Sungguh kebenaran bisa lemah karena perselisihan dan perpecahan. Sementara kebatilan kadang menjadi kuat sebab persatuan dan kekompakan
Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari
Kegagalan pasukan Inggris-Perancis dalam operasi di Galipolli dengan target menusuk langsung ke jantung ibukota kekhalifahan Utsmani menjadi traumatis bagi pasukan sekutu yang ingin mempercepat jalannya Perang Dunia II.
Gabungan tentara Utsmani-Jerman terbukti kokoh dalam membentuk pertahanan di semenanjung Galipolli, dengan jumlah pasukan dua pertiga lebih sedikit dari pada pasukan Inggris-Perancis-ANZAC (Australia-Selandia Baru-Kanada). Alih-alih melumpuhkan dengan cepat kekuatan pasukan kekhalifahan, Blok Sentral mendapatkan simpati dari Bulgaria yang membuat pakta perang bersama Jerman-Austria-Utsmani.
Dengan kegagalan tersebut praktis sumberdaya Inggris dan sekutu mulai terkuras dan menjadikan perang semakin berkepanjangan di tiga front (front Barat, front Timur dan front Timur Tengah). Sepanjang operasi selanjutnya di front Timur Tengah, yang dilakukan oleh Inggris selalu menuai kegagalan dan menyebabkan pasukan Utsmani semakin kuat melumpuhkan kekuatan-kekuatan militer terkuat di dunia.
Melihat ketidakmajuan sekutu di Timur Tengah dan ketidakpastian kemenangan di front Eropa Barat dalam Perang Dunia I membuat Inggris harus mencari solusi alternatif guna memecah kekuatan kekhalifahan Utsmani, khususnya di kawasan provinsi Arab. Muncullah ide untuk menghadirkan sosok diplomat yang berlatar belakang orientalis-militer yang ditugaskan untuk membentuk “pasukan siluman” agar melakukan perlawanan terhadap kekhalifahan, dialah Lawrence si Arab.
Lawrance si Arab dan Revolusi Arab
Lawrence bekerja dengan cepat di wilayah-wilayah Arab, khususnya di Suriah dan di Hijaz. Dia hidup bersama kabilah-kabilah Arab, menyamar sebagai orang Arab, dan mempelajari seluruh kelemahan (budaya-karakter-imajinasi) bangsa Arab. Hasilnya, Lawrence menemukan titik terang bagi kemenangan Inggris atas kekhalifahan Utsmani.
Dia bisa mendekati tokoh penting Arab dan memprovokasinya untuk membelot dari pihak kekhalifahan, Syarif Husein, sang keturunan Rasulullah yang memegang kunci dua kota suci.
Dengan iming-iming jabatan atas “kerajaan Arab Raya” pasca Perang Dunia I, Syarif Husein langsung melakukan sebuah ikatan perjanjian yang terkenal dengan sebutan “korenpodensi Husein-McMahon”, yakni sebuah “perjanjian di masa depan” pasca perang antara pihak Inggris (yang diwakili oleh jendral McMahon selaku penanggungjawab pasukan Inggris di wilayah Arab) dengan keluarga Hasyimiyah untuk memberikan mandat penuh mengelolah wilayah Arab yang terbenatang dari Hijaz, Suriah hingga Irak.
Sontak saja syarif Husein langsung melakukan mobilisasi pasukan-milisi bersenjata dengan bantuan uang dan peralatan militer dari Inggris, menyeruhkan jihad untuk “membelah Inggris” melawan kekhalifahan Utsmani. Dan tentunya jihad yang dikobarkan oleh syarif Husein ini merupakan “jihad tandingan” dengan jihad yang diseruhkan oleh Syeikhul Islam dan khalifah di Istanbul, sebagai pemimpin tertinggi umat Islam.
Pada awalnya perlawanan Syarif Husein dan keluarga Hasyimiyah terhadap kekhalifahan Utsmani hanya terbatas pada keluarganya saja. Namun ketika beberapa suku Arab bergabung bersama dia dan siap melakukan perlawanan dengan tentara Arab-Utsmani (orang Arab dan suku-suku Arab yang masih setia kepada kekhalifahan di Istanbul dan menjadi tentara-milisi perang bagi khalifah) lahirlah gerakan perlawanan Arab yang dikenal dengan Revolusi Arab.
Revolusi Arab ini merupakan gerakan perlawanan bangsa Arab terhadap kekhalifahan Utsmani untuk mendirikan negara sendiri lepas dari ikatan dengan kekhalifahan Utsmani. Di masa depan (Pasca Perang Dunia I) mereka berharap Inggris akan memberikan wewenang penuh untuk mendirikan negara-kerajaan Arab yang dikelolah oleh orang Arab (keluarga Hasyimiyah) tanpa ada campur tangan dengan bangsa Turki.
Gerakan inilah yang mengawali lahirnya istilah “Nasionalisme Arab” yang mengedepankan identitas primordial Arab, bukan identitas Muslim atau umat Islam. Bahkan mereka menyebut dirinya “Arab” untuk membedakan orang Utsmani yang “Turki”. Padahal sebelumnya, sebutan Utsmani adalah sebutan untuk sebuah bangsa yang multi-etnis yang tinggal di kekuasaan kekhalifahan, terlepas mereka itu etnis Arab, Turki, Kurdis, Kaukasus, Armenia, Yunani, atau Yahudi.
Utsmani Terusir dari Arab
Adanya korespodensi Husein-McMahon memperjelas ikatan koalisi yang nyata antara orang Arab dengan Inggris untuk memecah belah persatuan umat Islam. Praktis dengan bantuan syarif Husein pasukan Utsmani sedikit demi sedikit bisa dikalahkan di tanah Arab, di Suriah maupun di Mesopotamia (Irak).
Atas bantuan suku-suku Arab yang dimobilisasi oleh syarif Husein, akhirnya pada berbagai front di tanah Arab pasukan Utsmani bisa dikalahkan. Terakhir, pasukan Utsmani di garnisum Madinah (pimpinan seorang jendral Arab-Utsmani), telah dikalahkan oleh suku-suku Arab pimpinan keluarga Hasyimiyah dan mereka (tentara Ustmani) meninggalkan untuk selamanya tanah Arab sebagai bagian dari Utsmani.
Dengan demikian, penyebab utama kekalahan pasukan kekhalifahan Utsmani pada Perang Dunia I bukan disebabkan oleh lemahnya tentara Utsmani itu sendiri, atau bahkan oleh kurangnya persenjataan pasukan kekhalifahan, namun lebih pada sebuah penghianatan bangsa Arab, yang berambisi untuk memisahkan diri dari kekuasaan khalifah “Turki” untuk mendirikan kekhalifahan baru dengan identitas “Arab”.
Hal ini pun menegaskan bahwa bangsa Arab-lah yang pertama kali mengobarkan istilah “Nasionalisme Arab” untuk meleburkan identitas Global masyarakat Muslim atau pemerintahan Muslim-Global, yang pada akhirnya dunia Islam mulai mengenal istilah nasionalisme. Uniknya, “Nasionalisme Arab” tidak lahir dari pemikiran ulama atau cendikiawan Muslim-Arab, tapi lahir dari pemikir Kristen, Michael Aflakh yang mendirikan Partai Baath di Irak.
Terusirnya pasukan Utsmani dari tanah Arab (provinsi Arab) menyebabkan banyak kekalahan bagi tentara Utsmani di beberapa front. Wilayah kekhalifahan pun semakin terdesak-menyempit hingga pada akhir 1918 Perang Dunia I benar-benar dihentikan dengan kekalahan Blok Poros (Jerman-Austria-Utsmani-Bulgaria).
Akibat dari kekalahan pada Perang Dunia I inilah kekuasaan kekhalifahan semakin pudar dan semakin lemah. Kekuasaan Sultan sebagai khalifah sudah redup dan tidak lagi memiliki kewibawaan di mata dunia Internasional-Muslim.
Pihak Inggris menekan dengan keras kekhalifahan Utsmani hanya sebagai wilayah yang cukup sempit (Anatolia Tengah dengan Istanbul sebagai ibukotanya) dan membagi-bagi bekas provinsinya (Thrace Timur dan Anatolia Barat dan Timur yang cukup luas) bersama Perancis, Italia, Yunani dan Republik Armenia (yang baru diproklamirkan pasca 1918) serta Republik Kurdistan yang siap dimerdekakan.
Seandainya suku-suku Arab pimpinan Syarif Husein tidak mendukung perangnya Inggris melawan pihak kekhalifahan Utsmani mungkin saja jalanya sejarah Perang Dunia I akan berbeda. Bisa jadi tentara Inggris di Timur Tengah akan kalah, lalu pasukan Jerman di front Eropa Barat semakin kuat hingga mengalahkan tentara Inggris-Perancis, dan Amerika Serikat tidak bergabung dengan Blok Sekutu.
Pun demikian, seandainya bangsa Arab tidak memberontak terhadap kekuasaan khalifah di Istanbul dan tidak tergiur dengan iming-iming Inggris atas “kerajaan Arab-Raya” mungkin saja tidak akan ada negara-negara Arab dewasa ini yang terpecah belah menjadi negara-negara kecil. Tidak akan ada Jordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yaman, Qatar, Mesir, Libya, Aljazair dan lain-lain, karena semuanya akan tetap bersatu dalam ikatan bangsa Utsmani, kekhalifahan Utsmani.
Dengan kata lain, perpecahan umat Islam dewasa ini (khusunya bangsa Arab dan negara-negara Arab) tidak lain adalah bagian dari “dosa-dosa” bangsa Arab terhadap kekhalifahan Utsmani dan umat Islam secara keseluruhan. Mereka lebih berpihak pada Inggris dari pada Utsmani yang berperang atas nama umat Islam.
Maka apa yang dikatakan oleh Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari benar adanya, “Sungguh kebenaran bisa lemah karena perselisihan dan perpecahan. Sementara kebatilan kadang menjadi kuat sebab persatuan dan kekompakan”
Konflik di negeri Arab dewasa ini mencerminkan apa yang telah difatwakan oleh Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, perang saudara (Libya, Suriah, Yaman), perbedaan pandangan di Liga Arab, perseteruan identitas Arab-Persia (Wahabi vs Syi’ah), Perang Sipil Israel-Palestina dan gerakan sparatisme di Arab merupakan buah dari “pemberontakan bangsa Arab” di masa Perang Dunia I terhadap khalifah.