Sejak kita kecil, banyak orang tua menekankan tentang pentingnya mengaji Al-Qur’an. Bagi orang awam seperti saya, mengaji terkadang diartikan sebagai sesuatu yang sangat simpel: mengenal huruf hijaiyah dan mampu membaca mushaf lengkap dengan tajwid yang sebisanya. Kemudian mengamalkannya untuk acara-acara khataman ataupun acara tahlil dengan membaca surat Yasin.
Menginjak dewasa dengan lingkup pergaulan yang lebih luas, saya menemukan banyak praktek dan metode belajar bagi orang-orang yang ingin bisa membaca Alquran yang memang berbahasa arab itu. Metode turutan yang masih masyhur di Tuban sampai akhir 90’an mulai dirubah dengan metode iqra’ yang lebih mudah bagi anak-anak memahami membaca Alquran. Kemudian sekarang juga populer metode belajar cepat baca Al-Qur’an yang sering kita temui di pamflet, baner ataupun iklan-iklan online.
Sebagai orang yang hidup dengan lingkungan mayoritas muslim. Saya menjadi terbiasa dengan lantunan ayat suci Al-Quran. Terlebih ketika bulan Ramadan. Di surau dan masjid. Beberapa ayat, seperti di surat Yasin, justru terasa familier di telinga karena sering dibaca berulang-ulang setiap mengikuti tahlil.
“Jangan sampai otak merasa biasa saja saat kita mendengar ayat Alqur’an,”.
Kurang lebih itulah kata-kata yang saya terjemahkan dari dawuh KH Bahauddin Nursalim, ketika mengajar di pondoknya, di Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Rabu, 28 Agustus 2019. Saya dan beberapa teman dari Tuban berkesempatan untuk ikut belajar bersama ratusan orang lainnya.
Saya tersentak. Tentu saja merasa tersindir. Ingin hati awam ini menanyakan dawuh ahli tafsir Al-Quran yang akrab dipanggil Gus Baha’ itu. Awalnya saya merasa salah dengar. Tetapi setelah beliau melanjutkan penjelasannya, saya yakin kalau apa yang diucapkan bukan perkara main-main. Beliau sedang mengkritik sikap dan pemahaman kita memaknai ayat Al-Qur’an.
Dewasa ini, menurut yang saya tangkap dari penjelasan Gus Baha’, banyak orang yang terlalu mementingkan kuantitas membaca Al-quran. Maksudnya adalah membaca Alquran hanya sekedar membaca sebanyak-banyaknya ayat, tanpa mau berpikir tentang kandungan ayat-ayat yang dibaca. Hal itu bisa menjadi berbahaya karena berpengaruh pada kualitas pemahaman makna Alquran itu sendiri sebagai mu’jiz (mukjizat). Meski begitu, jelas Gus Baha’, hal itu masih lebih baik daripada tidak membaca Al-Qur’an sama sekali.
“Dawuh ulama, satu ayat asal sudah satu kalam, itu sudah mu’jiz,”. Beliau menambahkan kalau satu ayat Al-Qur’an bisa dipergunakan sebagai hujjah yang bisa memberikan penjelasan atau sanggahan kepada orang-orang kafir yang mendebat tentang ketauhidan Allah.
Beliau menekankan pentingnya menggunakan logika dan pikiran untuk menjadikan Alquran sebagai mu’jiz. Dicontohkan, salah satu ayat Alquran yang menjelaskan tentang sifat Allah sebagai dzat yang menciptakan, itu adalah penegas bahwa salah satu syarat menjadi Tuhan menurut Al-Qur’an adalah yang mampu menciptakan langit dan bumi. Firaun dan berhala-berhala yang pernah dituhankan, otomatis tertolak keberadaannya argumennya sebagai Tuhan karena memang tidak bisa menciptakan langit dan bumi, bahkan materialnya baru ada setelah langit dan bumi tercipta.
“Sehingga ayat tauhid itu tidak hanya kulhu (surat Al-Iklas) saja, tapi semua (ayat) mengarah pada tauhid,” terang Gus Baha.
Kepada jamaah yang ikut mengaji dengannya, dia berkali-kali berpesan agar membaca Al-Qur’an sekaligus ikut memaknainya. Alquran adalah mu’jiz, konstruksi terpenting adalah penggunaan logika, dan itu bahkan lebih penting dari susunan kata-kata Alquran yang memang juga luar biasa. Beliau sendiri, sering hanya membaca Al-Qur’an hanya satu ayat dalam satu malam. Dibaca berulang-ulang, karena setiap kalam Al-Qur’an adalah hujjah. Harus menggunakan logika berpikir.
Kalau tidak bisa dan tidak mempunyai bakat alim, kata Gus Baha’, minimal mau berpikir dan menggunakan logika. Terpenting adalah tidak marah ketika ada yang mengkritik cara membaca Al-Qur’an dan mengajak tentang berpikir Alquran.
Persoalan lain adalah adanya orang-orang yang menganggap hanya ayat-ayat tertentu yang paling penting di Al-Qur’an. Yang lain? Dianggap hanya ayat-ayat biasa. Seperti orang yang membaca surat Al-Waqiah agar rejekinya lancar. Juga ada yang hanya ingin menjadikan potongan wirid dari Al-Qur’an dengan maksud tertentu.
“Alquran itu hujjah, tapi sekarang banyak dijadikan jimat. Ayat Al-Qur’an jangan dibeda-bedakan,”. Kata Gus Baha’.
Ket: tulisan ini dibuat selepas mendengar penjelasan Gus Baha’ saat mengaji Tafsir Jalalain di pondok pesantren Desa Narukan, Kec. Kragan, Kab. Rembang, Rabu (29/8/2019). Mohon maaf apabila ada kekeliruan pemahaman karena keawaman dan kecerobohan penulis dalam menafsirkan selama pengajian. Siap menerima koreksi
Tinggal di Tuban, menulis di Suluk.id