Dalam sejarah berdirinya NU, ada satu nama besar yang seolah hilang ditelan zaman. Dalam awal-awal rencana berdirinya Nahdlatu Ulama, ada tokoh sentral yang perannya sangat besar bagi organisasi ini. KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz namanya. Kiai Mas Alwi bersama Mbah Wahab (KH. Wahab Chasbullah) dan Kiai Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU) merupakan “orang lapangan” yang bergerak secara aktif sebelum dan sesudah NU berdiri.
Seperti organisasi pada umumnya, NU berdiri dengan penuh perdebatan. Termasuk pada pemberian nama. Ada beberapa usulan nama yang diajukan para kiai sebelum akhirnya diputuskan nama Nahdlatul Ulama. Ada dua nama yang diusulkan, yang pertama adalah “Nuhudul Ulama” yang diusulkan oleh Kiai Asnawi Kudus, kemudian nama “Nahdlatul Ulama” yang diusulkan Kiai Mas Alwi yang memiliki arti kebangkitan ulama.
Mendengar usulan Kiai Mas Alwi, Hadratussyeikh Hasyim Asyari bertanya “Kenapa ada nahdlah, kok tidak Jam’iyah Ulama saja?. Kemudian Kiai Mas Alwi menjawab “Sebab tidak semua kiai memiliki jiwa nahdlah(bangkit). Ada kiai yang hanya sekadar mengurusi pondok saja, tidak mau peduli terhadap jam’iyahnya”. Akhirnya disepakati nama Nahdlatul Ulama sebagai nama organisasi.
Kiai Mas Alwi, selain berjasa besar memberi nama “Nahdlatul Ulama” dan sekaligus mesin penggeraknya, ada kisah dan keunikan lain dari Kiai Mas Alwi ini. Terutama tentang keluarga dan warung kecil di Jalan Sasak, dekat wilayah Ampel.
Kiai Mas Alwi pernah dikucilkan bahkan dikeluarkan dari silsilah keluarganya. Sebab musababnya adalah ketika maraknya isu “Pembaharuan Islam (Renaissance)”, sehingga menggerakkan Mas Alwi untuk menjelajahi dataran Eropa guna mengetahui secara langsung apa itu Renaissance dengan ikut pelayaran. Yang sebelumnya menganggap kepergian adik sepupunya, Mas Mansur datang ke Mesir untuk mempelajari Renaissance adalah kesalahan, sebab Renaissance berada di Eropa.
Dengan berlayarnya Mas Alwi membuat keluarganya malu. Sebab pekerjaan pelayaran memiliki citra buruk, sebab sangat identik dengan mabuk-mabukan, judi, zina dan lain sebagainya.
Alhasil, setelah kembali ke tanah air ia dikucilkan sehingga membuat sebuah warung kecil di Jalan Sasak guna untuk mencukupi kehidupannya. Di warung tersebut, KH. Ridwan Abdullah selaku sahabat sekaligus teman nyantri di pondok Syaihona Cholil datan berkunjung. Mas Alwi menceritakan banyak tentang perjalanannya selama di Eropa hingga menikah dengan gadis Belanda yang kemudian berhasil ia Islamkan.
Setelah mendengar cerita dari Mas Alwi, Kiai Ridwan berkata “Begini Dik Alwi, saya ingin menjadi pembeli terakhir di warungmu ini, kembalilah ke Nahdlatul Waton, saya sudah tidak ada temannya lagi, Kiai Wahab lebuh aktif di Taswirul Afkar. Sampeyan harus membantu saya.”
Keesokan harinya ketika Kiai Ridwan sampai di sekolah Nahdlatul Wathon, Kiai Mas Alwi sudah berada di sekolah lebih dulu. Kiai Ridwan bertanya “Kok sudah ada di sini?” Kiai Mas Alwi menjawab,” Tadi malam saya tawarkan warung saya dan ternyata laku dibeli orang, uangnya bisa kita gunakan untuk membesarkan Nahdlatul Wathon.”
Kiai Mas Alwi, dengan perjuangannya yang begitu besar bagi NU sangat sayang bila generasi NU hari ini menjadikan beliau sosok yang dilupakan. Memang tidak heran, sebab tidak adanya data valid mengenai Kiai Mas Alwi, termasuk tahun kelahiran dan juga silsilah bahkan tahun wafatnya.
Tetapi, sudah sepantasnya nama beliau disejajarkan dan diingat sebagai muassis NU. Sebab perjuangan yang besar untuk “nguri-nguri” NU hingga akhir hayatnya.
*Cerita tersebut dikutip dari NUonline dan jihadilmiah.blogspot
Sumber: Choirul Anam, Perkembangan dan Pertumbuhan NU, Bima Satu Surabaya 1999. Cet.kedua.
Ahli sejarah, Alumni UIN Sunan Ampel