Membuat cocoklogi dan membikin lelucon garing nan politis adalah dua kiat sukses agar tak terlihat bodoh di tengah maraknya orang berilmu yang sudah mulai menampakkan diri.
Sebelum lebih dalam membaca tulisan ini, saya ingin memberi marka tegas soal lelucon basah dan lelucon garing. Biar tahu di mana letak kualitas perbedaannya.
Lelucon basah minim settingan. Punya kandungan makna dan analogi mendalam. Disampaikan secara sederhana. Tak jauh-jauh dari substansi pembahasan materi inti. Selain itu orisinil dan punya daya ledak tawa yang spontan.
Lelucon khas kiai-kiai pesantren seperti Gus Dur, Gus Mus, Gus Baha hingga Mbah Yai Syairozi tentu tergolong lelucon basah. Sebab ia orisinil, penuh analogi, dan tidak politis.
Sedangkan lelucon garing terlampau disetting. Terlalu jauh dari materi pembahasan inti. Terlalu dipersiapkan. Disampaikan pakai SOP khusus dan tidak sederhana. Bertele-tele. Dan, tentu saja, politis.
Meski begitu, lelucon garing rasanya tetap kopong dan garing dan karena itu seperti keluar tidak berasal dari dalam hati, tapi mulut belaka. Kita pasti tahu golongan yang sering berupaya ngelucu model begitu itu.
Kemarin, Twitter ramai tagar #LaguAnakMurtad. Penyebabnya, seorang Agamawan menafsir lagu anak-anak sebagai pemicu kemurtadan. Katanya, lagu anak Balonku Ada Lima dan Naik-naik ke Puncak Gunung, mengandung konspirasi kemurtadan.
“Bayangkan saja, anak-anak umur TK sudah dilatih untuk benci Islam. ‘Balonku ada lima rupa-rupa warnanya’, yang meletus balon apa? Hijau. ‘Hatiku sangat kacau.’, lho Islam itu bikin kacau saja. Tinggal empat pegang erat-erat,” kata Agamawan tersebut.
Lagu Naik ke Puncak Gunung, misalnya, ustaz agamawan itu menyebut bahwa di dalam lagu tersebut, ada pohon cemara yang menjadi simbol perayaan Natal. Sehingga itu termasuk ajakan untuk memeluk agama Kristen. Wqwq
Bagi mereka yang punya otak insecure dan bersumbu pendek, informasi kayak begitu seolah wow banget. Dan keren dan mencerahkan banget. Padahal ya biasa saja. Kenapa? Karena cocoklogi adalah pekerjaan paling mudah kedua di muka bumi, setelah mengkafir-kafirkan orang lain.
Sejujurnya, semua bisa dicocoklogikan sesuai kebutuhan. Misal nih ya, misal. Lagu Pelangi-pelangi itu ajakan mendukung LGBT. Topi Saya Bundar itu pro Yahudi karena ngajak pakai topi Judenhut. Ambilkan Bulan Bu, itu sesat karena nyuruh orang tua mencuri bulan tanpa seizin Allah.
Oke, tidak lagu anak-anak. Kita bisa bikin cocoklogi pakai lagu orang dewasa yang sedang populer. Dalan Liyane, misalnya, itu sesat karena mencari jalan selain jalan Allah. Lathi, misalnya, ini sesat karena ada lirik berbunyi: kowe ra isa melayu saka kesalahan. Berarti tidak pro pada pertaubatan.
Tidak hanya lagu. Benda-benda juga bisa dicocoklogikan. Helm misalnya, ini membuat penggunanya seperti memakai pelindung kepala Ksatria Templar, musuh umat Islam di perang salib. Ember dan tutup panci, misalnya, itu juga mirip tameng pelindung yang dibawa pasukan Romawi Timur dalam perang melawan Mehmed II.
Hape Xiaomi, I-Phone, Oppo, misalnya, di dalamnya itu mengandung kode komunis dan zionis rahasia yang ketika layarnya dibuka, membuat penggunanya sering merasa malas dan lupa mengerjakan ibadah karena saking asyiknya main hape.
Ya, semua bisa dibikin cocoklogi sesuai kepentingan. Sesuai kebutuhan. Itu bukti membikin cocoklogi adalah pekerjaan paling mudah kedua, setelah mengkafir-kafirkan orang lain.
Maraknya cocoklogi dan guyonan garing berorientasi politis, sesungguhnya bukan tanpa alasan. Ini fenomena yang patut diperhatikan. Sebab, bisa jadi ada unsur “pelarian” di dalamnya. Pelarian untuk mempertahankan panggung.
Analisis Fenomena Menyempitnya Panggung Agamawan Dadakan
Circa pra 2010, menjadi momen munculnya agamawan-agamawan kiwari bermunculan di YouTube. Sementara YouTube, waktu itu hanya bisa diakses orang-orang kelas menengah perkotaan.
Orang-orang awam — yang belajar agama di usia dewasa — pun terbius dengan apa saja yang disampaikan Agamawan kiwari.
Apapun yang disampaikan agamawan kiwari, entah cocoklogi entah teologi, menjadi pencerah dan penyadar dan pemicu semangat beragama kaum kelas-menengah-perkotaan-sibuk yang punya previlise mudah mengakses YouTube.
Sehingga di era itu, mudah sekali kita menemui orang-orang urban perkotaan yang dengan heroik mengumbar pertanyaan macam: ini dalilnya apa? Ini bidah! Ini tahayul! Ini mengada-ada. Dan ini-ini yang lainnya.
Tapi, tiga atau lima tahun terakhir, saat banyak kiai kampung dan kiai-kiai pesantren mulai muncul di chanel YouTube, dan banyak orang bisa mengakses YouTube dengan mudah, disadari atau tidak, pertanyaan heroik macam itu sudah mulai menguap.
Di era saat kiai-kiai mumpuni sudah mau menampakkan diri seperti saat ini, justru agamawan kiwari mulai mengalami kecemasan psikologis akibat khawatir kehilangan pengaruh. Dan khawatir panggungnya hilang. Sebab, saat ini mereka berpotensi terlihat ilmunya dangkal dan itu-itu saja.
Kiai-kiai pesantren yang tak hanya mampu memberi dalil-dalil, tapi juga bisa mendedar referensi-referensi sahih dari bermacam sumber kitab, tentu membuat agamawan kiwari dadakan itu terlihat lucu. Gimana nggak lucu, mereka tak banyak tahu soal itu, Je.
Di lain sisi, saat ini orang awam kelas menengah perkotaan sudah bisa dengan mudah mengakses pengajian-pengajian para kiai dari pesantren. Nah, jika sudah head to head semacam itu, dan tak dirasuki fanatisme personal secara membabi-buta, tentu bakal membuat yang sebelumnya tidak tahu jadi tahu.
Semua akan tahu mana yang punya ilmu mumpuni dan mana yang tidak. Mana yang lebih layak didengarkan dan mana yang tidak. Dan mana yang lebih menentramkan sebagai pegangan hidup dalam beragama dan mana yang tidak.
Kondisi di atas, sudah pasti memicu kecemasan para agamawan kiwari. Lha mau nggak cemas gimana, wong mereka berpotensi terlihat dangkal ilmunya. Itu kan memicu hilangnya panggung dan hilangnya pengaruh?
Sehingga agar kedangkalan ilmunya tak terlalu tampak. Agar tetap punya panggung. Dan agar pengaruhnya tak memudar, mereka bikin cocoklogi konspiratif dan pengajian-pengajian politis yang membangkitkan emosi kekubuan.
Kenapa begitu? Karena, membelokkan isi ceramah ke urusan politis, adalah satu-satunya cara agar eksistensi mereka tetap bertahan. Agar tak terlihat dangkal ilmunya. Agar tetap terlihat keren di depan jamaahnya.
Sebab, politik paling mudah membangkitkan emosi kekubuan. Jadi nggak usah belajar ilmu alat dan ilmu fiqih, cukup tiap hari baca medsos, sudah bisa langsung berlabel ustaz, asal bisa merangkum berita dari medsos menjadi bahan renungan yang cocok-able.
Istilah mudahnya begini: membuat cocoklogi dan membikin lelucon garing nan politis adalah dua kiat sukses agar tak terlihat bodoh di tengah maraknya orang berilmu yang sudah mulai menampakkan diri. (*)