tren bukber lanyard”. Tidak hanya lanyard, barang-barang branded seperti Iphone, make-up mewah, baju stylish, juga sebagai bahan untuk menunjukkan kemapanan dari hasil proses kesuksesan yang sudah lama tidak diketahui teman-temannya. Akhirnya dengan tren tersebut ada yang berpikir bahwa buka bersama hanya sebagai bahan adu pencapaian dan kesuksesan saja. Sehingga dalam konteks tersebut, menimbulkan persepsi bagi yang merasa belum mencapai titik kesuksesan akan merasa minder dan lebih baik untuk tidak mengikuti acara tahunan itu.
Tentu akan menjadi pro kontra untuk membahas mengengai hal tersebut. Pasti akan ada counter narasi dari kelompok yang tidak sepakat dengan pernyataan itu. “Kita ga ada banding-bandingin pencapaian diri kita dengan lainnya ketika bukber, yang ada bukber sebagai ajang menyambung silaturrahim berbagi kebaikan. Kalaupun bertanya kabar bukan malah dibandingkan, tapi kita berbagi pengalaman yang bisa diambil manfaatnya” kata mereka. Ada pula yang memahami bahwa semua orang punya proses dan hidupnya masing-masing. Serta tidak bergantung pada standar media sosial yang kadang berisi dari kalangan selebritas, pengusaha sukses, dan para orang sukses lainnya. Mungkin ada narasi yang berkembang bahwa “kita dengan memakai seragam, lanyard sebenernya bukan menunjukkan gaya-gaya an, tapi memang dari pulang kerja, ga ada waktu kita langsung ikut aja” begitu menurut beberapa. Masalah penampilan, ada yang menganggap bahwa merias diri sebagai bentuk rasa syukur dan kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk self esteem (harga diri). Jadi bukan tentang pamer-pameran. Pro kontra akan sangat sah dalam berpendapat.
Beberapa orang masih akan tetap terbayang-terbayang atau dihantui dengan kecemasan bukber sebagai tempat pengadilan akan proses yang dilalui seorang teman ketika lama tidak bertemu. Mereka akan gugup ketika ditanya kerja di mana? berapa gajinya? Atau secara tidak langsung lirikan mata menanyakan mana Hp baru Iphone mu? Hal itu memungkinkan akan terjadi dalam beberapa konteks. Seperti yang disebutkan sebelumnya yakni bukber untuk kelompok yang berisi orang-orang yang lama tidak berjumpa. Akan memungkinkan berbeda jika bukber dilakukan dengan kolega kerja, teman sekolah, atau orang-orang yang masih sering bertemu.
Kemudian bagaimana dengan tren hari ini. Pergeseran sepertinya terjadi dalam merespon pendapat bahwa bukber bukan lagi tentang adu pencapaian. Kebanyakan orang sudah aware (peduli) bahwa bukber bukan lagi tentang ajang adu kesuksesan ataupun adu mekanik (adu jotos). Akan tetapi sudah bergeser pada narasi yang lebih menyejukan dan santai: bukber sebagai ajang adu pendapat dan menambah wawasan. Selain itu juga dibuktikan dengan tren konten “velocity” yang sudah membiaskan bahwa bukber tidak semengerikan tren sebelumnya. Kita bisa menciptakan suasana silaturahim yang nyaman untuk semua orang dengan saling memahami pencapaian setiap orang berbeda, ukuran kesuksesan masing-masing, kita bisa memanfaatkan momen berbuka bersama untuk mencari relasi, informasi, saling tolong menolong dalam kebaikan, berbagi wawasan serta yakin bahwa setiap orang berhak untuk berbahagia di dunia hingga akhirat.
***
Beberapa saat sebelum berbuka kami sudah berkumpul melingkar, memanjatkan do’a do’a, di tengah sudah berjejer menu hidangan sederhana hasil masakan sendiri. Sayur asam, beberapa ikan goreng, sambal terasi, dan es buah cukup untuk mengahbiskan dua panci nasi hangat. Ditambah kehangatan suasana tanpa pamer-pameran, terlebih mendapatkan ilmu-ilmu baru hasil berdiskusi terkait tren bukber dari masa ke masa. Wallahu A’lam. Semoga sehat selalu dan istiqomah dalam kebaikan.

Islamic digital activist. Mugi Barokah Manfaat