Saya ngantuk berat. Tapi diskusi siang itu membuat saya harus melawan rasan kantuk. Bagi saya, diskusi memang lebih berharga ketimbang urusan tidur. Saya berangkat. Diskusi pun mulai. Saya duduk di pojokan.
Diskusi telah selesai. Namun, pembahasan di ruang diskusi masih terus berlanjut. Dari diskusi itu saya sadar ada perluasan makna bagi sebuah diksi yang kini hadir di tengah-tengah kita dan mungkin tanpa kita sadari.
NGAJI. Sengaja saya cetak besar dan tebal agar tidak “kecil”. Di beberapa informasi baik ilmiah maupun yang belum ilmiah istilah ini awalnya lebih condong pada proses tradisi keagamaan saja. Contoh ngaji Alquran, ngaji kitab, ngaji Fikih dan semua hal yang beraroma wacana agama.
Tapi untuk saat ini istilah itu meluas ke ruang-ruang yang lebih bebas dan santai. Sering saya dan mungkin anda menemui tema atau judul seperti ngaji kebudayaan, ngaji ekonomi, ngaji filsafat, ngaji politik dan ngaji-ngaji lainnya.
Ini artinya menurut pengamatan saya yang sederhana ini, diksi ngaji sudah tidak sakral dan sempit lagi. Orang beramai-ramai menggaulinya dengan suka dan sadar.
Dahulu, mungkin diksi ngaji hanya dimiliki oleh kalangan pesantren. Apapun proses pembelajaran kitab di pesantren dialamatkan pada istilah ngaji.
Teringat keterangan dari guru yang pertama kali mengenalkan saya pada sebuah kitab kuning atau gundul yang bernama Ta’limu al-mutaallim sekitaran 2002-2006.
Mbah Khasun begitu para santri menyebutnya. Mungkin semua santri Njoresan Ponorogo pasti akrab dengan kyai sepuh yang satu ini. Saat itu, beliau sedang ngajar di Masjid. Kitab yang dipegang dibaca dengan khas suaranya.
Para santri dengan tekun memaknai kitab kuning itu. Ada yang tertatih-tatih, ada yang sudah lihai.
“Le…ngaji kui asal katane Kaji/mengkaji. Maksutipun, dalam ngelampahi ngaji kui enek proses nelaah teks/kalimat ingkang sedang di perbincangkan. Mulo kui aktifitas ngaji enek proses maknani sekaligus ngarokati,” kata Mbah Khasun.
Kurang lebih begitu tuturnya soal mengaji.
Lantas apakah kita harus mengembalikan diksi ngaji ke tempat semula? Saya rasa tidak harus segenting itu permasalhannya. Luasnya istilah mengaji saat ini semestinya kita syukuri.
Dengan begitu khalayak ramai akan mencari tahu dari mana awal bahasa ini terbentuk. Pesantren akan dikenal lebih akrab oleh khalayak umum walau tidak harus berharap semua yang mengenal tadi akan berbondong-bondong masuk pesantren.
Setidaknya pesantren punya banyak alasan sebagai peletak dasar tradisi-tradisi positif dan kekayaan khasanah lainnya yang berlangsung di sekitaran kita selama ini tanpa kita sadari atau belum.
Kamu, yang pernah hidup di pesantren pasti menikmatinya. Dan, bagi orang tua yang masih ragu dengan pesantren ini adalah salah satu khazanah keilmuannya. (*)
Dosen IAIN Tulungagung.
Kesederhanaan pada beliau yang mestinya jadi panutan, sama sekali tidak berbalut kemewahan, dan tidak ada ingin di anggap wah oleh jamaah.
Dan dengan tulisan ini, didapati info yang sangat manfaat.
Makasih kang