Tiap kali ada jam kuliah dengan Pak Said Agil Husein Munawwar, aku memang selalu excited. Mengapa? Karena setiap kali masuk kelas, aku selalu dibuatnya terheran dengan beliau yang tidak pernah membawa buku apapun ke dalam ruangan. Lebih-lebih hampir tidak pernah melihat gawai, kecuali jika ada kebutuhan untuk mengirim kitab dalam bentuk pdf ke salah satu kontak kami.
Dalam perkuliahan yang berlangsung siang hari tadi, saya tidak tertarik untuk menanyakan perihal materi. Justru saya tergelitik untuk bertanya bagaimana metode balajar yang beliau gunakan dulu, sehingga dalam membeberkan materi benar-benar bisa dipahami dengan jelas, menyeluruh, kongkrit, dan komprehensif.
“Bapak dulu belajarnya bagaimana? Kok bisa sampai hafal semuanya?”
Yang saya tangkap dari jawabannya, setidaknya ada tiga hal yang selalu beliau pegang selama proses pengembaraannya: pertama, khidmah kepada guru. Kedua, menghabiskan waktu di perpustakaan. Ketiga, mempelajari semua tipologi (fan) keilmuan tanpa pernah membeda-bedakan, dalam artian tidak hanya fokus pada jurusannya.
Dari ketiga alasan itu, aku cenderung tertarik untuk menulis jawaban yang pertama. Said Agil Munawwar ketika kuliah di Makkah sudah memiliki istri dan empat anak. Kendati demikian, ia tak lekang menghabiskan waktu untuk ngangsu kaweruh dengan ulama-ulama Makkah. Ia mengaji di rumah gurunya yang sudah tua renta dan tidak memiliki istri (entah sudah meninggal atau memang membujang, beliau tidak menjelaskan).
Sebelum pengajian dimulai, terkadang ia melakukan hal-hal kecil untuk gurunya, seperti membuatkan teh, makanan, menuntunnya ketika hendak berpindah tempat, dan segala hal yang bisa dilakukannya, karena tidak adanya orang lain di rumah tersebut. Bahkan, ketika ia sudah sampai rumah gurunya, sementara sang guru masih berada di luar, ia terkadang membereskan rumahnya. Karena rumah tersebut tidak pernah dikunci, dan Said Agil pun sudah mendapatkan izin untuk masuk ke rumahnya sekalipun tidak ada penghuninya di sana.
Ketika di kampus, sebelum gurunya datang, ia terkadang stand by di depan menunggunya. Begitu gurunya tiba, ia membawakan tasnya dan menuntunnya sampai ke ruangan. Seperti biasa, ia juga membuatkan ‘unjukan’.
Melihat sikap Said Agil yang seperti itu, gurunya bertanya:
“Agil, kamu itu Doktor. Mengapa kamu membawakan tas saya?”
Said Agil hanya terdiam. Ia meyakini, bahwa pangkat akademik tak lebih penting dibanding khidmah (pengabdian) murid kepada seorang guru.
Said Agil mengidolakan gurunya yang tidak pernah membawa buku apapun kemana-mana. Menurutnya, ilmu ibarat air yang mengalir. Semua buku yang sudah dibaca harus bisa mengalir dalam pikiran. Oleh karenanya, tiap kali mengajar ia memang sama sekali tidak pernah membawa buku apapun.
Akan tetapi semua disiplin keilmuan mampu dipaparkannya dengan ‘sharih’. Spesifikasi Fikih dan Ushul Fikih yang ditempuhnya, tak membuatnya abai dengan disiplin keilmuan lain. Sederhana saja, beliau mengajar kami Studi Kritis Ulum Al-Quran. Akan tetapi, kedalaman ilmunya pun mencakup Hadits (riwayah & dirayah), linguistik, bahkan terkadang merembet kepada ilmu yang tidak ada kaitannya, seperti kedokteran, dsb.
“Semua itu berkat doa dari guru-guru saya.”
Siapa sangka, di tengah keadaan flashback masa studinya gara-gara pertanyaanku, beliau menitikkan air mata ketika menceritakan moment saat ia dicium oleh gurunya, sebagaimana ia mencium gurunya tiap kali bersua.
“Suatu saat nanti kamu akan seperti saya.” Begitu doa gurunya.
Keyakinanku semakin menguat, bahwa seorang murid yang mengabdikan diri sepenuhnya untuk melayani gurunya, justru disitulah keberkahan akan dapat direnggut dengan mudah, cepat atau lambat. Beruntunglah, para pengabdi Kiai!
Alumni Universitas Paramadina