Saya dipertemukan dengan teman lama. Kami disempatkan berbincang meski tidak lama. Dari penampilannya, dia jauh berubah. Tidak seperti dulu saat sama-sama kita masih unyu-unyu. Sesekali dia mengomentari tentang penampilan saya yang juga berubah. Kami lantas bercerita tentang aktivitas kami saat ini.
Dia bercerita tentang kajian keislaman yang diikuti sekarang. Saya tak berkomentar banyak tentang ceritanya. Khawatir nanti justru terjadi perdebatan yang konyol. Cukup saya mengangguk. Tanpa melakukan perdebatan. Seolah, saya mengiyakan tentang apa yang telah dilakukannya itu benar.
Akhir kami masuk dalam sebuah grup whatsapp yang sama. Saya hanya sesekali berkomentar. Sedangkan, dia cukup aktif. Sesekali, dia memberikan link sebuah situs website jika memberikan jawaban atas pertanyaa keislaman. Tak jarang pula dia memberikan paparan.
Melihat lalu lalang di grup whatsapp itu saya turut mengamati. Seperti saat bertemu dengannya. Tak pernah saya berkomentar bahkan mendebat atas apa yang telah dipaparkan dengan berbagai macam dalilnya.
Bukan bermaksud menyudutkan. Seorang teman ini lebih memilih pandangan yang berbeda dengan apa yang pernah kita pelajari dulu tentang agama.
Kasarnya, dia telah memberikan komentar yang sedikit kurang nyaman–bagi saya–dengan tradisi yang dilakukan oleh warga nahdliyin. Sekali lagi, saya tak ingin memperdebatkan tentang apa ajaran keislaman mereka. Saya justru ingin tahu mengapa mereka bisa sesemangat itu dalam menyampaikan sesuatu yang mereka anggap benar. Bahkan, siap untuk berargumentasi lebih lanjut.
Setelah melihat itu semua saya lantas mencoba untuk mengetik sesuatu di mesin pencarian di internet. Saya masukkan tata tafsir Alquran ataupun pertanyaan sederhana tentang hukum peringatan maulid nabi hingga puasa saat Rojab. Apa yang keluar? Ternyata benar. Situs berbasis pesantren dengan kajian keislaman yang begitu mendalam tak pernah keluar di permukaan halaman. Harus ada tambahan kata kunci jika ingin keluar tulisan berbasis NU atau lainnya. Justru yang banyak adalah kajian keislaman yang memberikan fatwa berbeda tentang apa yang sudah dijalani oleh NU hari ini.
Sebenarnya, sudah banyak situs website yang berkembang tentang khazanah keilmuan NU. Tapi, sayang pengelolanya masih belum memaksimalkan. Jika di keilmuan kita mengenal sanad keilmuan, seharusnya saat mengisi konten dengan sanad keilmuan yang jelas. Termasuk penulisnya. Profilnya harus diperjelas.
Sudah tidak waktunya para ahli fiqh, ahli hadis hingga para mufasir bersembunyi di balik meja dan bantal tipis sebagai alas. Saatnya para kiai dan ulama NU untuk tampil memenuhi konten di dunia maya.
Jika memang tidak memungkinan memproduksi konten. Para santri sudah waktunya untuk bergerak. Mengambil alat “jihad” berupa kamera dan laptop yang siap untuk mengedit kontennya. Dengan lebih merapikan isi konten.
Saya membayangkan, semua elemen NU bersama-sama fokus dalam menggarap konten dakwah di dunia digital akan ada pemandangan baru dan tambahan referensi.
Kelak, saat masyarakat sudah menjadikan internet sebagai referensi seutuhnya. Kitab kuning tetap bisa terkases. Termasuk dengan penjelasan yang mudah dipahami.
Untung saja, youtube sudah banyak dipenuhi kajian keilmuan oleh Gus Baha’. Hanya tinggal memunculkan pendakwah muda dari kalangan NU dengan fokus kajian ringan untuk anak muda.
Sekali lagi, saya tidak ingin menyalahkan dan mendebat para ustad youtube dan ustad facebook. Namun, NU harus turut mewarnai khasanah keilmuan di dunia maya. Dengan, berbagai macam pilihan. Mulai kajian ilmu yang ketat hingga menjawab fenomena yang muncul di masyarakat. (*)
Redaktur suluk.id