Saya sudah lama tinggal sebagai penduduk Desa Kapu Kecamatan Merakurak. Namun, baru kemarin batin ini tergerak untuk berziarah ke makam leluhur desa.
Saya berkesempatan berziarah ke Makam Kiai Sholeh atau dikenal dengan Kiai Klopo Telu. Makamnya terletak di Desa Kapu, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Tepatnya di makam umum desa setempat.
Lokasi makam Kiai Klopo Telu meski di pemakaman umum lokasinya sangat spesial beda dengan makam lain. Sebab diberi bangunan rumah kecil. Didalam itu terdapat makam Kiai Sholeh.
Karena memang makam beliau ini menjadi tujuan ziarah warga Tuban dan sekitarnya. Cukup ramai. Apalagi saat malam Jumat wage.
Untuk mendapatkan cerita ulama yang besar pada zamannya itu saya bertemu dengan M. Rukin, salah satu tokoh masyarakat di Desa Kapu. Dia juga adalah Ketua Yayasan Kiai Klopo Telu Desa Kapu.
Rukin yang juga mendapatkan cerita dari para duriyah atau keturunan Kiai Klopo Telu mengatakan. Kiai Sholeh punya beberapa nama. Nama panggilan waktu kecil adalah Sapon, kemudian remaja nama panggilannya Sajidin. Lalu nama Sholeh didapat setelah beliau pulang dari haji.
Beliau putra dari Abdul Qodir, dari 3 bersaudara. Diperkirakan beliau hidup di sekira Tahun 1830an masehi.
Dulu Kiai Klopo Telu ini hidup di Desa Kapu. Hal ini tebukti dengan bekas lokasi pondok pesantren milik Kiai Klopo Telu berada di Kapu. Tepatnya di Kapu Kulon.
Tapi kini lokasi pondok pesantrenya sudah tak ada. Hanya menyisakan hamparan sawah. Serta ada sumur tua. Yang dipercaya itu adalah sumur peninggalan Kiai Sholeh Klopo Telu. ”Di dekat sumur itu juga ada bekas pijakan wudhu Kiai Klopo Telu, terbuat dari kayu pace (baca Mengkudu),” ujarnya.
Sebelum mendirikan pesantren. Menurutnya kiai Klopo Telu mondok atau belajar di pesantren Krapyak, Magelang. Hal ini juga di ceritakan di buku Tuban Bumi Wali, The Spirit of Harmony.
Selama di pesantren menurutnya Kiai Klopo Telu sebenarnya tak pernah diajarkan mengaji. Selamai pesantren 2 tahun, ada yang mengatakan 3 atau bahkan 7 tahun. Dari berbaga versi. Kiai Klopo Telu muda tak pernah diajar mengaji. Hanya disuruh membersihkan rumah kiai dan pondok.
Tentu saja Kiai Sholeh muda heran. Hingga. Waktu pulangpun tak pernah diajarkan mengaji.
Diceritakan Kiai Sholeh sangat bingung. Lebih anehnya lagi sang guru memberi bekal cangkul, linggis dan buah kelapa. Sontak saja kaget Kiai Sholeh muda. Karena itu penberian sang guru. Beliau pulang membawa apa yang diberikan oleh gurunya.
Tapi setelah pulang berbekal apa yang dibawa dari pesantren. Ternyata buah kelapa tumbuh subur. Dan Kiai Sholeh bercocok taman layaknya petani di desanya.
Maka tak heran menurutnya, dulu Desa Kapu adalah desa yang banyak pohon kelapa. Meski kini sudah tak ada.
Lambat laun warga berdatangan ke tempatnya dan belajar ngaji. Beliau yang mengajar. Dan anehnya bisa. Meski dulu tak diajarkan ngaji. Bahkan ahli ilmu agama. ”Kiai Sholeh ini terkenal dengan ilmu laduninya,” ungkapnya.
Itulah menjadi titik balik hingga nama Kiai Sholeh mendirikan pesantren. Saat mendirikan pesantren menurutnya, usia Kiai Sholeh masih mudah. Sekitar 30an. Namun kealiman dan keahlianya terkenal hingga penjuru jawa. Banyak ulama besar menimba ilmu pada beliau.
Di tuliskan di buku Tuban Bumi Wali, Kiai Klopo Telu menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Sarang Rembang. Karena dulu banyak santri yang menimba ilmu di pesantren Kiai Klopo Telu.
Maka menurutnya tak heran pada 2018 lalu saat haul Kiai Klopo Telu saat mengundang almarhum KH. Maimoen Zubair beliau datang.
Sementara nama Klopo Telu adalah julukan. Nama itu menurut beberapa pendapat julukan Klopo Telu berawal pada saat Kiai Sholeh pulang dari pondok pesantren kelapa tersebut tumbuh dengan subur tetapi anehnya mempunyai cabang tiga, sehingga pada saat itulah Kiai Sholeh dijuluki Kiai Klopo Telu.
Pendapat lain Kiai Klopo Telu, julukan untuk Kiai Sholeh serta dua sahdaranya. Sebab beliau dari 3 bersaudara. Yaitu: Kiai Sholeh, Kiai Shomadi, dan Kiai Arifin.
Namun pendapat yang terkuat, julukan Kiai Klopo Telu itu adalah Kiai Sholeh saja. Kiai Sholeh sendiri adalah putra dari Abdul Qodiro atau di kebal dengan Mbah Diro yang dimakamkan di Tuwiri Wetan, Merakurak.
Ketiga putra Mbah Diro ini Menjadi sosok ulama besar. Pada awalnya mereka, berjuang pada satu tempat, yaitu tepatnya di satu lokasi yang sekarang dijuluki daerah Klopo Telu yang berada di Kapu, Merakurak, Tuban. Pada akhirnya ketiga kiai bersaudara ini memutuskan untuk melakukan perjuangan lewat dakwah agama. Hingga di Santren Merakurak.
Adapun silsilah Kiai Sholeh sampai ke Nabi Muhammad SAW. Yakni silsilahnya sebagai berikut. (1) Nabi Muhammad SAW, (2) Sayyidah Fathimah az-Zahra. (3) Sayyid Husain bin Ali, (4) Sayyid Ali Zainal Abidin, (5) Sayyid Muhammad al-Baqir, (6) Sayyid Ja’far ash-Shadiq, (7) Sayyid Zainal Qubro Musa Qodim, (8) Syekh Jumadil Kubro Ali Ridlo. (9) Maulana lshaq Maghrobi Muhammad Jawad. (10) Maulana Agung al-Hadi, (11).Hasan Askari/Sunan Tengger (Tengger, Rembang), (12) Muhammad al-Hadi/Syekh Sluke, (Sluke, Rembang), (13) Pangeran Dalem Pasiten, (14) Pak Enggot (Tenggerwetan, Kerak). (15) Mbah Thohir/Kiai Gajah Gemuntur (Senori, Merakurak), (16) Mbah lmron/Sunan Gading (Boncong, Banjar), (17) Abdul Qodiro/Mbah Diro(Tuwirl Wetan. Merakurak). (18) Kiai Sholeh (Kapu, Merakurak).
Kini di Desa Kapu ada rutinan setiap Minggu Wage membersihkan makam Mbah Sholeh Kiai Klopo Telu. Kamis Pon khotmil quran. Dan Malam Jumat rutinan ngaji. Dan setiap malam jumat wage banyak peziarah.
Selain itu setiap tahunnya selalu ada peringatan Haul Kiai Sholeh. Dan kini juga didirikan Yayasan atas Nama Kiai Klopo Telu yang ada Sekolah MI dan TPA di dalamnya. Di dekat Makam Kiai Klopo Telu juga di dirikan padepokan di beri nama padepokan Kiai Klopo Telu. Tempat rutinan dan ngaji setiap malam jumat.
Menurut Rukin ini semua dilakukan untuk membangkitkan kebesaran peradaban Kiai Klopo Telu agar kembali diketahui masyarakat luas. (*)

Alumni Pesantren Sunan Drajat Lamongan. Kini menekuni dunia menulis dan peliputan berita.